Dominasi istri terhadap suami bukan hal yang mustahil. Itu yang terjadi dalam rumah tangga Ayu dan Broto. Dikisahkan dalam film ‘Selesai’ bahwa Ayu bersikap terlalu dominan dan Broto memiliki kelemahan, pelupa atau mungkin mengabaikan detil kecil sehingga dapat dimanfaatkan oleh Ayu. Dituturkan oleh Dr Tompi, produser sekaligus sutradara film ‘Selesai’ dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Suluh Perempuan, bekerjasama dengan Yayasan Sinema 8mm, Jakartanicus dan Garasi Etnik.
Diskusi dilangsungkan di sebuah cafe, tepat di sebrang Stasiun kereta Api Pasar Minggu Baru. Super Sunday Cafe terletak di lantai pertama, gedung tiga lantai. Di lantai kedua terdapat studio film yang kerap digunakan komunitas pegiat film independen.
Diskusi dimulai pada Pukul 18.45 WIB dan dibuka dengan sambutan oleh ketua umum Suluh Perempuan, Siti Rubaidah. Host acara tersebut adalah Fentia Budiman, koordinator Jaringan Nakes Indonesia yang tampil unik mengenakan outer merah koleksi dari Garasi Etnik. Founder Garasi Etnik, Ernawati, turut hadir sebagai pemantik diskusi bersama Selma Kirana Haryadi (Magdalene.co) dan Hikmat Dharmawan dari Komite Perfilman DKI. Dr Tompi dihadirkan sebagai pemantik utama dan paling ditunggu oleh para penggemar nya untuk menjelaskan proses produksi film ‘Selesai’ sekaligus menjawab berbagai kritikan yang dilancarkan pada karya filmnya.
Arum selaku moderator segera memulai pembicaraan dengan pertanyaan telak, “Siapa yang sudah menonton film ‘Selesai’?” Benar-benar telak karena lebih dari separuh yang hadir belum menonton film tersebut. Film ‘Selesai’ pertama tayang di bioskop online, hingga hari terakhir penayangan, banyak yang belum sempat menonton. Kini para penikmat film tampaknya harus menunggu hingga film tersebut ditayangkan kembali. Namun tentu saja hal tersebut tidak mengurangi antusiasme peserta diskusi offline terbatas, karena masih dalam masa PPKM. Secara online, diskusi juga dapat diikuti melalui channel YouTube Jakartanicus. Hingga diskusi berakhir, setidaknya terdapat 800 akun mengikuti tayangan diskusi live tersebut. Bahkan hingga hari ini mencapai 1.7 views.
Dr Tompi selaku produser kemudian diminta oleh moderator untuk menceritakan proses awal produksi. Tercetusnya ide film ‘Selesai’ diawali dengan niatan untuk mengatasi situasi krisis di tengah pandemi yang turut melumpuhkan dunia pertunjukan dan film. Peraturan pembatasan pergerakan membuat produser film harus mensiasati beberapa persoalan tehnis terkait mobilisasi manusia dan peralatan saat pengambilan gambar dan lokasi suting. Akhirnya terciptalah film ‘Selesai’ yang mengambil tema kehidupan rumah tangga. Persoalan yang dapat dikatakan terjadi dalam realitas kehidupan sehari-hari. Diakui atau tidak, perselingkuhan menjadi tema menarik dalam kisah yang berlatar belakang rumah tangga.
Diakui oleh Dr Tompi bahwa banyak kritikan yang dilontarkan setelah film ini ditayangkan. Kritikan yang masuk menyoroti berbagai segi mulai dari konten hingga sinematografi. Dr Tompi tidak menampik bahwa setiap orang memiliki perspektif yang berbeda dalam menangkap layar yang disuguhkan. Namun Dr Tompi memilah antara mereka yang sungguh-sungguh memberikan kritikan dalam kapasitas sesuai bidangnya atau bersifat bullying. Bagi kritikan yang memiliki kriteria layak untuk ditanggapi, akan dijawab secara lugas, berbeda dengan bullying atau kritikan tanpa dasar, baginya tidak perlu memberi respon berlebihan.
Berbeda dengan Dr Tompi, Hikmat Dharmawan menyatakan bahwa seseorang dengan latar belakang berbeda bisa saja memberikan pendapat di luar bidangnya. Hikmat menganalogikan dengan rumus himpunan Dalam matematika. Irisan dari himpunan akan mempertemukan argumentasi publik dengan latar belakang berbeda-beda. Menurut pandangan Hikmat, sebuah karya harus menghindari dua hal yang mengandung stereotype negatif yaitu kekerasan terhadap perempuan dan rasialisme. Dua hal ini dapat menggiring cara pandang para penangkap layar yaitu penikmat karya, dalam hal ini, film. Terlepas dari maksud dan tujuan penulis script atau produser dan sutradara, sebuah film dapat menggiring penangkapan layar pada stereotype negatif yang ingin dihindari.
Suasana mulai hangat dan sesekali terdengar tawa diantara peserta diskusi kala Dr Tompi dan Hikmat saling memberikan argumentasinya. Moderator tampak kesulitan untuk menghentikan adu argumentasi tersebut karena diluar susunan urutan pembicara. Akhirnya moderator dengan halus berhasil ‘menenangkan’ adu pendapat tersebut dan memberikan giliran pada pemantik kedua yaitu Selma untuk menyuarakan pendapatnya.
Selma mengambil alih mic dan memberikan ulasannya mengenai film ‘Selesai’ serta kecenderungan misoginis pada banyak produksi film. Pada film ‘Selesai’, peran Anya sebagai perempuan yang berhubungan dengan suami orang dipandamg menyudutkan perempuan dan semakin mengukuhkan stereotype negatif atas perempuan yang dianggap sebagai pengganggu rumah tangga. Bukan pada posisi Anya namun mengapa harus menempatkan posisi tersebut dalam alur cerita film ‘Selesai’.
Pemantik ketiga, Ernawati, seorang aktifis gerakan perempuan memandang bahwa karya visual seperti film merupakan media yang multifungsi, sebagai media propaganda, edukasi atau bersifat komersil. Propaganda melalui film juga dilakukan oleh pemerintah seperti yang dilakukan oleh kementrian penerangan atau informasi publik. Film sekalipun bersifat komersil juga menjadi pendukung bagi perubahan budaya dalam masyarakat. Gerakan perempuan terutama membutuhkan media visual yang bersifat edukatif untuk merubah pola pandang masyarakat patriarkhis dan sedapat mungkin mereduksi kekerasan terhadap perempuan. Salah satunya dukungan pemahaman mengenai pentingnya pengesahan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang masih di godog di Dewan legislatif.
Kembali pada dominasi baik dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki, merupakan salah satu ciri ideologi patriarkhy. Sikap dominasi ini tidak dapat dijadikan pembenaran bagi satu pihak terutama dalam sebuah rumah tangga untuk melakukan pengkhianatan atau istilahnya perselingkuhan. Pada film’Selesai’, sikap dominan Ayu dianggap menjadi salah satu faktor pendorong bagi Broto untuk selingkuh. Diperkuat oleh karakter Anya yang bertolak belakang dengan Ayu. Dalam banyak kasus perselingkuhan rumah tangga, alasan ini menjadi salah satu ‘pembenaran’ untuk suami melakukan perselingkuhan dan diikuti dengan kekerasan dalam rumah tangga. Namun jika dibalik, prosentase suami yang dominan jauh lebih tinggi namun tidak lantas menjadikan para istri melakukan perselingkuhan.
“Apa batasan selingkuh? Apa yang disebut selingkuh atau apa tindakan yang dianggap selingkuh?” Seorang peserta mengajukan pertanyaan ini dalam sesi tanya jawab. Pertanyaan yang bisa jadi terbersit mengikuti alur film ‘Selesai’ Jawaban atas pertanyaan tersebut mengular jauh ke dalam bagaimana kata atau tindakan selingkuh dapat hadir pada sebuah hubungan. Akhirnya terbawa hingga apa hakekat sebuah hubungan, apakah itu pacaran atau pernikahan. Hubungan terkait dengan perasaan, komitmen dan kesepakatan. Sejauh mana pelanggaran atas komitmen tergantung pada kesepakatan kedua orang yang terlibat dalam hubungan tersebut. Yang luput mungkin menempatkan logika dan perasaan. Batasannya terlalu tipis.
Kata selingkuh digunakan mengikuti sifat hubungan yang mengukuhkan komitmen antara dua orang baik itu pacaran maupun pernikahan. Menurut Erna, komitmen ini jika ditelusuri akan membawa pada sebuah tulisan mengenai asal usul keluarga. Sebuah tulisan lain yang juga membahas masalah ini dapat dibaca di sebuah majalah filsafat dengan judul Upaya Memisahkan Cinta Seksual dan Pentingnya Nalar Akan Bias Kenikmatan. Tulisan ini dapat meruntuhkan klaim alasan dibalik sebuah perselingkuhan terutama dari pihak suami.
Diskusi diakhiri dengan menyenangkan tanpa menyimpan dendam dan sakit hati dari semua pihak. Semua sepakat bahwa forum seperti ini perlu dihadirkan, jika memungkinkan bahkan dilakukan pada setiap film sebelum beredar di bioskop online maupun offline. Terlebih saat ini publik berperan sebagai badan sensor film atau tayangan publik lainnya.
Sebuah komentar di tayangan live YouTube menyayangkan diskusi yang dianggap sepihak karena hanya menghadirkan satu sisi, pihak yang kontra terhadap film ‘Selesai’. Dengan pandangan yang berbeda, sesungguhnya kehadiran seorang Dr Tompi sudah merupakan satu pemihakan terhadap produksi film ‘Selesai’ itu sendiri. Suluh Perempuan menyelenggarakan diskusi tersebut dengan tujuan untuk mempertemukan pihak yang kontra untuk melakukan dialog secara langsung dengan pembuat film ‘Selesai’.
Pada akhirnya sebuah dialog selalu mampu mencairkan suasana. Di era keterbukaan informasi seperti saat ini, kritik dapat dilancarkan oleh semua orang secara terbuka dan terfasilitasi melalui media sosial. Masyarakat perlu bersikap kritis namun tetap dalam batasan menjaga terbukanya ruang demokrasi tanpa unsur pelecehan dan kekerasan. Selain itu, sebuah tangkapan layar dengan alur cerita, pengambilan gambar dan penempatan peran yang misoginis dapat di ubah menjadi media edukasi melalui dialog. Seperti dalam film ‘Selesai’, publik juga perlu memahami posisi Broto, Ayu, Anya dan keluarga (orangtua). Penerapan dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana bersikap kritis dengan menilik latar belakang setiap masalah tanpa melakukan penghakiman secara sepihak. Semoga ke depan masyarakat mendapat kenikmatan dari tangkapan layar yang bersifat menghibur dan edukatif.
Ernawati
Terkait
Literasi Keuangan: Bijak Meminjam, Waspada Jerat Pinjol Ilegal
Film Bolehkah Sekali Saja Ku Menangis, Keberanian Melawan KDRT dan Trauma
Kepemimpinan Perempuan, Menuju Maluku Utara Adil Makmur