Jakarta – Suluh Perempuan menyelenggarakan diskusi daring bertema: Otonomi Khusus dan Keadilan bagi Perempuan Papua. Diskusi diselenggarakan melalui zoom meeting pada hari Jumat, 15 Oktober 2021 Pukul 14.00 – 17.00 WIB.
Dalam sambutannya, Siti Rubaidah (Ketua Umum Suluh Perempuan) menjelaskan bahwa pembangunan kesejahteraan di Papua dilanjutkan melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021, tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, per tanggal 18 Juli 2021. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 diteken Presiden Joko Widodo pada 19 Juli 2021.
“UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua merupakan Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Menginjak usia yang kedua puluh, undang-undang Otsus Papua mengalami perubahan untuk kedua kalinya. Saat ini sedang berlangsung penyelenggaraan Otsus papua jilid II,” lanjutnya.
Hadir sebagai pembicara diskusi adalah dr Adinda Bunga Syafina, Sp B, mewakili Suluh Perempuan dan Emmanuel Gobay selaku Direktur LBH Papua.
Kilas Balik Otsus Papua
“Reformasi 1998 telah berdampak cukup signifikan pada kehidupan berdemokrasi termasuk bagi penduduk lokal Papua. Penduduk lokal Papua memanfaatkan ruang demokrasi yang ada untuk mendesakkan tuntutan kemerdekaan,” kata dr Adinda Bunga Syafina, Sp B.
Hasil penelitian LIPI yang diterbitkan dengan judul Papua Road Map menjelaskan bahwa konflik Papua berakar pada 4 (empat) masalah, yaitu: 1) sejarah integrasi dan status politik, 2) kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM terhadap warga asli Papua, 3) Kegagalan pembangunan dalam memihaki, melindungi dan memberdayakan OAP, dan 4) Marjinalisasi dan efek diskriminatif, modernisasi terhadap OAP.
Menurut Bunga, UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua ini adalah produk politik reformasi. Dari segi substansi dan niat politik, UU Otsus Papua dibuat sebagai instrument untuk menyelesaikan 4 (empat) masalah tersebut.
“Masih terdapat kesenjangan dan perbedaan diametral antara Jakarta dan Papua. Dimana Jakarta lebih menekankan pembangunan sosial ekonomi. Sedangkan Papua lebih memandang akar permasalahan Papua bukan semata pada sosial ekonomi melainkan pada sosio politik, hak dasar, martabat dan identitas kepapuaan.
Sebagai seorang dokter yang pernah bekerja dan mengabdi di Puskesmas Ilaga, Kabupaten Puncak Papua (2009-2013) dan sekarang bekerja sebagai dokter bedah di RSUD Agats, Asmat (2020-sekarang), dokter Bunga membuat pengamatan khusus terkait situasi perempuan Papua, khususnya di sektor kesehatan.
Kasus-kasus yang terjadi pada perempuan Papua antara lain adalah: perkawinan anak, kekerasan dalam rumah tangga, pendidikan rendah, kemiskinan dan akses kesehatan yang sulit. Adapun permasalah kesehatan yang dihadapi saat ini adalah: fasilitas, akses kesehatan, sumber daya manusia, pengetahuan/pendidikan masyarakat dan sosial ekonomi masyarakat.
Dalam paparan yang di sampaikan oleh dr. Adinda Bunga Syafina, Sp B, konflik yang terjadi di papua sangat berpengaruh pada kesehatan perempuan dan anak. Apalagi bagi mereka yang tinggal di tempat pengungsian. Tapi setelah konflik kemudian berakhir, masalah kesehatan tak pernah kunjung reda.
Menurutnya, pemerintah harus lebih memperhatikan persoalan kesehatan di Papua. Ada tiga hal penting yang perlu di seriusi oleh pemerintah, yakni : 1) pembagunan fasilitas kesehatan yang lengkap, 2) Penyediaan tenaga kesehatan (dokter spesialis dan tenaga kesehatan lainnya), dan 3) Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya kesehatan.
Lain halnya pendapat Emmanuel Gobay, Direktur LBH Papua. Dia memberikan penjelasan tentang banyaknya kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap perempuan dan anak di Papua. Menurutnya, dari tahun 2018-2021, telah terjadi gelombang pengungsian yang begitu banyak. Dan di antara para pengungsi ini, jumlah yang lebih banyak adalah perempuan.
Kasus-kasus yang terjadi saat pengungsian antara lain:
1. Satu anak bayi meninggal,
2. Satu ibu melahirkan di hutan
3. Mereka kehilangan hak hidup
4. Mereka kehilangan hak atas tanah adat
5. Mereka kehilangan hak untuk beribadah
6. Mereka kehilangan hak untuk hidup aman
Sementara, banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tidak dapat di selesaikan lewat jalur hukum. Hal ini di akibatkan dari mayoritas perkawinan di papua adalah perkawinan adat. Yang notabenenya perkawinan ini tidak mendapatkan akta/buku nikah.
“Sudah pasti hal ini sangat berpengaruh terhadap perempuan yang hendak melaporkan kasus kekerasan yg sedang di alaminya karena banyak tetek bengek persyaratan yang ada… Dan sementara mereka akan mengupayakan untuk mendorong didaftarkannya nikah adat kedalam akta perkawinan…. Lantas, dimanakah peran serta dukungan dari pemerintah? tanya Direktur LBH Papua.
Baginya, peran pemerintah sangatlah tidak nampak. Terbukti mulai dari di berlakukannya Otonomi Khusus pada tahun 2001, tidak ada 1 perda yang membahas tentang perlindungan anak saat terjadi konflik. Selain itu, pemerintah juga belum membentuk pengadilan HAM untuk Papua.
Pada akhir sesi, Ernawati selaku moderator memberi kesimpulan bahwa sementara ini masyarakat menunggu hasil dari Otsus Papua jilid II, dan akan terus memberikan dukungan kepada masyarakat Papua untuk mendapatkan perlindungan HAM dari pemerintah.
Indah Pratiwi
Terkait
Posisi Perempuan dalam Pilkada 2024
Morowali Dibawah Tekanan Industri Ekstraktif dan Ancaman Kemiskinan
Hari Tani Nasional 2024, Mimpi Besar Kesejahteraan