Akhir-akhir ini masyarakat dikejutkan oleh kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan. Ibarat fenomena gunung es, kasus-kasus di atas bisa jadi hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus yang nampak di permukaan dan terlapor.
Belum hilang dari ingatan kita, Herry Wirawan seorang Kyai yang memperkosa 13 santrinya. Ada pengasuh Ponpes Banyuwangi melakukan pelecehan seksual terhadap santriwati dan mendapatkan protes dari masyarakat. Teranyar, anak seorang Kyai Jombang mencabuli santrinya dengan modus rekrutmen Tenaga Kesehatan (Nakes). Selain itu, pendiri sekolah SPI ditahan karena melakukan kekerasan seksual dan mempekerjakan anak di bawah umur.
Kita tak pernah tahu, kasus-kasus lainnya yang bisa saja terjadi namun tak dilaporkan atau korbannya enggan bersuara karena mendapat ancaman dari pelaku. Kasus-kasus di atas sangat kental adanya relasi kuasa, di mana pelaku adalah orang-orang yang secara sosial terhormat dan mempunyai pengaruh. Adanya relasi yang timpang antara pelaku dan korban inilah yang membuat kasus-kasus ini susah terungkap.
Bicara tentang kekerasan seksual apakah perilaku ini wajar? Apalagi pelakunya adalah tokoh masyarakat atau tokoh agama bahkan terjadi di lembaga Pendidikan. Tentu kekerasan seksual adalah perilaku yang tidak wajar dan boleh dikatakan perilaku menyimpang.
Nah, apa sih perilaku menyimpang itu? Menurut Robert MZ Lawang, perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam masyarakat. Serta menimbulkan usaha dari yang berwenang dalam sistem untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
Jadi, perilaku menyimpang adalah suatu tindakan yang dilakukan individu karena melanggar nilai-nilai dan norma -norma yang telah ditetapkan oleh masyarakat/hukum positif. Salah satu bentuk dari perilaku yang menyimpang adalah pemerkosaan, kekerasan seksual, dan/atau pelecehan seksual.
Ketika berbicara tentang kekerasan seksual, maka kita berharap adanya sebuah sistem hukum yang melindungi dan memberi rasa keadilan bagi sang korban. Ditegakkannya sistem hukum bukan saja untuk memberi keadilan pada korban tetapi sekaligus memberi kepastian dan keteraturan bagi tatanan sosial masyarakat yang lebih luas.
Apabila kedua hal ini tidak menjadi perhatian dalam sistem hukum atau kebijakan yang diatur pemerintah maka niscaya kepercayaan masyarakat pada hukum itu akan mengalami degradasi. Alangkah naifnya suatu pemerintahan yang tidak mendapatkan kepercayaan masyarakat, karena tidak adanya sistem hukum yang memadai atau lemahnya sistem penegakan hukum yang ada.
Kita patut prihatin, melihat maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi baru-baru ini. Dimana pelakunya adalah tokoh masyarakat dan tokoh agama, seperti pendiri sekolah, pengurus pondok pesantren atau justru, Ustadz atau Kyai. Mungkin perilaku seksual yang menyimpang tersebut bisa dikaji melalui pendekatan psikologis. Bagaimana seorang yang agamis bisa menjadi pelaku kekerasan seksual? Apa motivasi dan latar belakang seorang pelaku kekerasan seksual?
Namun, masalahnya tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Seperti diselesaikan secara internal di pondok pesantren saja atau antar lembaga pendidikan dengan keluarga korban. Hal itu dikarenakan adanya masalah relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban. Di sisi lain, ada hambatan bagi aparat penegak hukum untuk menangkap pelaku.
Dibutuhkan sebuah pendekatan persuasif namun sekaligus komprehensif agar tidak terjadi keguncangan yang meluas di masyarakat. Mungkin bagi masyarakat yang paternalistiknya sangat kuat hal yang dilakukan itu terasa sah saja. Tetapi sebenarnya –hal yang nampaknya sederhana itu–tidaklah sesederhana yang dilihat. Apalagi, masyarakat yang tidak memiliki modal sosial kuat karena masih sangat bergantung pada pimpinan lembaga keagamaan atau tokoh masyarakat.
Selayaknya tokoh agama atau pimpinan pondok pesantren berlaku sebagai orang tua yang mengajarkan setiap orang bertanggung jawab atas segala perilaku dan tindakannya. Sehingga jika mereka bersalah dan merugikan orang lain –dalam hal ini adalah korban dan keluarganya– mereka harus berani menanggung hukuman yang diterimanya dengan dada yang terbuka.
Bagi masyarakat Indonesia yang mengaku sebagai negara hukum maka sudah semestinya memandang bahwa setiap warga negara sama di hadapan hukum. Tak peduli pimpinan ponpes, tokoh agama atau pejabat sekali pun jika bersalah dan melanggar hukum maka ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Apabila ini bisa dilaksanakan secara optimal kita bisa berharap tatanan sosial dan budaya kita bisa menjadi sandaran bagi masyarakat yang lebih bermartabat dan memiliki harga diri. Mengapa harga diri? Secara psikologis, individu yang memiliki self respect (harga diri) maka tidak mudah baginya melakukan tindakan-tindakan yang merugikan bagi dirinya juga bagi orang lain.
Semoga kita adalah persona atau pribadi yang bermanfaat bagi lingkungan dekat kita dan juga bagi masyarakat luas. Semoga kemajuan dan kesejahteraan bagi semua pihak dapat terwujud. Sehingga mampu meminimalisir angka kekerasan seksual serta perilaku-perilaku yang tidak senonoh dalam masyarakat yang katanya berbudaya dan beragama. (*)
Penulis: Reno Ranti
Editor: Humaira
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024