Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) mengecam konten buatan dr. Kevin Samuel yang menunjukkan sikap melecehkan dalam reka adegan pemeriksaan pasien sebelum persalinan. Sikap ini bertentangan dengan nilai etis dan kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam profesi dokter.
Beredarnya konten Tiktok dari akun @dr.kepinsamuelmpg berdurasi 15 detik pada hari Sabtu 17 April 2021 sangat meresahkan masyarakat. Dalam video tersebut tergambar seorang dokter mendapat konsultasi dari bidan “Dok Tolong Cek Pasien Ny.A udh pembukaan berapa…” lalu dokter tersebut menjawab “Oke kak..” sambil mengernyitkan mata dan menggigit bibir bawah, mengacungkan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) menunjukkan persiapan melakukan pemeriksaan Vaginal Touche.
Dokter tersebut kemudian memutar mata ke atas dan menengadah dengan keterangan “awkwardmoment” sambil bergoyang-goyang dan menjawab “Pembukaan 3 kak”.
Video tersebut menunjukkan reka adegan pemeriksaan Vaginal Touche yang dilakukan oleh dokter sebagai bagian observasi persiapan persalinan, namun reka adegan tersebut dilakukan dengan memberikan candaan bernuansa seksual yang merendahkan perempuan. Video ini melecehkan perempuan secara umum dan pasien perempuan yang membutuhkan layanan kesehatan secara khusus. Saat ini akun Tiktok yang bersangkutan telah hilang, akun Instagram dan Twitter telah diprivat tapi video tersebut telah tersebar di Tiktok, Instagram dan Twitter.
dr. Gabriella Sandranila Suryadana dari Dokter Tanpa Stigma dan perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) sangat menyayangkan dan protes keras terhadap sikap dr Kevin Samuel. Menurutnya, dr Kevin Samuel dalam konten Tik Tok tersebut melanggar Kode Etik Dokter Indonesia (KODEKI) dan telah melanggar sumpah dokter.
“Padahal hak pasien telah dilindungi dalam UU no 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 32 (ayat c, d, dan e) yaitu: memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi; memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi,” terang Sandra.
Menurutnya, hak perempuan untuk dilindungi dari tindakan pelecehan dan bentuk tindakan diskriminatif lainnya telah disebutkan di dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (CEDAW).
Video ini bukan yang pertama dari tenaga medis yang menunjukkan perilaku melecehkan dan diskriminatif. Dokter Tanpa Stigma dan KOMPAKS menyayangkan adanya video-video yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan di dunia maya. Hal ini merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender siber (KBGS) yang menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan meningkat tajam hingga 375% selama masa pandemi COVID-19 di tahun 2020.
Tindakan tenaga kesehatan yang melakukan pelecehan maupun membuat tayangan video demi popularitas yang tidak sensitif terhadap situasi dan pengalaman pasien perempuan saat menghadapi persalinan dan melakukan pemeriksaan transvaginal dapat menurunkan tingkat kepercayaan untuk mengakses layanan kesehatan reproduksi, dan berdampak pada kesehatan ibu hamil dan melahirkan.
Data dari ASEAN Millenium Development Goals tahun 2017, Indonesia menduduki posisi kedua Angka Kematian Ibu (AKI) terbanyak di ASEAN dengan jumlah 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini menunjukan bahwa kondisi kesehatan ibu dan bayi masih menjadi hal yang perlu diperhatikan. Dengan didukung melalui pemberian layanan kesehatan yang profesional dan menjunjung kode etik tenaga medis yang menangani.
“Kami mengecam konten buatan dr. Kevin Samuel yang menunjukkan sikap melecehkan dalam reka adegan pemeriksaan pasien sebelum persalinan. Sikap ini bertentangan dengan nilai etis dan kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam profesi dokter,” ungkap Sandra dari Dokter Tanpa Stigma.
Dokter seharusnya mampu memberikan rasa aman dan nyaman pada pasien dalam setiap konsultasi kesehatan maupun dalam keseharian. Di era digital saat ini dokter seharusnya mampu memanfaatkan media sosial untuk mengedukasi masyarakat demi tercapainya kesehatan masyarakat yang lebih baik.
Atas kejadian ini, Dokter Tanpa Stigma dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) menuntut agar IDI Jakarta Selatan sebagai IDI tempat dokter yang bersangkutan bernaung, untuk segera mengajukan permasalahan ini MKEK IDI. KOMPAKS juga meminta MKEK IDI untuk segera mengusut permasalahan ini dan memberi sanksi tegas kepada dokter yang bersangkutan yaitu mencabut SIP dan keanggotaan IDI dokter yang bersangkutan.
Selain itu, Sandra berharap agar PB IDI membuat aturan tegas bagi tenaga medis yang melecehkan pasien dalam bentuk apapun termasuk media sosial. PB IDI juga perlu menyusun kurikulum pembinaan/ pelatihan perspektif gender dan HAM pada tenaga medis.
Humaira
Terkait
79 Tahun Merdeka: Puan, Stop Sandera RUU PPRT
Tepatilah Janji, Film sebagai Media Sosialisasi Pilkada 2024
Ultah ke-30, AJI Tetap Melawan di Tengah Disrupsi Media dan Menguatnya Otoritarianisme