13 Desember 2024

Hildegard, Ahli Pikir Perempuan Abad Pertengahan

"Segala sesuatu dapat menjadi sangat kacau jika hanya kaum laki-laki yang dibiarkan menguasai bidang filasafat dan ilmu pengetahuan" -Siti Rubaidah
0Shares

Hildegard

Kehidupan gereja pada Abad Pertengahan sangat didominasi oleh kaum laki-laki. Tapi bukan berarti bahwa pada waktu itu tidak ada ahli pikir perempuan. Salah satunya adalah Hildegard yang berasal dari Bingen. Hilde adalah contoh dari kenyataan bahwa kaum perempuan seringkali lebih praktis, bahkan lebih ilmiah, di masanya yaitu pada Abad Pertengahan.

Hildegard dari Bingen (Hildegard von Bingen) dikenal sebagai Saint Hildegard dan Sibyl dari Rhine. Hildegard hidup sebagai seorang biarawati di lembah Rhine dari 1088 hingga 1179. Meskipun seorang perempuan, Hilde merupakan seorang polimatik Benediktin Jerman yang aktif sebagai penulis, komposer, filsuf, mistikus, dokter, ahli botani, dan ahli ilmu alam. 

Hilde adalah salah satu komposer monofoni suci yang paling terkenal, serta yang paling tercatat dalam sejarah modern. Ia telah dianggap oleh para sarjana sebagai pendiri sejarah alam ilmiah di Jerman. Biara Hildegard memilihnya sebagai magister (mother superior) pada tahun 1136. Ia mendirikan biara-biara Rupertsberg (1150) dan Eibingen (1165).

Hilde menulis karya teologis, botani, obat-obatan, himne, dan antifon untuk liturgi. Ia juga menulis puisi, mengawasi iluminasi miniatur dalam naskah Rupertsberg dari karya pertamanya, Scivias. Ia salah satu dari sedikit komposer yang dikenal telah menulis musik dan kata-katanya. Banyak karya musiknya yang tetap hidup sepanjang Abad Pertengahan. 

Salah satu karyanya, Ordo Virtutum, adalah contoh awal dari drama liturgi dan bisa dibilang drama moralitas tertua yang masih ada. Dia terkenal juga sebagai penemu bahasa yang disusun dan yang dikenal sebagai Lingua Ignota. Gereja Katolik Roma telah mendaftarkan namanya sebagai orang suci selama berabad-abad. 

Pada 10 Mei 2012, Paus Benediktus XVI memperluas kultus liturgi Hildegard ke seluruh Gereja Katolik dalam proses yang dikenal ke seluruh Gereja Katolik dalam proses yang dikenal sebagai “Kanonisasi Setara”. Pada 7 Oktober 2012, ia disebut sebagai “Pujangga Gereja” sebagai pengakuan atas kekudusan hidupnya dan orisinalitas ajarannya.

Sumber: University of Rochester

Pandangan tentang Perempuan

Telah dijelaskan di atas bahwa pada masa Abad Pertengahan, kehidupan Gereja sangat didominasi oleh kaum pria. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan dan pemikiran filsafat di masanya, yaitu pada Abad Pertengahan.

Sejak 380 M, agama Kristen menjadi agama resmi di seluruh kekaisaran Romawi. Tahun 529, Gereja menutup Akademi Plato di Athena. Pada tahun yang sama, Ordo Benediktin yang pertama di antara ordo-ordo monastik besar, didirikan. Tahun 529 menjadi lambang bagaimana Gereja Kristen menolak filsafat Yunani.

Akhir abad kedua belas, para ilmuwan Arab mulai berdatangan di Italia Utara atas undangan para bangsawan. Berkat pengaruh bangsa Arab yang menjaga kelangsungan tradisi Aristoteles, banyak tulisan Aristoteles yang dikenal dan diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin. Hal ini menciptakan minat baru pada ilmu alam dengan memasukkan semangat baru menggabungkan semangat wahyu Kristen dengan filsafat Yunani.

Filosof terbesar dan paling penting pada Abad Pertengahan adalah Thomas Aquinas. Ia hidup dari tahun 1225 hingga 1274 M. Aquinas berasal dari kota kecil Aquino, antara Roma dan Napoli. Ia bekerja sebagai guru di Universitas Paris. Ia bisa dibilang filosof namun lebih tepatnya adalah ahli teologi. Pada masa itu tidak ada perbedaan besar antara filsafat dan teologi. 

Aquinas adalah penganut Aristoteles dalam berfilsafat. Ia adalah salah satu orang yang berusaha membuat filsafat Aristoteles sesuai dengan agama Kristen. Ia memadukan antara iman dan ilmu pengetahuan. Menurutnya, tidak perlu ada konflik antara apa yang diajarkan oleh filosof atau akal dan apa yang diajarkan oleh Wahyu Kristen atau iman. Boleh dibilang Aquinas telah mengkristenkan Aristoteles sebagaimana pendahulunya St. Agustin mengkristenkan Plato pada awal Abad Pertengahan. 

Kembali ke masalah, bagaimana pandangan tentang perempuan di Abad Pertengahan? Ada pengaruh Thomas Aquinas dalam masalah ini. Sebagai penganut filsafat Aristoteles dan sebagai orang yang telah mengkristenkan Aristoteles maka pandangannya terhadap kaum perempuan juga dipengaruhi oleh gurunya, Aristoteles.

Pengaruh Aquinas

Jika Plato (428-347 SM) mempunyai pandangan positif tentang perempuan. Dalam dialog Symposium, Plato memberikan Diotima, kehormatan kepada seorang pendeta perempuan yang legendaris karena telah memberikan wawasan filsafat kepada Socrates. Maka pandangan Aristoteles tentang perempuan tidak sebaik pandangan Plato. 

Aristoteles memandang perempuan itu tidak sempurna dalam beberapa hal. Seorang perempuan menurut Aristoteles adalah “pria yang belum lengkap.” Dalam hal reproduksi, perempuan bersikap pasif dan reseptif, sementara laki-laki aktif dan produktif, karenanya anak hanya mewarisi sifat-sifat laki-laki. 

Aristoteles percaya bahwa semua sifat anak terkumpul lengkap dalam sperma pria. Perempuan hanyalah ladang yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara laki-laki yang menanam. Dalam bahasa Aristoteles, laki-laki menyediakan ‘bentuk’, sedangkan perempuan menyumbangkan ‘substansi’. 

Sebagaimana Aristoteles, Aquinas beranggapan bahwa anak-anak hanya mewarisi ciri-ciri ayahnya, sebab perempuan bersifat pasif dan reseptif, sementara laki-laki aktif dan kreatif. Menurutnya, pandangan-pandangan ini selaras dengan pesan Bibel, misalnya pandangan yang menyatakan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk Adam. 

Pandangan Aristoteles yang keliru mengenai jenis kelamin ini sangat membahayakan sebab justru pandangannya dan bukan pandangan Plato yang berpengaruh sepanjang Abad Pertengahan. Gereja karenanya mewarisi pandangan tentang perempuan yang sama sekali tidak ada landasannya dalam Bibel. Karena, Yesus tentunya bukan pembenci perempuan.

Menurut Aquinas dalam kedudukan sebagai makhluk alam kaum perempuan lebih rendah daripada kaum laki-laki. Kesetaraan penuh bagi kedua jenis ini hanya ada di surga. Ketika di surga seluruh perbedaan gender yang bersifat fisik tidak ada lagi. Sehingga jiwa perempuan itu setara dengan jiwa laki-laki.

Tidak mengherankan jika pandangan yang berkembang saat itu sangat mengagungkan laki-laki dan merendahkan kaum perempuan. Pandangan buruk tersebut bahkan berlanjut hampir sampai sekarang. Perempuan dianggap sebagai sosok liyan atau dianggap sebagai warga masyarakat kelas kedua. Perempuan juga dianggap sebagai pendosa sehingga perannya sebagai tokoh agama seringkali diabaikan.

Teologi Hildegard

Sumber: Catholic World Report

Sedangkan bila merujuk pada pandangan Hildegard, teologi Hildegard, berdasar pada kitab suci, dengan tegas menegaskan bahwa baik wanita maupun pria membawa imago Dei, yang memberi setiap jenis kelamin dengan martabat yang sama di hadapan Tuhan.

Teologi Hildegard sangat inkarnasi: dunia material dipenuhi dengan makna sakral dan makna sakramental. Tubuh manusia adalah mikrokosmos dari kosmos, yang dipahami Hildegard sebagai keseluruhan yang teratur dan harmonis. Visi mistiknya tentang alam semesta bukanlah hierarki dari atas ke bawah, tetapi sebuah telur kosmik dengan lapisan bersarang yang saling berhubungan—bumi pada intinya.

Kosmos Aristoteles diatur secara hierarkis, hingga ke elemen itu sendiri, dengan api menjadi yang tertinggi, diikuti oleh udara, air, dan bumi. Dia mengasosiasikan laki-laki dengan api dan udara—pria lebih tinggi, aktif, lebih ringan, lebih unggul. Perempuan terkait dengan air dan bumi; dia lebih rendah, pasif, lebih berat, lebih rendah. Hildegard menyusun ulang skema ini, menghubungkan laki-laki dengan elemen tertinggi dan terendah—api dan bumi—dan perempuan dengan dua elemen tengah—udara dan air. Dalam Kejadian, bagaimanapun, adalah laki-laki yang terbuat dari tanah liat, bukan perempuan.

Hildegard sering berpendapat bahwa laki-laki harus mengembangkan kualitas feminin dari rahmat dan karunia kasih, sementara perempuan harus mengembangkan kualitas maskulin yang sesuai dari keberanian dan kekuatan. Dengan cara ini, meskipun dia menetapkan kualitas-kualitas tertentu sebagai maskulin atau feminin, seorang perempuan atau laki-laki yang sepenuhnya terintegrasi akan mengembangkan kedua aspek sifat mereka.³

Sifat Feminitas Tuhan

Ada kepercayaan kuno dari ajaran Kristen dan Yahudi bahwa Tuhan bukan hanya seorang laki-laki, Dia juga memiliki sisi feminin atau ‘watak keibuan’. Kaum perempuan pun diciptakan seperti Tuhan. Dalam Bahasa Yunani, sisi feminitas dari Tuhan ini dinamakan Sophia atau Sophie yang berarti kebijaksanaan.

Sifat Feminitas Tuhan di dalam Islam tercermin dari sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Menurut para mufassir ada hubungan etimologis antara sifat utama Allah Ar-Rahman dengan rahim (peranakan) yang dimiliki wanita. Sifat Allah sebagai Ar-Rahman dan Ar-Rahim sangat dikenal karena muncul berulang-ulang di setiap awal surat, kecuali di Surat At-Taubah. Dalam bahasa Arab, kata rahim berasal dari akar kata yang sama dengan rahm (belas kasih) dan Rahman (Maha Penyayang). 

Asma Barlas dalam buku Believing Women in Islam menjelaskan bahwa dengan begitu Al-Qur’an bukan saja membawa ibu ke wilayah signifikansi simbolis yang dimiliki Tuhan, tapi Ia juga mengistimewakannya.

Sophia atau watak keibuaan atau sisi feminitas Tuhan mempunyai makna penting, baik bagi bangsa Yahudi maupun Gereja Ortodoks Yunani sepanjang Abad Pertengahan. Bahkan di  masa Islam, watak keibuan Tuhan juga masih memegang makna penting. Di Barat pada masa Abad Pertengahan, peran perempuan pernah dipandang sebelah mata. Namun berkat Hildegrad, maka Sophia muncul dengan penampakan yang anggun dan bijaksana. 

Terakhir, kita bisa membuat kesimpulan tentang pandangan Aristoteles dan Thomas Aquinas yang buruk terhadap perempuan tersebut membuktikan dua hal: 

Pertama, Aristoteles maupun Aquinas pasti tidak mempunyai banyak pengalaman praktis menyangkut kehidupan kaum perempuan dan anak-anak. 

Kedua, bahwa segala sesuatu dapat menjadi sangat kacau jika hanya kaum laki-laki yang dibiarkan menguasai bidang filasafat dan ilmu pengetahuan. 

Penulis: Siti Rubaidah

Editor: Mila

________________

¹ Wikipedia

² Jostein Gaarder, Dunia Sophie Sebuah Novel filsafat, PT Mizan Pustaka, 2018

³ https://churchlifejournal.nd.edu/articles/hildegard-of-bingens-vital-contribution-to-the-concept-of-woman

Asma Barlas, Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an, Saqi books, 2002

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai