17 September 2024

Perubahan Iklim dan Dampak Pada Perempuan

0Shares

Perubahan Iklim

Blame it on the rain, mungkin itu kalimat yang sempat melintas di pikiran ketika satu perjalanan atau sebuah kegiatan terhambat karena hujan turun dengan derasnya.

Menurut analisa BMKG, curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berada di sekitar 300-400 dan 400-500 mm. Jumlah yang masuk dalam katagori tinggi, dengan sifat rata-rata 51-84% sebagai katagori dibawah normal dan 85-115% sebagai normal. Bagi sebagian daerah mungkin merasakan bagaimana perubahan cuaca terjadi. Saat tiba-tiba hujan turun dengan derasnya atau panas menyengat pada siang hari.

Perubahan Iklim telah menjadi sorotan sejak beberapa tahun belakangan ini. Dampaknya bukan hanya secara ekonomi dan tidak terbatas pada satu wilayah geografis. Perubahan Iklim telah dirasakan secara global dan bahkan juga berdampak pada meningkatnya kekerasan terhadap perempuan.

Dampak

Selama beberapa tahun terakhir, terdapat berbagai laporan tentang bagaimana krisis global seperti perang, perubahan iklim, Covid-19, dan penyalahgunaan teknologi mendorong peningkatan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Banjir membuat banyak keluarga tinggal di kamp pengungsian, ​​dimana pemerkosaan dan pelecehan merajalela. KDRT semakin menambah kedukaan ditengah situasi pandemi Covid-19.

Dalam UN Women, Measuring the Shadow Pandemic, Laporan Survei, hal 6, https://data.unwomen.org/publications/vaw-rga, disebutkan bahwa satu dari dua perempuan mengalami kekerasan sejak pandemi Covid-19.1.

Perubahan Iklim turut meningkatkan kekerasan terhadap perempuan, termasuk degradasi lingkungan dan mitigasi serta respon atas resiko bencana terkait. Reem Alsalem, Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan menggambarkan perubahan iklim sebagai “pengganda ancaman yang paling konsekuensial bagi perempuan dan anak perempuan, dengan dampak yang jauh dari mencapai bentuk ketidaksetaraan gender yang baru dan yang ada.”

Hal ini disebutkan dalam laporan kepada Majelis Umum PBB, UN Doc A/77/136 (Juli 11, 2022), bagian V, undocs.org/en/A/77/136. Laporan tersebut adalah pandangan rinci mengenai berbagai cara di mana perubahan iklim meningkatkan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, terutama di kalangan perempuan dengan kerentanan yang bersinggungan, termasuk perempuan adat, perempuan lanjut usia, dan perempuan dari kelompok minoritas.

Konsekuensi kumulatif dan gender dari perubahan iklim dan degradasi lingkungan, melanggar semua aspek hak-hak perempuan. Terdapat bentuk-bentuk kekerasan yang mengarah pada perempuan dan anak-anak, beririsan dengan fenomena sosio-politik dan ekonomi, seperti konflik bersenjata, perpindahan dan kelangkaan sumber daya.

Ditambah dengan adanya perubahan iklim, mengakibatkan feminisasi dan intensifikasi kerentanan. Perubahan iklim bukan hanya krisis ekologis, namun secara fundamental merupakan gugatan mengenai keadilan, kesejahteraan dan kesetaraan gender. Apabila dikaitkan secara intrinsik dan dipengaruhi oleh ketidaksetaraan struktural serta diskriminasi.

Dampak negatif perubahan iklim secara global, memperparah semua jenis kekerasan berbasis gender. Mulai dari fisik hingga psikologis dan ekonomi, Berputar dari ketersediaan dan efektivitas mekanisme perlindungan, selanjutnya berpotensi memperlemah pencegahan kekerasan.

Ketika terjadi peristiwa alam baik lambat maupun tiba-tiba, secara langsung maupun tidak langsung dapat mengancam penghidupan. Upaya dalam mempertahankan kelangsungan hidup dapat berupa mekanisme penanganan negatif, seperti perdagangan manusia, eksploitasi seksual, pernikahan dini dan anak putus sekolah. Perempuan dan anak perempuan dihadapkan pada pilihan untuk memperbaharui cara atau resiko untuk bertahan hidup.

Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang 2022 di Indonesia terdapat 3.531 peristiwa alam. Tertinggi adalah banjir, 1.524 kejadian. Jumlah ini setara 43,1% dari total peristiwa secara nasional. Cuaca ekstrem 1.062, 634 tanah longsor, 252 kebakaran hutan dan lahan (karhutla), 28 gempa bumi, 26 gelombang pasang/abrasi, serta 4 peristiwa kekeringan.

Seluruh peristiwa tersebut membuat lebih dari 5,49 juta orang menderita dan mengungsi, 851 orang meninggal dunia, 8.726 orang luka-luka, dan 46 orang hilang.

Peristiwa tersebut juga mengakibatkan 95.051 rumah rusak, dengan rincian 20.069 rumah rusak berat, 23.058 rusak sedang, dan 51.294 rusak ringan. 1.980 fasilitas umum mengalami kerusakan, terdiri dari 1.239 fasilitas pendidikan, 646 fasilitas peribadatan, dan 95 fasilitas kesehatan.

Selain peristiwa alam dalam skala besar, kerentanan perempuan pekerja seperti pedagang sayur keliling, pekerja rumah tangga, pengamen dan lain-lain, dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan cuaca secara ekstrem menjadi tantangan berat. Bagi pedagang sayur perjalanan dimulai dari saat membeli dagangan di pagi buta hingga menjajakan keliling.

Pekerja rumah tangga beresiko dari sejak perjalanan menuju tempat kerja atau pulang ke rumah. Saat hujan turun secara terus menerus, membuat beberapa pekerjaan tertunda seperti menjemur dan menyetrika. Ada pula resiko untuk berulang kali membersihkan bagian rumah yang basah dan tergenang air.

Sebagian pekerja yang memiliki anak, terlebih yang masih dibawah umur, membawa anaknya ke tempat kerja. Dalam kondisi cuaca apapun, baik hujan maupun panas. Bahkan tidak sedikit perempuan yang tetap bekerja dalam keadaan hamil hingga usia kehamilan delapan bulan.

Perempuan lintas sektoral, perempuan dan anak perempuan dalam masyarakat adat, identitas gender, perempuan lanjut usia, perempuan disabilitas, perempuan yang hidup di pedesaan, perempuan yang hidup dibawah garis kemiskinan dan perempuan yang tinggal dalam pengungsian.

Upaya perlindungan yang signifikan bagi kesejahteraan perempuan dan anak perempuan, membutuhkan usaha dan sumber daya dengan juga memahami nexus antara perubahan iklim dan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Melihat dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan. Dalam siaran persnya pada tanggal 23 November 2022, disebutkan bahwa sejak Januari s.d November 2022, Komnas Perempuan telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas dan 899 kasus di ranah personal.

Walaupun tidak secara spesifik menyebutkan pelaku dan bagaimana kekerasan terjadi, namun dengan melihat fenomena sosial-ekonomi, politik dan budaya, kita dapat melihat irisan bagaimana bentuk kekerasan terhadap perempuan terjadi. Kita harus tetap memastikan bahwa kebutuhan perempuan dan anak perempuan terpenuhi di bawah kerangka kerja nasional saat ini.

Dibutuhkan upaya terpadu terhadap perubahan iklim yang sensitif gender dan transformatif.  Dengan memahami nexus, sebuah istilah yang dicetuskan oleh Alfred North Whitehead untuk menunjukan jaringan entitas aktual dari alam semesta.

Dengan memahami hubungan saling terkait tersebut, para pemangku kepentingan diharapkan dapat merancang dan mengimplementasikan respon terhadap perubahan iklim dengan mengutamakan kesejahteraan dan hak perempuan dan anak. Membangun kerangka kerja yang mencakup Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), disabilitas dan hak-hak masyarakat adat.

Respon terhadap perubahan iklim sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1979. Konferensi Iklim di Jenewa diselenggarakan untuk membahas upaya penanggulangan pemanasan global. Badan Internasional Penilaian Perubahan Iklim, atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dibentuk.

CEDAW, IPCC, G20, Komitmen Indonesia dan Implentasinya

Negara-negara tersebut kembali berkumpul di Jenewa pada tahun 1990. Pada tahun 1992 Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menerbitkan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tujuan dari konvensi ini adalah untuk menerapkan upaya-upaya yang ditetapkan pada konvensi untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi.

Di tingkat regional, Indonesia merupakan peserta ASEAN Agreement on Transboundary Haze yang bertujuan untuk mengatasi kebakaran hutan melalui kerjasama internasional. Pada tahun 2009, Indonesia mengumumkan komitmen penurunan emisi secara sukarela (National Determined Contribution (NDC)) sebesar 29% di bawah tingkat Business as Usual (BaU) pada tahun 2030, dan sebesar 41% dengan bantuan internasional.

(http://ditjenppi.menlhk.go.id/kcpi/index.php/aksi/mitigasi/implementasi/10-tentang/21-upaya-ditingkat-internasional).

Sejauh ini belum ada perubahan yang signifikan dari kebijakan yang ditetapkan pada konferensi-konferensi sebelumnya. Pada KTT G20 yang diadakan di Indonesia belum lama ini, para pemimpin negara membuat beberapa kesepakatan.

Solusi utama ialah meningkatkan penerapan transisi  energi baru dan terbarukan. Sebagai implementasinya, negara maju akan membantu negara berkembang dari sisi pendanaan, investasi dan pengembangan teknologi. Sebagai timbal balik, negara yang masih mengandalkan produksi sektor energi mineral perlahan harus mengurangi ketergantungannya.

G20 fokus pada manajemen pemanfaatan dan restorasi lahan. Kebijakan ini guna menahan laju deforestasi yang meningkatkan emisi karbon. Kebijakan ini juga bertujuan untuk menjaga keanekaragaman hayati.  Pemerintah Indonesia menyatakan untuk mengupayakan transisi energi baru dan terbarukan.

Untuk mewujudkan Indonesia rendah karbon 2030, pemerintah juga mengeluarkan strategi yang disebut Indonesia’s FOLU (Indonesia Forestry and Other Land Uses) Net Sink 2030. Strategi ini akan bergerak dalam bidang pencegahan deforestasi lahan mineral dan gambut, restorasi lahan, dan konservasi keanekaragaman hayati. Strategi ini memiliki target pengurangan emisi hingga 41% di tahun 2030.

(https://greeneration.org/publication/green-info/g20-menjawab-perubahan-iklim/?gclid=CjwKCAiA_vKeBhAdEiwAFb_nrRy6wXOa1MyazScD9UihsOe_AztFWoZ6U43pvIPYYgOtH)oh1pb1JKxoCDCwQAvD_BwE).

Kita tentu berharap bahwa strategi pemerintah dapat berjalan efektif dalam merespon perubahan iklim. Namun sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil, kita tetap perlu memantau implementasi dari kesepakatan yang telah dibuat oleh oara pemangku kebijakan.

Terlebih melihat pada dampak yang terjadi secara komprehensif pada perempuan dan anak. Masyarakat sipil dapat bersama-sama menghimpun data, mengelaborasi dan menyampaikan masukan-masukan terkait kebijakan yang sensitif gender dan transformatif. Just, don’t blame it on the rain.

***Ernawati

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai