Pada hari Minggu yang cerah, Redaksi Suluh Perempuan bertemu sosok inspiratif. Kali ini redaksi berkenalan dengan seorang perempuan dari Sukabumi, Jawa Barat. Dimulai dengan sapa dan minum kopi, perbincangan pun mengalir dengan deras. Sesekali perbincangan diselingi tawa dan canda menambah situasi hangat dan akrab.
Mila Joesoef adalah seorang aktivis perempuan dan pegiat literasi. Sehari-hari dia berdagang nasi kebuli. Namun, saat situasi pandemi melanda dan memukul perekonomian dunia, ia mencoba bertahan dengan membuka Warmindo (red: Warung Mie). Setelah situasi mulai pulih, Mila mencoba peruntungan baru dengan membuat usaha kopi susu gula aren kemasan.
Menurut penuturannya, perjumpaan dengan Suluh Perempuan pada Kongres di Bogor telah membawanya terlibat dalam pembangunan struktur Dewan Pimpinan Kota (DPK) Suluh Perempuan Sukabumi. Keterlibatannya di dunia gerakan perempuan pun boleh dibilang lahir dari rasa keprihatinan yang mendalam atas banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan.
“Kami sekarang sedang fokus pada upaya penyadaran kepada masyarakat, khususnya perempuan. Misalnya, belakangan ini kami mendiskusikan tentang istilah “Hympathy” yaitu rasa simpati yang berlebihan terhadap laki-laki pelaku kekerasan terhadap perempuan serta perilaku misoginis lainnya,” tutur Mila kepada Tim Suluh Perempuan.
Mengapa simpati terhadap pelaku disebut ‘Himpathy’? Karena pihak yang menikmati simpati besar dari masyarakat ketika sebuah kasus kekerasan seksual terungkap ke publik adalah laki-laki yang berpengaruh atau laki-laki yang memiliki kekuasaan.
Ketika terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan, seringkali masyarakat justru sibuk merasa kasihan dengan masa depan pelaku dan konsekuensi yang diterimanya. Padahal itu semua terjadi akibat kekerasan yang dilakukannya sendiri. Rasa iba dan kasihan terhadap pelaku ini pada akhirnya membuat masyarakat abai terhadap korban. Masyarakat juga apatis terhadap trauma yang muncul pada korban akibat kekerasan yang dialaminya.
Mila mencontohkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa seorang istri aparat penegak hukum. Dalam kasus ini, masyarakat justru sibuk menyalahkan korban dan merasa iba pada suami dan masa depan pelaku. Misalnya dengan mengatakan bahwa si istri pasti mendapatkan KDRT karena tidak nurut pada suami. Ketika istri melaporkan kasus KDRT yang menimpanya, ia juga disalahkan karena telah membuka aib suami yang akan berdampak pada hancurnya karier sang suami.
“Akibat pandangan ‘Himpathy’ ini, perempuan yang seharusnya saling mendukung justru menyalahkan perempuan korban. Ini adalah Pekerjaan Rumah (PR) kita bersama, bagaimana membangun keberpihakan pada korban dan mengadvokasinya,” tegasnya.
Membangun Taman Baca Masyarakat
Mila Nabilah yang familiar dengan nama Mila Joesoef di media sosial juga aktif mengembangkan literasi baca. Selain melakukan edukasi dan menyasar anak-anak muda di media sosial, ia juga membuka Taman Baca Masyarakat (TBM). Mila menggagas sebuah Taman Baca Masyarakat (TBM) yang diberi nama Suka Buku Taman Literasi di Desa Bojongkokosan Kabupaten Sukabumi pada 23 Oktober 2018.
“Pendidikan adalah kunci bagi terbentuknya manusia Indonesia yang berkarakter. Saya meyakini bahwa literasi membaca adalah jalan perbaikan yang akan mampu membangun karakter dan potensi anak serta mendorong mereka agar mampu berpikir kritis dan mandiri. Selama ini minat baca di daerah saya masih sangat rendah sehingga perlu mendongkraknya dengan adanya sebuah taman baca masyarakat,” tegasnya.
Selain menggagas TBM Suka Buku Taman Literasi, Mila juga pegiat perpustakaan jalanan. Salah satu aktivitas komunitas perpustakaan jalanan yang dikelola bersama adalah Pasar Gratis Sukabumi. Kegiatannya adalah melapak serentak bersama komunitas perpustakaan jalanan lainnya.
“Pasar Gratis Sukabumi ini dikelola secara kolektif. Banyak komunitas perpustakaan jalanan yang terlibat termasuk kelompok-kelompok anarko. Sejak 2018, para pegiat perpustakaan rata-rata didominasi laki-laki dan baru belakangan ini mulai muncul pegiat perempuan.”
Gerakan perpustakaan jalanan biasanya dilakukan secara rutin seminggu sekali. Buku-buku yang dipajang di perpustakaan jalanan juga sangat bervariasi. Mayoritas adalah buku-buku yang berlawan, seperti buku-buku Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer. Ada buku yang santai tapi serius karya Eka Kurniawan dan buku-buku filsafat.
Adapun referensi buku-buku perempuan yang ada antara lain: Ada Serigala Betina di Setiap Perempuan, Kumpulan Puisinya Dewi Nova, dan buku-buku Nawal El Saadawi. Selain itu ada juga buku-buku gender Islam tulisan Fatema Mernisi yang membahas bahwa Aisyah adalah teladan feminisme.
Sebelum berkenalan dan aktif di Suluh Perempuan, Mila sudah mengenal beberapa organisasi progresif, seperti LMND dan STN. Mila juga membaca kiprah PMII dan HMI yang merupakan ormas berpengaruh di Sukabumi. Adapun ormas perempuan yang berkembang di Sukabumi, antara lain Sarinah dari GMNI dan KPI.
Giat Suluh Perempuan Sukabumi
“Saya sedang mendiskusikan bersama kawan-kawan tentang bagaimana membuat sebuah reformasi atau perubahan sosial. Kita berharap setiap orang yang peduli akan memulai gerakan dari yang kecil menjadi besar bersama-sama. Apakah itu melalui bidang pendidikan, kesehatan atau mensejahterakan masyarakat miskin di sekitarnya. Ayo kita berhimpun, jangan melihat benderanya apa, yang penting adaalah berkolaborasi. Jangan ada sentimen wah ini benderaku, itu benderamu!”
Dalam setiap diskusi, Mila memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk berani menyangkal dan menyanggah. Itu adalah pembelajaran penting agar terbangun suasana demokratis. Selama ini memang masih ada sedikit pertentangan dan pertanyaan: reformasi atau revolusi? Namun, bagi Mila dan teman-temannya menganggap bahwa selama ini jalan reformasi itu terlalu lembek dan rentan dari para pengkhianat.
Saat ini, Mila bersama Suluh Perempuan Sukabumi sedang menggagas kegiatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) yang diperingati setiap tanggal 25 Desember-10 Desember. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menjaring perempuan agar aktif terlibat dalam gerakan dan mengajak kolaborasi antar organisasi. Kegiatan 16 HAKTP yang akan diselenggarakan tetap dengan konsep ‘ngelapak’ buku perpustakaan, namun akan dikombinasikan dengan beberapa kegiatan diskusi, aksi dan kampanye publik.
Selain melakukan aktivitas sosial, Mila juga berfokus pada pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ia sedang mengembangkan usaha kopi kemasan dengan melibatkan anak-anak sekolah dan mahasiswa yang ingin belajar wirausaha.
“Aku sangat concern pada pemberdayaan ekonomi, karena kadang-kadang kawan-kawan tidak bisa aktif hanya gara-gara ekonomi mereka seret. Ada yang dari keluarga menengah ke bawah, ada yang mahasiswa tapi bingung mencari pekerjaan buat bayar semesteran. Jadi aku ingin mereka menghasilkan, karena selama ini sering diskusi tentang ekopol tapi faktanya hanya kuat di politik tapi ekonominya ketetaran,” terangnya.
Awalnya ia berkenalan dengan pegiat kopi dari Kopi Indonesia. Setelah itu ia menyelanggarakan kelas online tentang cara membuat kopi susu gula aren dalam kemasan. Setelah melalui uji coba, mereka menciptakan produk. Menariknya, setelah launching produk, dalam sebulan terjual sekitar 100-an botol. Ini adalah pertanda bagus buat sebuah usaha. Sehingga ia berencana membuat kelas online dan produk lanjutan yang melibatkan anak-anak muda di sekitarnya.
“Sistem penjualannya adalah Pre Order, kemudian produk dikirim di hari Sabtu/Minggu. Kelompok usaha ini memastikan bahwa barang yang akan dikirim adalah pesanan orang-orang yang sudah jelas. Hal ini dilakukan untuk menghindari resiko. Karena usaha kami masih sangat baru.”
Ke depan, Mila ingin membentuk koperasi, karena baginya koperasi itu adalah soko guru perekonomian nasional. Ia termotivasi oleh Koperasi Herbal Jaya Abadi yang menjadi wadah bagi petani Kumis Kucing di Sukabumi. Tujuan pembentukan koperasi ini adalah agar petani bisa melakukan ekspor secara langsung ke luar negeri dan mendapatkan nilai jual yang lebih layak.
Sebelum terbentuk, Koperasi Herbal jaya Abadi membuat kelompok tani di 5 wilayah yang sangat berjauhan, antara lain di desa Ciambar, desa-desa di kaki Gunung Salak, di Jampang, Surade. Setelah terbentuk 5 kelompok tani barulah dibentuk koperasi.
“Jika koperasi ini berjalan maka akan menjadi pertanda baik bagi petani. Kita menginginkan rakyat yang berdikari secara ekonomi. Memang sempat terjadi kemampatan gerakan di Sukabumi, namun dengan terbentuknya koperasi ternyata bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat. Inilah saatnya membuktikan kepada masyarakat, “ pungkasnya mengakhiri obrolan pagi. (*)
Indah Pratiwi
Terkait
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan
Dari Aktivisme Borjuis ke Solidaritas Sejati: Membangun Gerakan Sosial yang Inklusif