9 Desember 2024

Feminisme dalam “The Miseducation of Lauryn Hill”

0Shares

Kesuksesan Album The Miseducation of Lauryn Hill

Telah berkian kali namanya muncul di media massa, media Amerika terutama. Bahkan menariknya, album ini dianggap jauh lebih relevan ketimbang gerakan feminisme gelombang keempat yang ditandai dengan hashtag #MeToo.

Album berusia 24 tahun ini bahkan sudah membicarakan tentang toxic relationship seperti ia gambarkan dalam “Ex-Factor”,

Juga tentang laki-laki yang mengejar perempuan hanya karena memiliki tubuh yang sangat seksual bagi mereka sebagaimana Lauryn Hill gambarkan dalam “That Thang”.

Menariknya, album “The Miseducation of Lauryn Hill” seakan-akan berbicara dengan Bahasa yang hanya kaum perempuan ketahui.

Album rilisan Agustus 1998, “The Miseducation of Lauryn Hill” ini, satu-satunya album yang telah menjadi bahan pengetahuan. Ini adalah rekaman, dokumenter, dan buku yang menginspirasi.

Perempuan, pada intinya tetap menjadi materi menarik kaum misogini dan memperoleh stigma, baik dengan tanda bahaya yang penuh teka-teki maupun virtuoso yang acak sekali.

Pahlawan Perempuan dalam Sejarah Hip Hop

Hill adalah pahlawan perempuan yang mungkin tidak mungkin tercantum dalam sejarah kecuali sejarah hip hop.

Penyanyi sekaligus rapper kelahiran New Jersey ini pertama kali menarik perhatian dengan penampilannya di sebuah sekuel pada tahun 1993 dari “Sister Act” yang muncul dengan sangat meriah dari Whoopi Goldberg.

Film aslinya berdasarkan pada kehidupan Deloris Van Cartier (Goldberg), seorang mantan penyanyi lounge yang beralih ke kehidupan di biara karena alasan pembullyan.

Dalam upaya untuk membuat perempuan yang dikenal kasar itu sibuk, sesama biarawati menugaskan Van Cartier untuk memimpin paduan suara biara, yang kemudian bertransformasi menjadi sebuah sensasi music yang amat luar biasa, bahkan penulis masih mengagumi tayangan tersebut.

Di dalam sekuel yang fenomenal ini, “Sister Act 2: Back in the Habit”, Hill berperan sebagai siswa sekolah menengah yang sangat berbakat.

Pencapaian

Meskipun dia juga memperoleh sedikit penghargaan di salah satu film rap “Who Got the Flo”, ia di sana membawakan lagu Injil kesayangannya yang bergema bahkan hingga  29 tahun kemudian.

Bersama lawan mainnya Tanya Blount, Hill menghidupkan kembali rekor tersebut. Meskipun film itu adalah sebuah film fiksi, “Sister Act 2” telah memberikan sudut pandang yang nyaman untuk melihat sisa karir dari seorang Hill: “Dia telah berjuang, sering kali di depan umum, dengan ekspektasi gender akan kesalehan dan kepolosan.

Sebagai satu-satunya anggota wanita dari grup rap Fugees yang sukses secara tak terduga, Hill menghadapi pengawasan terus-menerus tentang kehidupan romantisnya.

Isolasi Diri dan Influencenya

Pada tahun-tahun berikutnya, keputusannya untuk menjauh dari kerasnya ketenaran untuk fokus membesarkan keenam anaknya mendorong beberapa orang untuk mempertanyakan komitmennya pada music. Sebagaimana ditulis oleh Hannah Giorgis selaku penulis di The Atlantic.

Selama dua decade lebih yang telah berlalu sejak rilis Miseducation, Hill telah berada di atas tumpuan yang mustahil dan menjatuhkannya.

Dia telah mengejutkan penonton dengan lirik yang luar biasa dan ketidakproduktifan yang kronis. Dan telah membuat penggemar lama bertanya-tanya “apakah generasi saat ini pun menyukainya,?”

Dia telah mendapatkan skeptisisme dari pendengar baru. Tapi melalui itu semua, Miseducation telah menjadi ibaratnya sebuah jangkar.

Tidaklah berlebihan untuk menyebut perilisannya sebagai salah satu peristiwa paling berpengaruh dalam sejarah hip-hop.

Tetapi tetap saja, dengan perilakunya yang tidak menentu dan basis penggemar yang berkomitmen, Hill menemukan dirinya dalam posisi yang aneh.

Dia mungkin satu-satunya seniman perempuan yang prestasinya—dalam hal ini, penciptaan Miseducation—telah memberinya akses ke gelar yang paling sering disandangkan kepada laki-laki, yakni: jenius.

Jika Lauryn Hill adalah seorang jenius, maka dia adalah orang yang mewarisi dunia yang cenderung tidak membahas kekurangan perempuan di ranah music hip hop yang cenderung misoginis sebagai keistimewaan artistik.

Kanye West bahkan, dengan segala tingkah kontradiksinya, semua kebodohannya dan aneka masalahnya, masih saja menempati lapisan pria jenius yang hampir tak tersentuh, ini merupakan salah satu ketidakadilan gender.

Tidak peduli betapa berbahayanya seorang West, penggemarnya masih tetap saja membelanya atas dasar bakatnya yang konon langka.

Hip Hop Sebagai Sarana Feminist Bersuara

Dari sinilah kita perlu menelaah kembali hip hop sebagai sarana kaum feminist bersuara sekaligis untuk meminimalisir atau bahkan menghapiskan kultur misogini atau diskriminasi dan penyisihan bahkan kebencian terhadap perempuan yang amat lekat.

Sungguh mengherankan bukan, mengapa perempuan kulit hitam tmenjadi kelompok gender yang masalah? Sepanjang sejarah, tubuh perempuan kulit hitam telah mengalami objektifikasi dan manipulasi untuk melayani orang lain.

Namun, ketika seorang perempuan kulit hitam merangkul dan mewujudkan keberdayaan dan kesadaran mereka untuk keuntungan diri mereka sendiri, hal itu dipandang sebagai penghalang bagi masyarakat Amerika.

Namun, tahukah kamu bahkan Beyonce pun mengangkat isu perempuan kulit hitam dan itu salah satunya terinspirasi oleh Mrs. Lauryn Hill.

Sebagaimana sebuah tajuk yang diberi judul “How Lauryn Hill created Beyoncé, Kendrick Lamar and Cardi B” dalam The New York Post.

Dan tahukah, kita juga memiliki Yacko yang juga gencar dalam menyuarakan feminisme.

*** (MJ)

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai