Pembaca yang budiman, akhir-akhir ini beranda Anda mungkin dipenuhi oleh berita-berita hangat terkait kasus-kasus kekerasan seksual. Berita-berita ini sangat mendominasi berbagai isu yang berseliweran di negara ini.
Benar, kepiawaian kita memilah isu yang urgent dan krusial memang harus dibedakan atas pertimbangan situasi.Namun, disini, saya tidak akan mengkomparasikan berbagai isu dengan kasus Kekerasan sekual. Namun menjadi poin penting, membuat semua orang beropini saja tidak cukup.
Di mata publik, objektifitas dalam memandang kasus kekerasan seksual; sangat tergolong lemah menentukan sikap terhadap korban. Mengapa tergolong lemah? Atmosfir cara pandang masyarakat kita ada dibawah kontrol budaya patriarki dan kontribusi relasi kuasa yang cukup kuat.
Sementara didalam sistem pemerintahan, respon terhadap kasus-kasus kekerasan bak jalan ditempat, bahkan berkali-kali mundur. Tentu tidak ada narasi yang tepat yang bilang mundur kedepan, selalu akan mundur ke belakang. Ya iyalah! Kalimat yang sangat tepat menggambarkan kinerja DPR-RI selama ini, masyarakat sekedar diombang-ambingkan oleh sikap “mencla-mencle” anggota DEPEER.
Sepanjang tahun menjadi catatan penting temuan sejarah panjang kasus kekerasan seksual bagi perempuan di Indonesia. Jika mendengar kata Catahu, sudah pasti kita semua deg-degan karena temuan kasus yang tidak sedikit mengenai kasus kekerasan seksual. Artinya, data tidak hanya sekedar data, data harus menghasilkan intervensi, intervensi menghasilkan kebijakan, aturan dan atau tepatnya payung hukum.
Belajar dari banyak kasus kekerasan seksual, misalnya kasus kekerasan seksual di Luwu Timur. Terduga pelaku merupakan ayah kandung korban yang melakukan incest. Incest adalah kekerasan seksual dalam keluarga yang melibatkan orang terdekat korban contoh; ayah kandung, paman, kakak laki-laki. Dalam proses hukumnya korban menemui berbagai kesulitan, mulai dari ketidakpekaan/ pengabaian pihak kepolisian terhadap kasus ini, hingga upaya pembungkaman, intimidasi dan serangan terhadap ibu korban.
Ya, betapa sulitnya bersuara atas nama kebenaran di negara ini. Melapor berujung dilapor, mengkritisi berujung direpresi, bersuara berujung diintimidasi dan sejumlah keruwetan menjadi warga negara Indonesia.
Kasus lainnya adalah perkosaan di Weda Halmahera Tengah yang melibatkan pacar korban. Ironis, seorang perempuan diperkosa hingga meregang nyawa. Tindakan keji ini bukan hanya baru sekali di Maluku Utara, tetapi merupakan sederet peristiwa kelam yang mungkin hanya sekedar catatan media, tanpa perhatian serius pemerintah. Tidak! Kita bernegara. Lalu dimana negara?
Masih ada dalam ingatan kita peristiwa kelam bagi korban kekerasan seksual di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Peristiwa yang begitu menyayat hati kita semua. Kekerasan yang dilanggengkan dan dipelihara dalam wajah lembaga negara. Anda mungkin bertanya-tanya “loh kok bisa?” Pertanyaan klasik ini sebaiknya dibuang jauh-jauh, karena sama sekali tidak relevan dengan semua kenyataan yang ada. Korban yang terancam, berkelindan dengan risiko-risiko mental yang terganggu akibat situasi yang menimpanya.
Sederet potret peristiwa, bahwa ancaman luar biasa kasus kekerasan seksual di Indonesia adalah jurang kematian akal sehat, rapuhnya kemanusiaan dan berhentinya setiap nurani. Kasus-kasus diatas adalah bagian dari rusaknya negara Indonesia yang gagal merespon kekerasan seksual sebagai problem krusial yang perlu respon cepat untuk diatasi.
Jadi, jangan heran jika tagar #percumalaporpolisi adalah sederet bagian dari kritik terhadap eksistensi instansi kepolisian sebagai representasi lembaga negara yang dianggap sangat tidak becus, abai dalam menangani berbagai aduan, terutama laporan kasus kekerasan seksual.
Sejalan dengan kerja-kerja kepolisian, rasa geram yang sama mengarah pada jajaran anggota DPR-RI yang sama-sama memalingkan perhatian dari sederet kasus kekerasan seksual. Maka saya berpikir tagar yang cukup relevan atas kinerja buruk DPR-RI adalah #DPRRIMenclaMencle.
Jika sudah tidak mampu, silahkan lepas jabatan dan legowo minta maaf. Memang hal yang sangat tidak mungkin, ini akan terjadi. Tetapi rakyat punya opsi untuk jangan memilih anggota DPR yang serupa.
Aktor Drama Korea Pelaku Kekerasan Seksual
Baik, belum selesai. Di belahan dunia manapun, perempuan selalu menjadi objek rentan. Mari melihat peristiwa yang baru-baru saja mencuat dan sontak menggemparkan publik, terutama para fans fanatik drama korea.
Kasus pemaksaan aborsi yang melibatkan aktor korea “Kim Seon Ho” yang berujung permintaan maaf. Fatalnya, permintaan maaf pelaku diglorifikasi, bahkan mendapat afirmasi terkait hal tersebut. Padahal, rumusnya tidak begitu.
Saya akan sedikit mengulas, tentang kasus “Kim Seon Ho”. Meminta maaf bukan solusi ataupun jawaban yang diminta korban kepada pelaku. Jika kita menganggap permintaan maaf pelaku sudah cukup, artinya kita justru memberikan toleransi terhadap pelaku kekerasan. Tentunya, itu sangat bias gender dan mengesampingkan kondisi korban. Permintaan maaf bahkan sama sekali bukan hal yang subtantif.
Penekanan permintaan maaf pelaku adalah sikap mengangap rendah korban atas pengalaman buruk yang dialami korban dan memberi ruang bagi pelaku sebagai orang yang memiliki ‘power’ untuk mendapat apresiasi. Euforia permintaan maaf pelaku tidak pantas diglorifikasi sebagai bentuk standard moral atas sadar dan atau tidaknya seseorang.
Kasus ini agak sedikit berbeda dengan kasus SJ di Indonesia (masih ingat khan?) SJ sebagai pelaku kekerasan seksual diglorifikasi sedemikian rupa ketika keluar dari penjara. Bedanya, dalam kasus “Kim Seon Ho” ada upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat Korea untuk menutup ruang bagi pelaku. Ya, itu sanksi yang pantas.
Dalam beberapa statement para fans “Kim Seon Ho” mencoba denial atas apa yang dilakukan aktor korea tersebut. Bahkan, para fans berduyun-duyun menyalahkan korban dengan narasi “cari panggung”, “numpang tenar”, “pengalaman perempuan itu sangat subjektif, ini jelas-jelas tuduhan”, “mungkin karena sudah putus, jadi ya begitu”, “Kim Seon Ho, kami dipihakmu,” “yang penting sudah minta maaf, kita apresiasi” Tentu ini sangat menyayat hati. Bagaimana dengan korban? Apakah mental bajanya untuk berani bersuara bukan sesuatu yang patut kita dukung?
Ingat, dalam kasus kekerasan seksual rumus memposisikan keadilan dan ruang aman terhadap korban adalah paten sifatnya. Menempatkan pelaku sebagai pelaku, tanpa menghadap-hadapkan posisi korban dengan pelaku apalagi menyalahkan korban atas pengalamannya.
Suara korban adalah suara yang valid, bukan sesuatu hal yang subjektif. Tugas kita adalah mendengarkan korban, menentukan sikap yang adil bagi korban, memberi ruang aman sepenuhnya tanpa menghakimi, serta mendorong lembaga negara untuk memberi respon cepat dan komprehensif bagi pemulihan korban.
Siapapun pelaku kekerasan, apapun jabatannya, tidak boleh menjadi pijakan pengabaian terhadap para korban. Di Indonesia, upaya penghapusan kekerasan seksual bukan sekedar untuk ajang bahas-membahas lagi, kita sudah mencapai kesepakatan bahwa diatas dasar rasa kemanusiaan kita semua menolak kekerasan seksual.
Sekarang saatnya negara hadir dan memberi ruang aman melalui payung hukum pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
“Apapun itu, Saya mengapresiasi seluruh argumentasi masyarakat Indonesia yang terang-terangan dan berani bicara tentang keberpihakan kepada korban.”
“Berhenti mengglorifikasi pelaku kekerasan seksual. Anda hanya perlu mengangkat bendera setengah tiang, atas penghormatan bagi setiap jiwa korban yang berjuang hingga menutup usia, dan sekali lagi penghormatan yang sama tingginya bagi korban kekerasan yang berhasil menyintas kehidupan.”
Fen Budiman, Sekjen Suluh Perempuan
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024