Masih di bulan pahlawan, sebentar lagi kita akan memperingati hari anti kekerasan terhadap perempuan (HAKTP). Hari ini diperingati setiap tahunnya oleh kaum perempuan di seluruh dunia. HAKTP jatuh pada tanggal 25 November dan biasanya diperingati sebagai rangkaian 16 HAKTP hingga tangga 10 Desember.
Seperti kita ketahui, 10 Desember selalu diperingati sebagai hari HAM sedunia. Untuk memperingati pentingnya HAKTP kita bisa memulai dengan menonton beberapa film yang mengisahkan tentang perjuangan kaum perempuan dalam melawan tindak diskriminatif yang berujung pada kekerasan.
https://suluhperempuan.org/2018/12/10/api-kartini-manado-peringati-16-haktp.
In the Time of the Butterflies adalah sebuah film drama yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya pengarang Julia Álvarez. Film ini dirilis pada tahun 2001, dan mengisahlan kehidupan adik Mirabal, aktivis revolusioner Republik Dominika, yang menentang kediktatoran Rafael Trujillo dan dibunuh pada tanggal 25 November 1960. Tanggal ini kemudian diperingati setiap tahun sebagai Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di seluruh dunia.
Sebuah film lainnya, Pray the Devil Back to Hell, sebuah film dokumenter Amerika yang ditayangkan perdana di Festival Film Tribeca 2008. Film tersebut mendokumentasikan sebuah gerakan perdamaian yang disebut Aksi Massa Perempuan Liberia untuk Perdamaian. Berpakaian putih untuk melambangkan perdamaian, dan berjumlah ribuan, Gerakan perempuan tersebut menjadi kekuatan politik melawan kekerasan dan melawan kediktatoran pemerintah.
Ada banyak lagi film yang menggambarkan tentang kekerasan terhadap perempuan dan perlawanan perempuan baik secara individu maupun terorganisisr dalam kolektif. Kekerasan terhadap perempuan terjadi secara nyata dan dilakukan baik oleh personal maupun kolektif secara bersama bahkan negara. Kekerasan yang terjadi dari mulai lingkup domestik hingga komunitas. Bentuk kekerasan pun beragam dari kekerasan seksual hingga kekerasan ekonomi dan politik. Dan yang sering terjadi adalah kekerasan ekonomi dan politik diikuti pula dengan kekerasan seksual.
Kekerasan ekoomi yang dilakukan oleh kolektif dapat dilihat misalnya pada konflik agraria. Selama 2021 terjadi 207 konflik agraria yang bersifat struktural. Ratusan konflik tersebut berlangsung di 32 provinsi dan tersebar di 507 desa dan kota serta berdampak pada 198.895 kepala keluarga (KK) dengan besaran tanah berkonflik seluas 500.062,58 hektar. Dari sisi korban terdampak terjadi kenaikan signifikan.
Menilik pada Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2022. Jumlah kasus Kekerasan Berbasis Geder terhadap Perempuan (KBGTP) sepanjang tahun 2021 sebanyak 338.496 kasus, terdiri dari laporan Komnas Perempuan 3.838 kasus, laporan Lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG 327.629 kasus. Ranah kekerasan tertinggi yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan masih terjadi di ranah Personal yaitu 2.527 kasus, Publik/komunitas 1.273 kasus dan ranah Negara 38 kasus.
Kasus kekerasan dalam konflik terkait persengketaan Sumber Daya Alam (SDA), perampasan lahan, penggusuran seperti (1) Konflik pembangunan waduk di NTT yang berdampak terhadap masyarakat Lambo, Rendu dan Ndora yang mendiami wilayah adat di Kec. Aisesa, Aisesa Selatan, Nangaroo, Kab. Nagekeo, NTT; (2) Peraturan Gubernur DKI jakarta No. 16 Tahun 2020 tentang Tata Cara dan Pemakaian Air Minum yang memuat pelanggaran hak atas hidup layak, hak atas rasa aman, hak kesehatan, hak atas air bersih; (3) Konflik pertambangan PT Dairi Prima Mineral di Kabupaten Dairi; (4) Konflik pertambangan di Pulau Sangihe; (5) Pencemaran Lingkungan PT Pajitex di Desa Watussalam, Pekalongan; dan (6) Konflik Bendungan Bener di Desa Wadas. Dalam kasus-kasus tersebut, perempuan yang memimpin aksi penolakan harus berhadapan langsung dengan kekerasan oleh aparat negara dan juga oleh anggota masyarakat lain yang bersebrangan.
Beberapa pelanggaran hak perempuan dalam konflik agraria seperti adanya diskriminasi dalam hak akses atas informasi; dikecualikan dalam konsultasi dan pengambilan keputusan; tidak ada analisis gender terutama kerentanan perempuan dalam penyusunan dokumen terkait; serta perempuan lah yang menanggung lebih berat dan mendalam dari akibat konflik yang terjadi.
Perempuan memiliki hak terkait tanah dan SDA, sebagai bagian dari hak untuk hidup dan berpenghidupan yang layak, hak atas pekerjaan, hak atas kesejahteraan, hak atas kesehatan, hak reproduksi dan hak atas air. Beberapa permasalahan pokok hak perempuan dalam agraria, salah satunya adalah budaya patriarki yang masuk dalam semua segi kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya serta kebijakan yang meletakkan laki-laki sebagai satu-satunya kepala keluarga.
Hal ini mengakibatkan perempuan berada pada situasi rentan dalam mendapatkan hak dan pelindungan hak-hak dasar bidang tanah dan SDA. Akar permasalahannya terletak pada kuatnya budaya patriarki di birokrasi dan masyarakat. Juga minimnya pengetahuan perempuan dan warga tentang HAM dan hak perempuan khusunya, minimnya kewenangan Kementerian/ Lembaga pengawas, serta belum lengkapnya peraturan perundang-undangan.
Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan menjadi alasan bagi aktivis perempuan untuk terus melakukan kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Lahirnya UU TPKS masih belum mampu membendung tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dalam seksual.
Bahkan kekerasan yang berujung tragis seperti kematian. Kekerasan menimpa perempuan di segala lini dan lintas usia. Seruan anti kekerasan terhadap perempuan seiring dengan kelahiran undang-undang yang progresif semacam UU TPKS juga harus makin masif dan progresif. Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu peristiwa yang perlu menjadi perhatian. Dunia sepakbola bukan dunia maskulin. Ada banyak kaum perempuan yang masuk dalam klub sepakbola sebagai pemain. Ada pula yang bekerja sebagai tim kesehatan, perugas kebersihan dll.
Selain itu diantara penonton dan supporter juga terdapat banyak kaum perempuan pecinta sepakbola. Hal ini menunjukkan bahwa ada berbagai sektor yang perlu dibenahi untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan, anak-anak dan lintas gender.
Di dunia kerja, dalam sektor seni dan budaya, perempuan juga kerap menjadi korban. Baik sebagai pekerja seni maupun dalam kehidupan domestik sebagai perempuan anak, istri dan ibu. Ruang aman bagi perempuan lebih lagi dibutuhkan dan harus dilengkapi dengan fasilitas untuk pemulihan. Kita membutuhkan penguatan bagi tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan dan rumah aman.
Sepatutnya penguatan ini masuk dalam perencanaan anggaran. APBN 2023 mulai dirancang dan KPPPA sebagai leading sector diharapkan untuk memasukkan hal-hal pencegahan, penguatan, pemberdayaan dan pemulihan.
Tahun ini kita kembali melakukan kampanye 16 HAKTP. Kampanye ini dilakukan dengan memandang kebutuhan untuk terus menyuarakan pentingnya kesadaran atas penyediaan ruang aman. Bukan hanya untuk kaum perempuan namun juga lintas gender yang rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan. Peringatan 16 HAKTP tidak hanya berhenti pada merancang berbagai kegiatan. Kampanye ini perlu dilakukan oleh berbagai pihak untuk menggemakan seruan anti kekerasan dalam berbagai platform. Mari terus bergerak.
*)Ernawati
Terkait
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Paus Membasuh Kaki Semua Umat di Indonesia, Melangkah dalam Keberagaman dan Kesetaraan
Puisi: Ketukan Palumu