Oleh: Mohamad Irfan/Irvan*
Perang sepertinya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah umat manusia. Bahkan kita temukan perang memenuhi halaman-halaman buku-buku sejarah lokal, regional maupun dunia, baik itu perang-perang kecil maupun perang-perang besar.
Perang tak melulu berbicara tentang militer, tentara, strategi perang, senjata, dan sebagainya. Dalam dunia modern, dalam perang modern, perang telah menjadi industri. Nah kalau sudah bicara industri, industri macam apapun itu, termasuk industri perang, unsur terpenting dalam industri adalah buruh.
Tumbuh kembangnya industri militer atau industri pertahanan, adalah untuk mengantisipasi perang, atau membuat perang atau konflik di sebuah negara atau antar negara yang berpotensi perang. Perang atau konflik yang berpotensi perang menjadi pasar bagi penjualan senjata-senjata produk dari perusahaan-perusahaan penghasil senjata-senjata atau peralatan militer/alutista.
Contoh terkini adalah konflik berpotensi perang antara Rusia dan Ukraina. Joe Biden, Presiden Amerika Serikat menyatakan tak akan mengirim tentara untuk membantu Ukraina, tetapi memasok senjata. Memasok senjata maksudnya adalah menjual senjata kepada Ukraina dalam bentuk hutang.
Ada dua negara terbesar dalam industri perang ini yaitu Amerika Serikat dan Rusia. Untuk itu mari kita bicara soal buruh-buruh yang bekerja di Industri perang ini.
Amerika serikat adalah contoh terbaik karena Amerika Serikat yang paling sering berperang, atau turut berperang, atau ‘membantu’ negara yang sedang konflik bersenjata di dalam negerinya atau dengan negara tetangganya.
Banyak yang tidak tahu bahwa Amerika Serikat pernah intervensi bersama sekutunya (Italia, Perancis, dan Inggris) di dalam perang sipil di Russia tahun 1918-1920. Amerika membantu tentara putih pendukung rejim Tsar yang dijatuhkan Bolsewik. Amerika serikat mengirimkan sebanyak 13.000 tentara ke Russia. Inilah momen pertama kalinya hubungan buruk Amerika Serikat dengan Russia.
Buruh dan Industri Perang Amerika Serikat
Amerika Serikat adalah negara dengan industri militer sekaligus industri perang yang terkemuka di dunia. Ada sekitar 2,2 juta buruh di Amerika Serikat bekerja di sektor industri senjata dan pertahanan (industri perang) dan menduduki 1,4 persen dari total angkatan kerja Amerika Serikat. Dengan demikian sangat logis bila Amerika Serikat memerlukan perang agar roda industri perangnya terus berputar.
Lantas apa efek perang bagi kehidupan buruh? Di sini kita tak membahas sikap buruh terhadap perang, karena daratan Amerika Serikat tidak pernah di serang atau diinvasi oleh negara lain. Amerika Serikat hanya mengalami perang di tanahnya (Mainland) sendiri yaitu ketika perang kemerdekaan melawan Inggris, dan perang sipil utara-selatan di abad-abad yang telah lama. Pernah di serang Jepang pada Perang Dunia II yaitu pangkalan militer Pearl Harbor di pulau Hawai, yang ratusan mil jauhnya dari daratan utama/Mainlaind-nya Amerika Serikat.
Berbicara hubungan antara perang dan buruh membantu kita memahami bagaimana buruh dapat meningkatkan kondisi mereka. Perang seringkali mengakibatkan peningkatan produksi, pasar tenaga kerja yang ketat, dan upah yang lebih tinggi. Perang-perang besar selama abad ke 20 telah menyumbang bagi meningkatnya kesetaraan, tumbuhnya negara kesejahteraan, dan kemajuan dalam hak-hak sipil, seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Ya perang bisa memiliki efek keuntungan pada buruh.
Keuntungan ini karena pemerintah bergantung pada buruh selama jaman perang untuk memproduksi suplai peralatan perang dan mengabdi sebagai tentara. Ketergantungan ini bisa diartikan sebagai menguatnya daya tawar atau bahasa kerennya bargaining power, karena pemerintah takut buruh menghentikan aktifitas produksi. Sebaliknya, buruh seringkali memanfaatkan ketergantungan pemerintah ini untuk meraih upah yang lebih baik, manfaat, hak-hak dan perlindungan melalui pemogokan.
Contohnya, selama Perang Dunia II, kaum buruh melakukan pemogokan di industri-industri perang yang vital, menaikkan daya tawar mereka untuk menciptakan sebuah norma atau pengaturan yang baru mengenai hubungan antara pemerintah, majikan dan kaum buruh. Untuk beberapa waktu cara ini melindungi hak-hak mereka, membuat upah dan syarat kerja mereka meningkat.
Keuntungan yang dimiliki kaum buruh pada pertengahan abad ke-20 telah dikikis oleh pergantian ke abad 21. Nah, muncul pertanyaan apa pengaruhnya pada hubungan perang dan daya tawar buruh hari ini?
Mirip dengan abad ke-20, mulai dengan perang di Irak dan Afghanistan telah meningkatkan daya tawar kaum buruh yang memproduksi peralatan perang. Antara tahun 2003-2009, tahun-tahun gencarnya perang di Irak dan Afghanistan, kaum buruh ini sudah melakukan serangkaian pemogokan-pemogokan ofensif menuntut kenaikan upah atau jaminan sosial. Namun setelah gelombang ini, pemogokan-pemogokan menjadi defensif, mereka berjuang melawan pengurangan upah, jaminan sosial atau jabatan pekerjaan.
Setelah tahun 2009, terjadi perubahan. Kontraktor-kontraktor militer mulai memotong manfaat pensiun, Mem-PHK massal dan mengurangi cakupan manfaat asuransi tenaga kerja. Kaum buruh pun didorong ke posisi defensif, dan mereka berjuang menjadi semata-mata untuk hidup mereka.
Penyebabnya adalah ada perubahan di dalam tipe peralatan perang yang diproduksi kaum buruh. Dalam tahun-tahun awal perang, kaum buruh memproduksi peralatan militer yang mendesak dibutuhkan seperti pesawat jet tempur F-16. Ini artinya pemerintah bergantung pada buruh untuk menyediakan suplai tanpa interupsi. Keuntungan ini membuat buruh sering menang saat mereka melakukan pemogokan.
Namun beberapa tahun belakangan ini, para buruh di pabrik Lockheed Martin sekarang memproduksi pesawat tempur yang lebih maju, F-35s. Sistem persenjatan yang baru tidak langsung atau buru-buru digunakan di dalam perang. Ia dibuat untuk perang dengan “negara-negara adidaya” seperti Tiongkok dan Rusia bukan untuk digunakan untuk perang di Irak dan Afghanistan.
Dengan demikian militer tak mendesak produk mereka dan pemerintah pun tak bergantung pada para buruh untuk cepat-cepat mensuplainya. Karena tidak mensuplai peralatan perang yang pemerintah butuhkan segera, maka daya tawar buruh pun menurun selama dekade yang lalu.
Perubahan-perubahan di dalam strategi geopolitik juga berakibat bagi kaum buruh di Amerika Serikat. Kaum buruh terus-menerus membuat peralatan-peralatan perang, namun mayoritas untuk persiapan bagi konflik di masa depan yang tidak pasti. Ini juga turut mengurangi ketergantungan pemerintah kepada buruh dan mengikis daya tawar mereka – bahkan malah mengakibatkan PHK, pemotongan upah dan pengurangan manfaat asuransi. Bila antisipasi konflik dengan “negara-negara adidaya”, sepertinya daya tawar mereka tak akan kembali.
Ketimbang menunggu keuntungan yang berumur pendek dan tak pasti yang muncul dari perang-perang belakangan ini, momen jaman sekarang menawarkan kaum buruh kesempatan untuk melihat tempat-tempat lain untuk keuntungan yang lebih stabil. Namun lebih penting dari itu adalah menemukan sumber-sumber daya tawar bisa dimulai dengan melepaskan kepentingan kaum buruh dari perang-perang Amerika yang merusak dan mematikan.
Serikat Buruh dan Relasi Kekuasaan di Rusia Pasca Uni Soviet
Sebelum kita bicara tentang buruh dan industri perang di Rusia mari kita tengok sekilas sejarah kaum buruh dan perubahannya dari era Soviet ke era pasca runtuhnya Soviet (pasca soviet).
Serikat buruh, pada era Soviet memiliki fungsi utama menjadi salah satu tangan dari sistem Partai-Negara. Ia didesain untuk membantu menegakkan kebijakan partai komunis di tempat kerja dan mendistribusikan layanan-layanan sosial.
Semua buruh di Uni Soviet adalah anggota All-Union Central Council of Trade Union (VTsSPS), karena keanggotaannya adalah otomatis. Pada akhir era soviet atau saat periode awal pasca soviet beberapa serikat buruh independen muncul. Paling menonjol adalah Serikat Buruh Tambang (Independent Union of Miners), lalu diikuti oleh Serikat Buruh Kereta Api (the Union of Locomotive Engineers), Serikat Pilot (Air Pilots Union) dan Serikat Pelaut (Union of Seamen). Serikat-serikat buruh ini adalah para buruh berkeahlian yang tak mudah digantikan. Ini membuat daya tawar mereka naik di dalam perundingan bersama, namun menyulitkan mereka untuk memperbanyak anggota.
Pada akhir periode soviet, Rusia memiliki dua serikat buruh terpisah dan saling bersaing. Pada tahun 1990 VTsSPS berubah nama menjadi Federasi Serikat Buruh Independent Rusia (Federation of Independent Trade Unions of Russia/FNPR) yang pada dasarnya adalah sama saja, organisasi yang sama dengan aparatur yang sama. Agar pimpinan FNPR dan jajaran birokrasinya mendukungnya dan mengontrol keresahan buruh, Yeltsin memberikan FNPR kontrol hampir semua sumber daya sistem serikat buruh peninggalan soviet di seluruh wilayah federasi Rusia.
Sejak itu FNPR telah mengamankan kontrol tersebut. Karena rejim saat itu menganggap organisasi sebagai alat yang sesuai untuk mengelola isu-isu perburuhan. Serikat-serikat buruh independen mengamankan struktur organisasionalnya sendiri. Pada tahun 1995 kebanyakan dari mereka duduk bersama untuk membentuk Konfederasi Buruh Rusia (Confederation of Labour of Russia/KTR).
FNPR tetap menjadi organisasi payung serikat-serikat buruh “resmi” (di Indonesia disebut serikat buruh kuning). Pendekatan FNPR terhadap aktifitas serikat buruh adalah kemitraan sosial yang menekankan kepentingan bersama antara majikan dan buruh, mirip konsep dan praktek Hubungan Industrial Pancasila di Indonesia jaman orde baru. FNPR mengklaim sebagai wakil satu-satunya untuk hak-hak buruh Rusia.
Faktanya FNPR bukanlah satu-satunya wakil buruh Rusia. FNPR menduduki 27 dari 30 kursi pada Russian Trilateral Commission on Regulation on Social and Labour Relation yang berurusan dengan isu-isu perburuhan (Mirip dengan Tripartit Nasional di Indonesia). Perlu dicatat bahwa serikat-serikat buruh ini adalah organisasi-organisasi birokratis yang didesain untuk mempertahankan ketertiban dan harmoni sosial di tempat kerja, dan menghindari konflik perburuhan. Meskipun begitu bertahun-tahun serikat buruh independen mengorganisir pemogokan-pemogokan mereka sendiri dan mendukung pemogokan-pemogokan dan protes-protes spontan.
Kerja-kerja serikat buruh independen menjadi semakin sulit dengan adanya perubahan di dalam hukum perburuhan, serikat-serikat buruh ini tetap menjadi kekuatan yang sangat penting bagi kaum Rusia sekarang ini.
Undang-undang Perburuhan Rusia yang berlaku pada tahun 2002 makin mempersulit gerakan serikat buruh di Rusia. Undang-undang ini benar-benar membatasi hak-hak serikat buruh seperti mereka kehilangan hak untuk menghentikan pemecatan seorang buruh oleh inisiatif dari manajemen, mereka kehilangan hak untuk melakukan mogok (harus mendapat persetujuan dari seluruh/semua pekerja perusahaan, dan pemogokan solidaritas dilarang.
Serikat-serikat buruh independen juga mengalami kesulitan dalam menetapkan serikat buruhnya di tingkat perusahaan, karena FNPR aktif bekerja sama dengan manajemen untuk mencegah serikat buruh independen mengorganisir di tingkat pabrik atau perusahaan.
Kaum buruh Rusia, dalam upaya mereka mempertahankan kepentingan mereka, berhadapan dengan rintangan-rintangan secara organiasional, legal dan politikal. Bagi mayoritas buruh Rusia terbukti belum menjadi mekanisme yang efektif untuk mengedepankan kepentingan mereka dikarenakan unionisme kuning dari FNPR dan hadangan-hadangan masif yang dihadapi oleh serikat buruh atau aktivis serikat buruh independen.
Meskipun serikat-serikat buruh independen berdiri di baris depan dari banyak protes-protes buruh yang berlangsung selama beberapa tahun, mereka terbukti efektif dan berani dalam mengadvokasi hak-hak buruh, memenangkan hak-hak buruh seperti upah, dan syarat kerja baik diperusahaan maupun di pengadilan. Namun mayoritas masih berupa pemogokan liar (wild cat, sradak seruduk), spontan.
Buruh dan Industri Pertahanan/Perang Rusia
Ada sekitar 1300 perusahaan dalam Industri peralatan militer atau industri pertahanan di Rusia. Semua perusahaan itu dibawah naungan perusahaan negara (atau BUMN di Indonesia) seperti Rostec, Almaz-Antey, Roscosmos, Tactical Missiles Corporation, United Shipbuilding Corporation dan Nuclear Weapons Division of Rosatom. Ada sekitar 2 juta buruh bekerja di sektor industri ini. Jumlah ini menduduki 2,7% dari jumlah angkatan kerja Rusia.
Para pekerja ini dan keluarganya menjadi pilar kunci dukungan bagi Kremlin. Rostec merupakan yang terbesar, membawahi sekitar 700 perusahaan dan mempekerjakan setengah juta orang.
Rostec diciptakan sebagai sebuah organisasi payung bagi ratusan perusahaan senjata milik negara Rusia. Namun atas nama kepentingan strategis Rusia, ia juga mengendalikan beberapa industri sipil, misalnya suku cadang perusahaan otomotif seperti AvtoVAZ dan Kamaz, beberapa perusahaan penerbangan, dan perusahaan titanium VSMPO-Avisma. Sampai tahun 2017 setelah mengambil alih United Aircraft Corporation, jumlah pekerja membengkak hingga mencapai 600.000.
Dari dua contoh di atas, kaum buruh yang bekerja di di industri perang, di Amerika Serikat perusahaan-perusahaan peralatan militer dipegang oleh swasta dan menjadi kontraktor dari pemerintah/negara. Sementara di Rusia semua perusahaan peralatan militer dikuasai oleh pemerintah/negara atau BUMN.
Walaupun jumlah buruh-buruh yang bekerja di industri ini sangat besar, namun kesadarannya di Amerika Serikat mayoritas masih ekonomisme. Masih mementingkan kepentingan sektoral mereka sendiri, karena ternyata perang telah menguntungkan mereka, daya tawar menjadi lebih kuat. Sedangkan, di Rusia buruh-buruh yang bekerja di sektor industri pertahanan telah terkooptasi oleh pemerintah/negara, mayoritas adalah anggota FNPR, serikat buruh kuning. Sama dengan para buruh Amerika Serikat yang bekerja di sektor ini, perang atau konflik berpotensi perang menguntungkan kepentingan ekonomis mereka. Jadi sangat sulit mengharapkan mereka ini berada di baris depan untuk menentang perang.
Jadi seruan Lenin pada Perang agar kelas buruh mengarahkan perang kepada rejim yang berkuasa di negara-negara yang berperang, sulit terjadi, kecuali di Rusia sendiri, saat perang dunia pertama meletus. Mengapa?
Biasanya dalam keadaan perang, negara-negara yang berperang akan mengeluarkan keadaan darurat perang, yang membatasi kegiatan-kegiatan politik yang dapat mengganggu kampanye dan mobilisasi rakyat untuk perang, untuk mengabdi negara, atau bekerja dalam industri perang.
Bila hukum keadaan darurat militer adalah untuk menghukum, sementara mobilisasi buruh bekerja di perusahaan industri perang, para buruh dijamin pekerjaannya, upah yang lebih tinggi, dan sebagainya. Atau bahasa kerennya negara menggunakan strategi Stick and Carrots ( pentungan dan wortel), artinya kalau kalian menentang akan dipentung, kalau patuh diberi wortel (disuap dengan upah lebih tinggi dan jaminan pekerjaan (mempersulit PHK misalnya).
Itulah kendala-kendala besar yang dihadapi kaum buruh untuk menentang perang, mencegah kaum buruh di negara-negara berperang saling bunuh, padahal perang tersebut bukan perangnya mereka. Malah banyak memanfaatkan perang agar daya tawar mereka naik atau menguat untuk meraih upah yang lebih tinggi, untuk jaminan sosial, cikal bakal negara kesejahteraan. Seperti yang terjadi di negara-negara eropa pasca perang dunia ke dua.
_______
*Aktif di Serikat Buruh Migran dan Informal-KSBSI
Bahan bacaan:
- How do Wars Affect workers in the United States, www.wipsociology.org
- Labor Under Putin, www.newlaborforum.cuny.edu
- The inner workings Rostec, www.wilsoncenter.org/blog-post
Terkait
Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya
VoB (Voice of Baceprot): Perempuan di Antara Ritus Racauan
Obituari Neng Yati, Pejuang dari Jelambar