Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah berita yang diterbitkan cnnindonesia.com yang beritanya memuat usulan salah satu anggota DPR-RI, yakni Darul Siska seorang politisi dari Partai Golkar. Darul Siska mengusulkan biaya untuk persalinan dihapuskan dari program Jaminan Kesehatan Nasional.
Isi berita tersebut sontak membuat saya geleng kepala. Terkait pernyataan tersebut, mari kita lihat. Seberapa pentingkah negara mengatur penjaminan persalinan, menjadi salah satu program prioritas dalam sistem kesehatan kita?
Pertama, kesehatan merupakan hak bagi setiap orang. Dalam Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 Pasal 6 mengamanatkan bahwa “Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh layanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.” Selanjutnya dalam Pasal 14 dikatakan bahwa “Pemerintah bertanggungjawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan, yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.”
Artinya, Negara bertanggungjawab sepenuhnya dalam penyelenggaraan kesehatan masyarakat, tanpa terkecuali sebagaimana yang diamatkan dalam undang-undang. Bahwa kesehatan merupakan aspek paling fundamental dan menjadi jaminan sosial yang tidak bisa dikomersialisasi.
Kedua, Angka Kematian Ibu. Data yang dirilis dalam Profil Kesehatan RI tahun 2018, Angka kematian ibu masih sangat tinggi yakni 305 dari 100.000 kelahiran, dan angka kematian bayi sebesar 32 per 1000 kelahiran (SDKI, 2012). Sementara target SDGs dalam menurunkan angka kematian ibu, yang harus dicapai pada tahun 2030 yakni 70 per 100.000 kelahiran. Presentasi angka kematian ibu yang cukup tinggi di Indonesia, menjadi salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat.
Tentu perlu upaya dari negara, termasuk dalam upaya preventif, peningkatan SDM kesehatan, fasilitas dan alat kesehatan hingga penjaminan biaya kesehatan bagi ibu hamil melalui program jaminan kesehatan nasional yang kita kenal saat ini yakni, BPJS. Data dari kementerian kesehatan menyebutkan penyebab tingginya angka kematian ibu secara klinis, diakibatkan karena perdarahan saat bersalin, usia ibu kurang dari 20 tahun, infeksi, dan hipertensi dalam kehamilan.
Ketiga, budaya patriarki disekeliling kita yang memandang perempuan hanya sebagai objek seksual, yakni dengan adanya pandangan soal pelanggengan perkawinan usia anak, pandangan tentang hamil dan melahirkan adalah tugas perempuan semata, dan atau tubuh atau rahim perempuan sebagai objek yang dapat diatur. Budaya diatas lahir dari pemahaman konvensional masyarakat yang sangat patriarkis, dan berakibat fatal terhadap kehidupan dan kesehatan perempuan.
Keempat, faktor kemiskinan. Ketika kekayaan negara hanya terkonsentrasi pada segelintir orang, yakni total kekayaan negara dikuasai oleh kaum 1 persen, maka perempuanlah yang kerap terdampak dari kemiskinan ini. Data PBB menyebutkan, bahwa sepertiga penduduk dunia hidup dalam kemiskinan sementara 70% yang didalamnya adalah perempuan. Kemiskinan perempuan lahir akibat kebijakan ekonomi yang liberal-kapitalistik, mulai dari upah rendah dan tidak layak, kesulitan mengakses pendidikan, perampasan lahan yang akhirnya menyingkirkan perempuan dari sektor pertanian, hingga ketersingkiran perempuan dalam sektor UMKM akibat persaingan modal.
Kondisi-kondisi diatas adalah benang merah dari kesulitan para perempuan miskin mengakses layanan kesehatan. Liberalisasi kesehatan akan senantiasa menjadi penyulit bagi perempuan kelas bawah untuk mengakses layanan kesehatan. Oleh karena itu, negara perlu memperkokoh jaminan kesehatan yang ramah gender, termasuk memberikan akses yang seluasnya-luasnya pada perempuan.
Melihat problem perempuan yang begitu besar, bagi saya pernyataan politisi dari partai golkar yakni Darul Siska sangat bias gender dan patut digugat. Darul Siska gagal paham terhadap pemenuhan dan jaminan kesehatan bagi perempuan. Pernyataanya sangat diskriminatif dan menciderai hak asasi manusia.
Sebagai wakil rakyat, Darul Siska harus menarik pernyataan dan usulannya terkait penghapusan jaminan persalinan dari BPJS kesehatan karena bertentangan dengan UU Kesehatan, bias gender, dan melanggar komitmen negara dalam menurunkan angka kematian Ibu dan bayi di Indonesia.
Fen Budiman
*Seorang perawat, saat ini menjabat sebagai Sekjen DPP SULUH Perempuan. Tulisan ini telah dipublikasikan dalam medium.com tanggal 18 Maret 2021.
Terkait
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024
Meretas Jalan Pendidikan Murah dan Berkualitas