Baru-baru ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem M. Makarim, mengeluarkan Permendikbudristek No 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi (PT) yang ditetapkan 31 Agustus 2021. Sayangnya, banyak muncul suara sumir yang menganggap bahwa Permen PPKS ini melegalkan perzinahan.
Kebijakan ini akan disosialisasikan secara luas kepada publik untuk mensosialisasikan Merdeka Belajar Episode Keempat Belas: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual. Tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi.
Kami mengapresiasi dan mendukung langkah Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem M. Makarim, yang mengeluarkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Keputusan ini merupakan langkah maju dengan kepastian perlindungan terhadap korban serta menempatkan perempuan sebagai subyek manusia yang setara dalam hubungan pribadi maupun sosial. Permendikbud ini menekankan pada aspek perlindungan korban dan sama sekali tidak menunjukkan tendensi menganjurkan hubungan bebas.
Persoalan kekerasan seksual telah menjadi perhatian dan keprihatinan berbagai kalangan sejak lama. Pada 2017, Badan Pusat Statistik merilis hasil survei nasional yang menyebut satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya. Sepanjang 2018, Komnas Perempuan mencatat ada 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat dari tahun lalu sebesar 14 persen.
Sementara untuk kasus di tingkat kampus ataupun lembaga pendidikan lain belum bisa diperoleh data secara pasti. Meski demikian, kanal berita Tirto.id pernah mengedarkan formulir di tahun 2019 yang mendapatkan respon sejumlah 174 testimoni kekerasan seksual yang berhubungan dengan institusi perguruan tinggi. Artinya beberapa kasus kekerasan seksual yang mencuat dan menjadi pemberitaan media massa sebetulnya hanya secuil dari besarnya jumlah kasus yang terpendam (fenomena gunung es).
Kami berharap kebijakan Mendikbudristek ini dapat menjadi contoh untuk diterapkan secara lebih luas. Defenisi serta penjabaran yang terperinci tentang kategori kekerasan seksual merupakan kebutuhan yang seharusnya diakomodasi dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang kemudian diganti menjadi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Namun sangat disayangkan bahwa beberapa pasal krusial dalam RUU-PKS dan judul dari Rancangan Undang-Undang itu sendiri telah melucuti semangat keberpihakan pada korban akibat keberatan dari pihak-pihak tertentu.
Keputusan Mendikbudristek ini juga perlu dilihat sebagai momentum gerakan perempuan Indonesia untuk mengkonsolidasikan kekuatannya dan memperjuangkan agenda-agenda anti kekerasan seksual secara lebih masif.
Minaria C.N Simarmata
Juru Bicara PRIMA bidang Perempuan dan Kesejahteraan Sosial
Terkait
Posisi Perempuan dalam Pilkada 2024
Morowali Dibawah Tekanan Industri Ekstraktif dan Ancaman Kemiskinan
Hari Tani Nasional 2024, Mimpi Besar Kesejahteraan