Melalui tulisan ini penulis ingin memaknai Feminisme sebagai ketubuhan, pemikiran dan gerak. Feminisme adalah satu rangkaian yang saling terkait. Kita tidak dapat memahaminya hanya sebatas teori dan wacana saja. Seperti juga saat memahami seks, gender dan kesetaraan gender. Kekeliruan pemahaman dapat membawa kita terjebak (dihadapkan pada) menjadi superwomen.
Betty Friedan dalam bukunya The Feminine Mystique. Perempuan yang melakoni peran ganda, perempuan sanggup bekerja baik di publik maupun domestik. Pemahaman yang keliru atas peran ganda justru menyudutkan perempuan untuk tetap mengerjakan pekerjaan domestik serta menempatkan atribusi feminin dalam kehidupan sosialnya. Termasuk pandangan mengenai kesetaraan gender yang dipersepsikan sebagai kekuatan fisik semata bahwa perempuan juga harus melakukan kerja fisik yang dikatagorikan sebagai kerja laki-laki. Misalnya bengkel, mengangkat galon, menjadi tukang becak dll.
Tidak menepis kemungkinan ada perempuan yang memiliki fisik kuat bahkan menjadi atlit angkat besi, tinju, sepakbola dll. Atau melakukan pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik seperti buruh gendong. Tapi hal ini berbeda dengan makna kesetaraan gender. Bahkan laki-laki pun dirugikan dengan kekeliruan pandangan tersebut. Seperti pandangan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah, harus antar jemput pacar, memiliki fisik kuat sehingga bertanggung jawab untuk mengangkat barang, membayar saat kencan dll.
Dalam esai Toril Moi, Feminist, Female and Feminine, Feminitas adalah satu rangkaian karakteristik yang didefinisikan secara kultural. Feminisme adalah posisi politis sedangkan femaleness adalah hal biologis. Sementara, feminitas dan gender adalah kontruksi sosial budaya yang diatribusikan pada perempuan. Kontruksi sosial ini tidaklah menetap. Apa yang dianggap ‘feminin’ bergantung pada siapa pendefinisinya. Ideologi yang menyadari ketimpangan kontruksi ini dan kemudian mengarahkan dirinya pada perubahan atas ketimpangan inilah yang disebut feminisme.
The title of “feminist, female, feminine” alludes to the three categories of ninteenth-century women’s writing identified in Elaine Showalter’s “A literature of their own”. Moi redefines the terms and then uses them as the basis of a (mild) critique of showalter’s own theoretical position. In the extract reprinted here, it is argued that ‘feminist’ is a political term, ‘female’ a biological one, and ‘feminine’ a cultural definition. The essay calls into question the belief that female experience is the basis of feminism, or in other words that politics is a direct effect of biology. Meanwhile, if ‘feminine’ specifies a cultural rather than a biological difference, to oppose ‘feminine’ to ‘maculine’ in an absolute binary oppositon is ultimativley to reaffirm an esentialist and patriarchal distinction…
Laki-laki, perempuan maupun gender lain yang menyadari ketimpangan struktur ini sesungguhnya adalah seorang feminis. Namun feminisme dan feminis tidak selalu menyatu. Apa yang dianggap penting untuk diperjuangkan dan dikritisi berbeda-beda bagi tiap feminis. Pengetahuan feminis adalah sesuatu yang located dan situated, bergantung pada lokasi dan situasinya. Slogan The personal is political menjadi tepat karena setiap orang juga dibangun dari kultural yang berbeda tergantung ia berasal dari mana, bisa ras, agama, taraf ekonomi, kelas dan lain-lain.
Rosemary Putnam Tong dalam Feminist Thought menyajikan ragam Feminisme yaitu Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis dan Sosialis, Feminisme Psikoanalisis dan Gender, Feminisme Eksistensialis, Feminisme Postmodern, Feminisme Multikultural dan Global, dan Ekofeminisme. Dari masing-masing kelompok besar itu terdapat cabangnya yang lahir karena situasi. Misalnya seperti Feminisme Liberal yang terbagi pada abad 18, 19 dan 20. Lantas Feminisme Radikal yang terbagi menjadi Feminisme Kultural dan Feminisme Libertarian.
Sementara Julia Kristeva melihat bahwa feminisme bergerak dalam gelombang. Dalam bukunya Women’s Time, Kristeva mengatakan bahwa, subyektivitas perempuan berhubungan dengan waktu yang berulang (cyclical-repetition) dan waktu monumental. Gelombang feminisme menurut Kristeva adalah: Feminis egalitarian, Feminis pasca 1968, yang menekankan perbedaan radikal perempuan dari laki-laki dan Feminisme generasi ketiga yang mendorong eksistensi secara paralel, sehingga memungkinkan perbedaan individual tanpa kehilangan kefeminisannya.
In its beginnings, the women’s movement, as the struggle of suf-fragists and of existential feminists, aspired to gain a place in linear time as the time of project and history. In this sense, the movement, while immediately universalist, is also deeply rooted in the sociopolitical life of nations. The political demands of women; the struggles for equal pay for equal work, for taking power in social institutions on an equal footing with men; the rejection, when necessary, of the attributes tradition considered feminine or maternal insofar as they are deemed in compatible with insertion in that history-all are part of the logic of identification with certain values: not with the ideological (these are combated, and rightly so, as reactionary) but, rather, with the logical and ontological values of a rationality dominant in the nation-state. Here it is unnecessary to enumerate the benefits which this logic of identification and the ensuing struggle have achieved and continue to achieve for women (abortion, contraception, equal pay, professional recognition, etc.); these have already had or will soon have effects even more important than those of the Industrial Revolution. Univeralist in its approach, this current in feminism globalizes the problems of women of different milieux, ages, civilizations, or simply of varying psychic structures, under the label “Universal Woman.” A consideration of generations of women can only be conceived of in this global way as a succession, as a progression in the accomplishment of the initial program mapped out by it founders.
Aquarini Priyatna Prabasmoro dalam bukunya Kajian Budaya Feminis, Tubuh, Sastra dan Budaya Pop, memberi gambaran bagaimana ia menggunakan perspektif feminis dalam memandang ikatan perkawinan, dalam kehidupan sehari-hari, saat membaca karya sastra dan menonton film. Misalnya seperti mengenali sex, berahi dan cinta dalam karya Nh. Dini. Lalu tentang tubuh dan penubuhan dalam Pada Sebuah Kapal, La Barka dan Namaku Hiroko. Juga mengidentifikasi female, feminin, feminis dalam film Sense and Sensibility serta Crouching Tiger, Hidden Dragon.
Memahami makna Feminisme dalam gerak akan membawa kita pada sikap kritis terhadap ketimpangan kontruksi sosial. Sikap ini kemudian terimplementasi baik dalam membaca karya sastra, menyikapi situasi dan afirmasi politik. Ketimpangan kontruksi sosial berimplikasi pada kerja-kerja perempuan di sektor publik. Perempuan pekerja menghadapi ketimpangan dalam hal upah, cuti dan berbagai bentuk kekerasan. Ketimpangan ekonomi dan kelas turut menyumbang perbedaan dalam memandang persoalan yang dihadapinya. Seorang buruh perempuan yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bekerja, lantas menjadi superwomen dengan mengerjakan tugas-tugas domestik, secara kultural berbeda dengan perempuan kelas menengah. Dalam hal pendidikan, kemampuan untuk membeli produk baik makanan, pakaian maupun kebutuhan sekunder, misalnya rekreasi, kendaraan dan lain-lain.
Bagi perempuan pekerja dengan upah rendah tentu sulit untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder bagi dirinya dan keluarga. Sehingga tidak heran jika terdapat banyak pekerja perempuan yang bekerja pada posisi yang sama selama puluhan tahun dan kemudian anak-anaknya mengikuti jejak pekerjaan yang sama. Disini feminisme dapat berperan sebagai gerak untuk bersikap kritis dan melakukan perubahan. Bukan berarti perempuan kelas menengah tidak mengalami ketimpangan. Dalam segala situasi, perempuan selalu pada akhirnya menjadi pihak yang rentan baik melalui ikatan perkawinan, strata sosial maupun pekerjaan.
Setiap orang dapat menjadi seorang feminis. Diakui atau tidak, tanpa menyebut dirinya feminis, setiap orang dapat menjalani makna feminisme dalam pemikiran dan gerak. Bagaimana mendapat pengetahuan feminisme dari pengalaman sehari-hari, bagaimana cara memandang pasangan, peran setiap orang dalam keluarga, peran masyarakat dan peran negara. Mungkin saat ini belum menjadi (feminist), namun upaya-upaya untuk menebarkan gagasan membangun sikap kritis harus terus diupayakan. Untuk dunia yang lebih setara dan adil. Tentukan sikapmu.
Ernawati
Terkait
Cerita Perempuan Batulawang, Memperjuangkan Hak Atas Tanah
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan