12 Desember 2024

Feminisme, Benar atau Salah?

Ilustrasi: freepik.com

0Shares

Benar atau Salah? Apakah bisa disebut memberontak? Pertanyaan semacan ini mungkin terlintas di sebagian perempuan ketika bicara mengenai hak-hak perempuan. Baik saat melakukan penolakan atas diskriminasi dalam keluarga dan masyarakat maupun pembatasan peran termasuk dalam pengambilan keputusan. Sekalipun itu menyangkut atas kehidupan pribadi seperti tubuh, pakaian, pekerjaan hingga relasi dengan sesama.

Pertanyaan ini sering menjadi alasan bagi sebagian perempuan sehingga ragu-ragu dalam bertindak dan mengambil keputusan. Kita jadi seperti mundur kembali jauh ke era kebangkitan gelombang feminisme. Gerakan ini jadi tampak menakutkan dan dianggap tidak sesuai untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat kita. Sedikit menilik pada sejarah perkembangan gelombang feminisme. Sebaiknya kita memahami terlebih dahulu makna gerakan feminisme.

Feminisme adalah serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial. Feminisme menggabungkan posisi bahwa masyarakat memprioritaskan sudut pandang laki-laki, dan bahwa perempuan diperlakukan secara tidak adil di dalam masyarakat tersebut. Upaya untuk mengubahnya termasuk dalam memerangi stereotip gender serta berusaha membangun peluang pendidikan dan profesional yang setara dengan laki-laki.

Gerakan feminis telah dan terus mengkampanyekan hak-hak perempuan, termasuk hak untuk memilih, memegang jabatan politik, bekerja, mendapatkan upah yang adil, upah yang setara dan menghilangkan kesenjangan upah gender, untuk memiliki properti, mendapatkan pendidikan, masuk kontrak, memiliki hak yang sama dalam pernikahan, dan untuk memiliki cuti kehamilan. Feminis juga berupaya untuk memastikan akses terhadap aborsi yang legal dan integrasi sosial, serta untuk melindungi perempuan dari pemerkosaan, pelecehan seksual, dan kekerasan dalam rumah tangga. Perubahan dalam berpakaian dan aktivitas fisik yang dapat diterima sering menjadi bagian dari gerakan feminis.

Pencapaian hak pilih perempuan, bahasa netral gender, hak reproduksi bagi perempuan (termasuk akses terhadap kontrasepsi dan aborsi, serta hak untuk memasuki kontrak dan memiliki properti. Meski anjuran feminis terutama berfokus pada hak-hak perempuan, namun beberapa feminis, termasuk Bell hooks, berpendapat untuk memasukkan pembebasan laki-laki di dalam tujuan feminisme karena mereka percaya bahwa laki-laki juga dirugikan oleh peran gender tradisional mereka. Teori feminis, yang muncul dari gerakan feminis, bertujuan untuk memahami sifat ketidaksetaraan gender dengan memeriksa peran sosial dan pengalaman hidup perempuan; ini telah mengembangkan teori-teori dalam berbagai disiplin ilmu untuk menanggapi isu-isu tentang gender.

Banyak gerakan dan ideologi feminis yang telah berkembang selama tahun-tahun terakhir ini serta mewakili berbagai sudut pandang dan tujuan. Beberapa bentuk feminisme telah dikritik karena hanya memperhitungkan perspektif kulit putih, kelas menengah, dan berpendidikan tinggi. Kritik ini mengarah pada penciptaan bentuk-bentuk feminisme yang spesifik secara etnis dan multikultural, termasuk feminisme kulit hitam dan feminisme interseksional.

Gerakan feminisme dimulai sejak akhir abad ke-18 dan berkembang pesat sepanjang abad ke-20 yang dimulai dengan penyuaraan persamaan hak politik bagi perempuan. Gerakan feminisme berkembang pesat di Amerika setelah munculnya publikasi John Stuart Mill (1869) yang berjudul The Subjection of Women. Gerakan ini menandai kelahiran feminisme gelombang pertama. Lalu pada tahun 1960, feminis Perancis mempelopori gelombang kedua yang menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih.

Tulisan Mary Wollstonecraft yang berjudul A Vindication of The Rights of Woman dianggap sebagai salah satu karya tulis feminis awal yang berisi kritik terhadap Revolusi Prancis yang hanya berlaku untuk laki-laki namun tidak untuk perempuan. Satu abad setelahnya di Indonesia, Raden Ajeng Kartini ikut membuahkan pemikirannya mengenai kritik keadaan perempuan Jawa yang tidak diberikan kesempatan mengecap pendidikan yang setara dengan laki-laki, selain dari kritik terhadap kolonialisme Belanda. Di akhir abad 20, gerakan feminis banyak dipandang sebagai sempalan gerakan Critical Legal Studies.

The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan pada tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) pada tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Friedan berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) yang membuat kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.

Pada tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok “feminisme radikal” dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan “Women´s Lib“. Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Pada tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya “Miss America Pegeant” di Atlantic City yang mereka anggap sebagai pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan. Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.

Pada 1975, Gender, development, dan equality sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan gender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan gender atau mainstreaming gender melanda dunia.

Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal.

Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.

Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).

Jawaban atas pertanyaan benar atau salah atau apakah merupakan sikap memberontak bukan terletak pada pilihan seperti hitam atau putih. Justru pertanyaan itu sendiri yang harus diubah. Artinya pengubahan cara pandang yang akan menemukan kalimat pertanyaan yang tepat. Seperti pandangan mengenai fungsi tangan kanan dan tangan kiri. Tangan baik dan tangan jelek, negatif atau positif.

Dalam hal perilaku masyarakat dan dinamika perubahannya, kesimpulan negatif atau positif dapat dipengaruhi oleh berbagai hal. Penetapan percakapan verbal, sikap dan perilaku negatif atau positif bahkan juga sangat berkaitan dengan posisi geografis dan sejarah kolektif. Sehingga, ketetapan ini bisa saja berbeda baik dalam cara berpakaian hingga kerja di lingkungan domestik dan publik.

Saat ini terjadi  perubahan yang terus berlangsung dalam segala sektor. Perubahan dalam kerja di sektor publik juga telah merubah cara pandang terhadap perempuan. Kekhawatiran akan perilaku yang mungkin dianggap salah dapat ditepis dengan menampilkan keberanian, kemampuan dan rasa percaya diri. Namun bukan dalam arti arogan dan menekan pihak lain.

Setiap individu memiliki hak sepanjang tidak menekan pihak lain. Dengan demikian kita bisa tetap mengambil sikap tanpa merasa ragu dan mempertanyakan apakah tindakan kita salah atau benar. Bersikap kritis tentu boleh namun tetap diiringi argumentasi yang tepat dan akurat. (*)

Ernawati

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai