57 tahun berlalu sejak ditetapkan, rasanya tidak ada bosannya memperingati Hari Kartini. Hari kelahiran sosok perempuan yang layak menyandang gelar pahlawan. Peringatan Hari Kartini ditetapkan secara resmi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964 yang ditandatangani pada tanggal 2 Mei 1964. Di dalamnya juga memuat penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Perjuangan RA Kartini sejak usia belia hingga wafatnya, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan.
“Walaupun saya tidak beruntung sampai kepada ujung jalan itu, walaupun saya akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia. Jalan sudah terbuka dan saya telah turut merintis jalan yang menuju ke kebebasan dan kemerdekaan perempuan Bumiputera,” kata Kartini. Hingga hari ini, kata-kata tersebut terpatri sebagai wujud semangat dan kebesaran hatinya
Kemerdekaan perempuan bumi putra menjadi sebuah kemewahan pada masa kolonialisme Belanda. Pada saat yang sama, sederet nama perempuan di negara-negara Barat juga memperjuangkan hak-hak bagi perempuan untuk mendapat pengakuan. Sebutlah, Mary Wollstonecraf dengan tulisannya A Vindication of The Rights of Woman, salah satu karya tulis feminis awal yang berisi kritik terhadap Revolusi Prancis. Lalu Betty Friedan yang menulis The Feminine Mystique, 1963.
Sebuah gerakan dengan slogan Equal Pay Right, 1963 membuat kaum perempuan dapat menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Slogan Equal Right Act (1964) memberi hak pilih bagi kaum perempuan secara penuh dalam segala bidang. Kita menikmati hasil perjuangan itu, seperti, bisa ikut memberikan suara dalam pemilu serta turut mengambil peran dalam ruang publik baik di sektor ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Setelah itu, Konferensi Perempuan Sedunia Pertama diselenggarakan di Mexico City pada tahun 1975 yang mengusung tema Gender, development and equality. Hasil penelitian kaum feminis sosialis membuka wawasan gender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, pengarusutamaan gender atau gender mainstreaming melanda dunia.
Pada tahun 1977, Hari Perempuan Internasional diresmikan sebagai perayaan tahunan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memperjuangkan hak perempuan dan mewujudkan perdamaian dunia. Sebuah konvensi yaitu Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) kemudian ditetapkan pada tahun 1979.
Para tokoh perempuan ini, seperti juga Kartini, menjalani jaman yang jauh berbeda dengan yang kita alami saat ini. Diskriminasi terhadap perempuan telah berlangsung sejak lama. Tekad dan semangat untuk memperjuangkan hak-hak seluruh kaum perempuan menjadi landasan bagi mereka untuk berjuang. Walaupun mungkin tidak semua dapat ikut menikmati hasil perjuangannya tapi mereka telah merintis jalan bagi perempuan di abad ini.
Para pejuang ini memberi sumbangan berharga bagi perkembangan masyarakat dunia. Bahwa perubahan corak produksi masyarakat tidak terlepas dari keberadaan kaum perempuan. Gagasan kesetaraan gender menunjukkan bahwa dibalik semua hal yang dialami perempuan, baik diskriminasi maupun kekerasan, perempuan memiliki ketangguhannya sendiri.
Tahun-tahun belakangan menunjukkan bahwa ketangguhan perempuan sudah banyak teruji, terutama pada masa krisis. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan telah dihadapkan pada beban ganda untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pada situasi krisis, beban itu tidak berkurang, justru bertambah. Hal ini dapat dilihat pada saat menghadapi peristiwa alam seperti gempa, banjir dan yang terbaru Pandemi COVID-19. Kebutuhan pokok yang perempuan harus penuhi setiap bangun pagi adalah ketersediaan air bersih, makanan serta kebutuhan sekunder lainnya seperti pendidikan, kesehatan, rekreasi dan kini bertambah dengan pembelian kuota internet.
Perempuan dihadapkan pada pergulatan ekonomi dengan status yang bias gender dan cenderung diskriminatif. Misalnya ibu rumahtangga yang bekerja membantu suami, walau mencari nafkah bagi keluarga atau penghasilannya lebih besar selalu disebut pencari kerja tambahan. Termasuk adanya stigma buruk bagi kelompok rentan seperti janda atau orangtua tunggal.
Dengan berbagai cara, perempuan dituntut untuk dapat bersiasat agar air tercukupi, makan terpenuhi, uang saku untuk anak selalu tersedia dan menjaga keamanan anak-anaknya baik dalam hal kesehatan dan pendidikan. Walaupun ada bapak, biasanya ibu tetap menjadi rujukan pertama bagi anak-anaknya dalam hal pemberian uang saku, mencari barang yang hilang, sakit ringan dan lain sebagainya. Sebagian besar ibu-ibu akan bersiasat untuk memenuhinya walaupun dari cara berhutang, arisan, bisnis kecil-kecilan bahkan dengan cara paling ekstrim yaitu menjual tubuhnya.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebutkan jumlah penduduk Indonesia hingga Desember 2020 mencapai 271.349.889 jiwa (jumlah penduduk Indonesia 2021). Dari jumlah tersebut, jumlah penduduk perempuan mencapai 134.229.988 jiwa dan penduduk laki-laki berjumlah 137.119.901 jiwa.
Terdapat lebih dari 134 juta oerempuan dengan berbagai usia yang tersebar di pedesaan dan perkotaan. Menilik kemajuan perempuan bumi putra, meminjam dari istilah Kartini, dalam bidang pendidikan dan pekerjaan telah mengalami kemajuan, seiring dengan kebutuhan corak produksi masyarakat. Namun dalam beberapa segi mengalami hambatan seperti jenjang pendidikan, akses pada sektor ekonomi, kesehatan dan pemangku jabatan publik.
Kondisi ini masih ditambah dengan resiko feminisasi kemiskinan akibat prioritas pembangunan yang kurang berpihak pada perempuan. Sehingga perempuan kembali ke ruang domestik dan mempunyai beban ganda di saat pemberlakuan Work From Home (WFH) dan sistem belajar di rumah
Pada situasi seperti ini, hanya kelompok yang memiliki penghasilan cukup yang mampu membeli kebutuhan keluarga tanpa berhutang. Apalagi pada situasi krisis, saat kebutuhan paling primer yaitu pangan sulit untuk didapat. Bagi perempuan di perkotaan, kebutuhan pangan dapat diatasi dengan makanan instan, sayur mayur dan frozen food yang bisa dibeli di sejumlah supermarket yang banyak dan tersebar di sudut-sudut kota. Namun bagi mereka yang berpenghasilan kurang dan pas-pasan, kelangkaan bahan pangan akan terasa sulit. Berbeda dengan kondisi di pedesaan, dimana sebagian besar sumber pangan mudah didapat.
Jika ini Bukan Waktuku maka Inilah Waktumu
Terlepas dari situasi krisis, perempuan perkotaan dan pedesaan menghadapi masalah yang sama dalam pemenuhan hak-haknya. Perjuangan Kartini dan para tokoh perempuan lain telah usai, namun oerjuangan perempuan masa kini dan masa depan masih akan terus berlanjut.
Deklarasi Beijing dan Platform Aksi 1995 dapat menjadi acuan bagi kita untuk memetakan jalan ke depan. Sejauh apa kemajuan yang telah dicapai dan apa yang akan dilakukan untuk melanjutkan merintis jalan bagi generasi pewaris bumi selanjutnya.
Di seluruh dunia, kita dapat menyakssikan bahwa perempuan yang mandiri dan berdaya adalah kunci untuk membangun masa depan yang lebih tangguh dan berkelanjutan. Saat dunia menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam beberapa dekade terakhir, perempuan telah menunjukkan ketangguhannya dan dunia membutuhkan perempuan
Jika perjuangan perempuan sejak 26 tahun yang lalu belum menikmati hasil secara maksimal, setidaknya Kartini telah merintis jalannya. Jika ini bukan waktuku maka inilah waktumu!
Ernawati
.
Terkait
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan
Dari Aktivisme Borjuis ke Solidaritas Sejati: Membangun Gerakan Sosial yang Inklusif