Dewasa ini gerakan untuk kesetaraan gender semakin menguat. Saat pegiat HAM mulai menggaungkan kesadaran gender dan menghilangkan pernyataan bernada seksis, masih ada sebagian masyarakat yang bingung dalam penyikapan atau penyebutan ketika menjumpai anak dengan penampilan yang berbeda dengan kebiasaan yang dianggap umum dan lumrah selama ini.
Tulisan ini mencoba menelaah dengan pembahasan singkat mengenai apa itu asumsi, privasi, dan consent. Nah, mari kita kenali satu per satu.
Asumsi
Pandangan stereotype yang berkembang dan diperkuat oleh masyarakat kapitalistik membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan melalui karakteristik dan penampilan fisik. Pembedaan ini telah diterapkan sejak anak masih dalam kandungan. Pandangan atau asumsi yang beredar dan dipercaya seperti bentuk perut ibu hamil bulat atau lonjong, ngidam, penampilan ibu tampak bersih, cantik atau kumal menjadi dasar penilaian apakah janin yang dikandung adalah laki-laki atau perempuan.
Penilaian ini juga menjadi acuan dalam membelikan perlengkapan bayi mulai dari popok hingga mainan, apakah berwarna biru atau merah muda. Setelah lahir dan ketahuan jenis kelaminnya, pembedaan diletakkan pada pemilihan jenis pakaian, mainan hingga pola pengasuhan
Saat anak semakin bertambah usia, pembedaan semakin dipertegas dengan cara bicara apakah lembut atau tegas, rambut panjang atau pendek, main boneka atau senjata tiruan bahkan hingga aplikasi game. Sehingga ketika ada anak yang memiliki karakter dan penampilan berbeda akan disebut penyimpangan. Misalnya disebut tomboy untuk anak perempuan yang dianggap mirip anak laki-laki atau banci untuk anak laki-laki yang penakut.
Pembedaan ini kelak semakin dipertegas dengan konektivitas pertemanan dan profesi. Pandangan yang terlanjur dipahami dan dipercaya menjadi dominan sebagai ideologi patriarki dan memberi sumbangan besar pada produk-produk konsumsi seperti fashion, alat kecantikan hingga perabotan.
Masyarakat juga menyepakati asumsi mengenai pengetahuan anak. Bahwa seorang anak belum memiliki pengetahuan cukup dan anak adalah mutlak hak milik orang dewasa yang mengasuhnya. Anak belum dapat menentukan keinginannya dan cara berpikirnya adalah milik orang dewasa, baik itu kakak, orangtua atau kakek neneknya.
Pandangan ini tidak sepenuhnya salah namun dapat menjurus pada asumsi yang keliru. Asumsi yang telah melekat dan dipercaya terlepas dari benar atau salah akan memberi dampak pada cara kita bersikap dan menilai seseorang. Dari asumsi awal apakah dia anak laki-laki atau perempuan, nakal atau tidak, pintar atau bodoh dan lain sebagainya
Dewasa ini, pengetahuan yang berkembang seiring dengan kemajuan tehnologi membawa pada kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender. Negara-negara di dunia juga telah menyepakati dan meratifikasi CEDAW sebagai upaya mencegah diskriminasi yang berujung pada kekerasan terhadap perempuan.
Sebagai bentuk kesadaran, diperlukan upaya untuk menghapus asumsi yang keliru. Kita harus berangkat dari asumsi sederhana tentang penampilan dan karakteristik anak, warna, jenis permainan dan penampilan bukan berdasarkan jenis kelamin melainkan kesehatan, keamanan dan kenyamanan. Sehingga, seorang anak perempuan bisa saja lebih merasa nyaman dengan potongan rambut pendek dan celana pendek atau panjang, dan seorang anak laki-laki mungkin saja lebih menyukai rok atau pakaian yang longgar dan rambut panjang.
Dari segi keamanan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan memiliki kerentanan yang sama terhadap kekerasan dan kejahatan seksual. Data kekerasan seksual terhadap anak laki-laki tidak lebih sedikit daripada terhadap anak perempuan. Dampak traumatis kekerasan terhadap anak akan terbawa hingga dewasa. Bagi anak perempuan ada resiko lain karena sifat biologisnya, yaitu kehamilan.
Jadi, kesimpulan yang keliru dapat dicegah dengan cara berhenti memberi asumsi pada jenis kelamin tertentu berdasarkan karakteristik dan penampilannya saja. Kita harus mulai membebaskan pikiran dengan cara memandang anak berdasarkan kesehatan, keamanan dan kenyamanannya. Agar kita lebih adil sejak dalam pikiran.
Privasi
Asumsi lain adalah klaim yang menyatakan bahwa anak tidak memiliki pengetahuan dan keinginan, telah banyak terbantahkan. Seorang anak telah memperoleh pengetahuan pertama sejak dalam kandungan. Berbagai jenis suara dari tubuh ibu seperti detak jantung, suara napas ibu, suara perut saat lapar, dan suara mulut ibu saat mengunyah makanan sudah dapat didengar dan dirasakan oleh bayi. Selain suara dari tubuh ibu, bayi dalam kandungan juga sudah dapat mendengar suara musik dan suara dari lingkungan di sekitar.
Bahasa yang didengar bayi selama dalam kandungan, akan diingat sampai ia lahir dan tumbuh besar nanti. Ingatan tersebut akan membantu Si Kecil lebih mudah mengucapkan kata-kata saat belajar berbicara dan berkomunikasi kelak. Stimulus yang diterima bayi ketika ibu mendengarkan musik, berbicara dengannya, atau membacakan buku cerita dapat merangsang kecerdasan bayi.
Dengan demikian anak telah memiliki kepekaan, pilihan dan kecerdasan awal. Semakin bertumbuh, pilihan, hasrat, kemauan dan kecerdasannya semakin bertambah. Kemajuan teknologi dalam kehidupan masyarakat modern semestinya juga merubah cara pandang serta pola pengasuhan anak. Ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa anak bukan kertas kosong sehingga sudah sepantasnya diperlakukan sebagai individu yang utuh dengan keinginan dan pendapatnya. Termasuk dalam hal ini adalah privasinya.
Menurut Amos Rapoport (1988), privasi adalah suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi yang diinginkan. Sedangkan menurut Irwin Altman (1975), arti privasi adalah suatu proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Salah satu sikap yang perlu untuk dikembangkan adalah menghargai privasi orang lain termasuk anak.
Privasi di masa kini bisa dijelaskan pada anak, tanpa perlu membedakan jenis kelaminnya, dengan cara yang sederhana seperti tidak membiarkan orang lain untuk menyentuh bagian tubuhnya tanpa ijin, tidak membuka baju atau berganti pakaian di muka umum tetapi di ruang tertutup atau dalam keadaan darurat menggunakan selubung kain, menutupi pintu saat sedang mempergunakan kamar mandi dan lain sebagainya.
Hal-hal sederhana yang dapat dipelajari anak sejak dini. Pada usia tertentu atau situasi dan kondisi tertentu, orang dewasa bisa berjaga dan membantu apabila dibutuhkan. Sikap ini akan mengajarkan kemandirian pada anak serta memahami privasi baik bagi anak maupun orang dewasa yang mendampinginya. Privasi di jaman ini adalah termasuk tidak membuka chat pribadi, tidak mempostiing foto tanpa seijin anak dan tidak menggunakan kemampuan dan kegiatan anak sebagai alasan bagi orang dewasa.
Consent
Konsep Consent mungkin masih sulit untuk diterjemahkan dan dipahami namun perlu dibicarakan dan dijalankan. Misalnya, meminta ijin bahkan untuk menyentuh tangan seseorang. Terlebih pada orang asing. Consent dapat juga berupa kesepakatan atas harapan dan keinginan. Dalam hal pekerjaan rumah, kebersihan, kesehatan dan pendidikan.
Adanya kesepakatan bersifat dua arah sehingga terjadi komunikasi dan menyenangkan semua pihak. Namun bukan berarti kita menjadi kaku dan tidak bisa mengungkapkan perasaan dan kasih sayang. Tergantung pada kedekatan emosional dan cara berinteraksi. Orangtua selalu ingin memeluk anaknya, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu perlu dibangun kesepakatan bersama agar masing-masing pihak merasa nyaman dan tersalurkan perasaan kasih sayangnya.
Kita mendambakan dunia yang setara, saling menghargai dan menghormati lintas generasi dan antar gender yang berbeda. Dunia dimana perasaan juga dihargai dan tiap orang dapat membicarakan dan mewujudkan mimpi-mimpinya tanpa merasa dihakimi. Jika generasi lalu tidak atau sulit berubah, kita masih bisa berharap, generasi mendatang akan menjalani kehidupan secara adil dan setara.
Penulis: Ernawati
Editor: Indah Pratiwi
Tulisan sangat mencerahkan.
Dibutuhkan banyak narasi narasi yg terbangun pada setiap element
Terima kasih atas masukan dan sarannya. Semoga kontribusi kecil kami bermanfaat bagi upaya membangun budaya literasi di Indonesia.