Cianjur– Kekerasan terhadap PRT kembali terjadi. Kali ini seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) bernama Riski Nur Askia (18), asal Cianjur diduga menjadi korban penyiksaan oleh majikannya di Jakarta Timur.
Tidak hanya tindak kekerasan, selain menyiramkan air cabai, majikannya menyuruh Riski tidur di lantai dalam keadaan telanjang.
Keluarga Mengetahui Ketika Korban Pulang Kampung
Keluarga mengetahui tindak kekerasan ini saat korban pulang ke rumahnya di Kampung Salongok, Desa Cibadak, Kecamatan Cibeber, Cianjur. Keluarganya mendapati luka-luka di tubuh yang diduga akibat dari tindak kekerasan fisik.
Fakta mengenaskan ini terungkap saat jaringan advokasi Riski menyelenggarakan konferensi pers online pada Rabu, 26 Oktober 2022.
Ali Hildan, Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia Raya (Astakira) Cianjur menyampaikan bahwa korban juga selama 6 bulan bekerja tidak mendapat upah yang sesuai.
Korban harusnya menerima gaji Rp 1,8 juta per bulan tetapi selama 6 bulan baru menerima gaji sekitar Rp 2,7 juta.
“Jadi sudah disiksa, gajinya tidak dibayar penuh dengan alasan mengganti kerugian barang rusak selama korban bekerja, dan mirisnya saat diantarkan pulang korban juga diminta uang oleh saudara dari majikanya yang mengantar korban ke Terminal Kampung Rambutan untuk ganti bensin,” kata Hildan.
Lita Anggraeni dari JALA PRT menyampaikan bahwa penderitaan yang menimpa Riski meliputi penderitaan material dan immaterial, ia berharap pada semua pihak untuk terus melakukan pengawalan atas kasus Riski ini.
“Perlu adanya pengawalan yang serius atas kasus penganiayaan majikan terhadap PRT yang bernama Riski ini agar ada penjeraan bagi para pemberi kerja yang bertindak di luar batas kemanusiaan,” terangnya.
Pentingnya Payung Hukum Bagi PRT
Lita berharap kasus ini menjadi catatan bagi pemerintah agar serius memberikan payung hukum dan perlindungan bagi PRT dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
Sementara itu, Eva Sundari Kusuma menyatakan selama ini sudah ada beberapa aturan perundang-undangan yang bertujuan memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak, seperti dalam UU TPPO, UU Perlindungan Anak, dan UU TPKS.
Namun demikian, payung hukum yang ada belum mampu memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga dalam hubungannya dengan pemberi kerja.
“Oleh karena itulah mengapa saat ini masyarakat sipil gencar memperjuangkan RUU PRT. RUU PRT sendiri dalam sejarahnya lahir pada era Jacob Nuwa Wea menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Saat itu drafter RUU PRT adalah PDIP. Sehingga tidak ada alasan bagi PDIP saat ini untuk balik badan dan tidak menyetujui RUU PPRT,” tegasnya.
Menurut Eva, draft RUU PRT saat itu dibuat untuk mensejahterakan nasib kaum “Sarinah” (red: istilah lain dari PRT), yang mana merupakan gagasan ideologi memberikan perlindungan bagi ‘wong cilik’. Eva Sundari Kusuma menyampaikan bahwa saat ini kasus sudah disampaikan ke KSP dan ditangani langsung oleh Kabareskrim.
Untuk proses pemulihan Riski, koalisi akan membuat penggalangan dana untuk advokasi korban antara lain untuk kebutuhan MRI, tes syaraf dan psikolog anak.
Terakhir, Riski Nur Askia menyampaikan harapannya, “Saya berharap ada undang-undang dan proses hukum yang adil sehingga tidak ada PRT-PRT lain yang mengalami kekerasan seperti saya.”
Terkait
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024
Meretas Jalan Pendidikan Murah dan Berkualitas