14 September 2024

Perupa Perempuan Indonesia: Emiria Soenassa

0Shares

Tidak banyak informasi yang diketahui dari keberadaan sosok Emiria Soenassa. Tempat dan tanggal lahir bahkan masih samar, menunjuk Pulau Tidore, Maluku Utara, tahun 1891. Hal ini diketahui karena Emiria merupakan anak dari Sultan Tidore. Namun begitu, Emiria merupakan seniman lukis perempuan Indonesia awal yang sangat menarik, hebat dan memberi perspektif yang kaya melalui karya-karyanya.

Emiria menjadi anggota Persagi (Persatoean Ahli-ahli Gambar Indonesia), organisasi seni lukis pertama kali, yang berdiri tahun 1937.

Ia merupakan anggota perempuan bersama Saptarita Latief dari Persagi. Ia ikut berpartisipasi dalam pameran pertama kali Persagi di Toko Buku Kolff, Jakarta, tahun 1940. Tahun 1941, Emiria juga berpartisipasi dalam pameran pertama kali pelukis-pelukis lokal (pribumi) di Bataviasche Kuntskring, Jakarta.

Pada tahun 1943, di masa pendudukan Jepang, Emiria berpameran tunggal di Gedung Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) dan kemudian memperoleh penghargaan untuk karya seni lukisnya berjudul “Pasar” dari Keimin Bunka Shidoso. Serta penghargaan dari Djawa Shunbun Sjo untuk karya seni lukis berjudul “Angklung”.

Ia pernah berpartisipasi dalam pameran bersama di Taman seni rupa Merdeka, Kebayoran, Jakarta, sebelum dikabarkan “menghilang” di akhir tahun 1950-an. Pada tahun 1964 Emiria meninggal dunia di Lampung, Sumatra, dengan meninggalkan sebagian karya-karyanya pada seorang tetangga sekaligus temannya.

Hidup Kembali dalam Seni Teater

Penyanyi, Dira Sugandi berhasil memainkan perannya sebagai pelukis perempuan Emiria Soenassa di pertunjukan seri monolog Yang Tertinggal Di Jakarta di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki pada 2-3 Juli 2022. Pertunjukan ini merupakan hasil kerja sama Titimangsa dan KawanKawan Media bersama Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek.

Nama Emiria Soenassa yang diperankan oleh Dira Sugandi masih asing didengar dan jarang tercatat dalam buku sejarah Indonesia. Padahal, Emiria aktif dalam ranah lukis dan menghasilkan banyak karya di masanya.

Karya-Karya

Pengantin Dayak (1942-1948)
Wanita Berpayung (1957)
Untitled (1951)
Untitled (1951)
Orang Papua dengan Burung Cenderawasih (1948)
Potret Wanita Tua (1930-1960)
Untitled (1933)

Emiria Soenassa tidak hanya meninggalkan lukisan, tetapi juga mitos tentang kehidupannya yang misterius. Kini 46 tahun sesudah kepergiannya, lukisan dan kisah hidup Emiria ditampilkan kembali dalam pameran bertajuk “Masa Lalu Selalu Aktual”.

Pameran yang berlangsung pada 22-30 Oktober di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) ini menampilkan 28 lukisan Emiria. Sebagian besar lukisan yang dibuat antara tahun 1940-an hingga 1950-an tersebut merupakan koleksi keluarga Waworuntu.

Emiria melukis banyak tema. Dari karya-karya yang dipamerkan, ia melukis berbagai orang dari berbagai pulau di Indonesia modern, termasuk aktivitas mereka. Ia melukis pematung Bali hingga pria Papua, dari perempuan Bali hingga perempuan Sulawesi lengkap dengan penanda khas mereka berupa pakaian ataupun penutup kepala.

Ia juga melukis aneka bunga, dari lili, krisan, hingga flamboyan. Dengan cara itu, ia dinilai telah meletakkan visi keberagaman yang sekarang mengikat Indonesia modern. Pada tulisan dalam katalog pameran, Hermanu selaku pengelola BBY mengatakan, Emiria adalah pionir pelukis perempuan Indonesia. nassa

Ia tercatat sebagai salah satu anggota Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang dimotori Sudjojono dan Affandi. Karya-karyanya bergaya naif. Cenderung primitif. Ia melukis obyek dengan bebas tanpa beban norma-norma seni lukis saat itu. Ia melukis spontan menggunakan kuas dan goresan besar.

Ia juga jarang mengolah warna menjadi sekunder maupun tersier. Dengan karya-karya itu, ia langsung berhadapan dengan pelukis- pelukis gaya Mooi Indie. Ia banyak dikritik pedas. Namun, ia konsisten dengan gaya melukis yang dipilihnya hingga akhir hayatnya.

Emiria dan Sejarah

Sebagai salah satu sosok penting dalam sejarah perkembangan seni lukis modern Indonesia, karya-karya Emiria merupakan koleksi sangat berharga.

Meski begitu, riwayat hidupnya tak banyak disinggung seperti ketika orang menyebut anggota Persagi lain. Lahir tahun 1891, Emiria mencicipi kehidupan di bawah kolonial Belanda, Jepang, hingga Indonesia merdeka. Kehidupan pribadinya terselubung misteri. Sejumlah sumber yang dikutip Hermanu menyatakan, ia lahir sebagai Emiria Emma Wihelmina Pareira.

Ada yang menyebutnya sebagai putri Sultan Tidore. Selama hidupnya, ia terlibat dalam berbagai kegiatan. Ia aktif di Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi. Ia juga sadar politik, terbukti dengan kehadirannya di Konferensi Meja Bundar (KMB) di New York tahun 1949.

Pada konferensi itu, ia berperan sebagai pemimpin simbolis rakyat Papua Niugini Belanda yang sekarang menjadi Papua. Sebelum memasuki dunia seni, di awal tahun 1930-an ia adalah suster, sekretaris, dan administrator. Ia bepergian ke banyak tempat, mulai dari pulau-pulau di Indonesia hingga Eropa.

Ia melukis otodidak dan mulai melukis serius setelah berusia 40 tahun. Emiria adalah penyendiri. Di akhir 1950-an, ia menghilang tanpa jejak. Kepergiannya yang misterius itu menciptakan banyak pertanyaan, dan akhirnya memunculkan spekulasi. Kolektor seni Oei Hong Djien yang memiliki dua koleksi lukisan Emiria pun sempat termakan spekulasi semacam itu.

Kepada setiap tamu, ia memamerkan karya Emiria dengan memberi sedikit penjelasan. “Saya bilang, Emiria itu pelukis misterius, ia menghilang di Papua dan entah di makan buaya atau apa. Baru dalam pameran ini saya tahu kalau ternyata ia meninggal dengan alami,” katanya saat berbicara di acara pembukaan pameran. Emiria meninggal di Lampung tahun 1964. Ia menitipkan karya- karyanya kepada Jane Waworuntu. Karya-karya yang selama 30 tahun tersembunyi itu kini membuka diri pada publik.

*)Disarikan dari berbagai sumber

***(MJ)

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai