“Apa saja pengaruh didikan patriarki terhadap kehidupan anak?”
Didikan orang tua biasanya akan diturunkan oleh anak-anak kepada generasinya. Begitupun dengan didikan patriarki yang selama ini didapatkan oleh seorang anak dalam keluarganya, dari kedua orang tuanya.
Dalam keluarga patriarki, suami dan anak laki-laki harus selalu di layani segala kebutuhannya layaknya raja yang harus di takuti, di hormati, dan di patuhi. Sementara istri dan anak perempuan seperti budak yang tugasnya melayani segala keperluan dan keinginan rajanya, tidak boleh mengeluh dan tidak boleh menentang perintahnya.
Meskipun tidak semuanya, namun anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua patriarki biasanya tumbuh menjadi laki-laki dan perempuan dengan pemikiran patriarki juga dan akan menerapkan pemikiran seperti itu terhadap pasangannya kelak (suami atau istri).
Anak laki-laki yang dibesarkan dengan didikan patriarki akan merasa bahwa dirinya adalah seorang pemimpin dan kepala rumah tangga di rumah yang harga dirinya begitu tinggi dan harus di hormati.
Pasangannya (istri) harus menuruti segala keinginan dan perintahnya tanpa banyak alasan. Ia juga merasa bahwa dirinya tidak pantas mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga.
Anak perempuan yang dibesarkan dengan didikan patriarki akan berpikir bahwa perempuan memang harus mengerjakan seluruh pekerjaan dirumah, perempuan adalah pelayan bagi laki-laki.
Perempuan harus menuruti segala perintah suami, tidak banyak mengeluh ataupun menuntut, dan tidak boleh menentang atau melawan karena suami adalah pemimpin dan kepala keluarga yang tinggi harga dirinya.
Sering kali orang tua patriarki mendidik anak-anak perempuannya untuk menjadi pelayan bagi laki-laki. Mereka mengajarkan kepada anak-anak perempuannya bahwa seorang perempuan nantinya harus menjadi istri yang baik untuk suaminya.
Harus menuruti dan mematuhi segala perkataan, perintah, dan keinginan suaminya, harus memiliki kepandaian-kepandaian tentang rumah tangga (memasak, beres-beres rumah, dll) untuk dapat menyenangkan suaminya.
Mirisnya, anak laki-laki jarang di didik dan di ajarkan untuk menjadi suami yang baik dan dapat menyenangkan istrinya.
Meskipun menafkahi keluarga adalah tanggung jawab laki-laki yang sudah menjadi seorang suami, tapi laki-laki hampir tidak pernah dituntut untuk harus sudah mapan ketika akan menikah agar dapat menyenangkan istri dan anak-anaknya kelak.
Bukannya mendidik anak laki-laki untuk sadar akan tugas dan tanggung jawabnya, tapi orang tua patriarki malah mendidik anak perempuannya untuk dapat menerima laki-laki apa adanya.
“Bagaimana cara pandang masyarakat patriarki di lingkungan sekitar terhadap laki-laki dan perempuan?”
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat patriarki memiliki pandangan, pemikiran, dan pendapat yang selalu membenarkan dan mengistimewakan laki-laki dibandingkan perempuan.
Sikap dan pemikiran-pemikiran yang membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan seperti itu sangat jelas terlihat dalam berbagai hal, bahkan sampai pada candaan ringan sehari-hari.
Misalnya :
Di sebuah acara keluarga ketika momen selesai makan-makan terlihat seorang laki-laki ikut membantu membereskan piring-piring yang kotor, lalu seorang perempuan (ibu) patriarki menghampiri dan menyapanya :
“Kalau kamu mau nyuci piring, bawa cewek dulu. Jangan kamu yang nyuci piring.”
Seorang perempuan (ibu) patriarki tentu tidak akan membiarkan laki-laki mencuci piring. Menurutnya mencuci piring adalah tugas perempuan, jadi biarkan perempuan yang mengerjakannya dan laki-laki jangan ikut membantu karena itu bukan tugas laki-laki.
Harga diri laki-laki akan jatuh jika ia mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang biasa dilakukan oleh perempuan.
Atau dalam sebuah perkumpulan ibu-ibu atau perempuan-perempuan patriarki yang sedang bergosip, sering ditemukan obrolan-obrolan yang terkesan mendewakan laki-laki dan merendahkan perempuan, misalnya :
“Sengaja tidak ku izinkan anak laki-laki ku untuk beres-beres rumah, nanti jadi kyak bencong dia.”
(Mendidik anak laki-lakinya dengan pemikiran bahwa seorang laki-laki tidak pantas mengerjakan pekerjaan rumah).
“Bangga ya kalau kita sudah dapat anak laki-laki, karena anak laki-laki nantinya akan jadi penerus keluarga. Kalau anak perempuan kan tidak (tidak bisa meneruskan suku atau marga keluarga). Sama mertua pun rasanya kita bangga memperlihatkan anak laki-laki kita, inilah anakku, cucunya, laki-laki, seperti itu rasanya.”
(Membanggakan anak laki-laki karena di anggap dapat menjadi penerus dalam keluarga, namun lupa dan bahkan tidak menghargai anak perempuan yang nantinya akan mengandung dan melahirkan generasi-generasi penerus dalam keluarga tersebut).
“Lebih baik punya anak laki-laki daripada anak perempuan. Anak perempuan nanti kalau sudah besar dia bakalan di ambil sama keluarga laki-laki / keluarga suaminya. Kalau anak laki-laki akan tetap bersama keluarganya (tidak di bawa oleh pihak perempuan / istri).”
(Menganggap anak perempuan tidak berharga karena akan dibawa oleh pihak suaminya ketika ia dewasa dan menikah nanti, dan hal seperti itu membuat sia-sia pengorbanan orang tua yang telah mengurusinya sejak lahir sampai ia menikah).
“Sejahat-jahatnya laki-laki, pasti akan memilih perempuan baik-baik untuk dijadikan istrinya, karena istri yang baik pasti akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya.”
(Mendukung laki-laki untuk tidak introspeksi diri dengan membiarkan laki-laki berkelakuan tidak baik, namun menginginkan pasangan yang harus merupakan seorang perempuan baik-baik).
“Kalau perempuan yang tidak baik kelakuannya ingin punya pendamping hidup seorang laki-laki yang baik-baik, itu namanya perempuan tersebut tidak tau diri.”
(Masyarakat patriarki biasanya tidak bisa menerima perempuan yang memiliki sikap dan perbuatan yang tidak baik (negatif). Jika perempuan seperti ini menginginkan punya pendamping hidup seorang laki-laki yang baik-baik, maka masyarakat patriarki akan menganggap perempuan seperti itu tidak tau diri karena laki-laki yang baik tidak pantas bersama dengan perempuan yang tidak baik).
“Kasihan ya suaminya, dapat istri sudah bekas laki-laki lain.”
(Ketika seorang perempuan sudah pernah disetubuhi (diperkosa) oleh laki-laki lain sebelum ia menikah, masyarakat patriarki pada umumnya akan menganggap perempuan seperti itu sangat hina.
Dalam keadaan seperti itu, seringnya masyarakat patriarki akan menyalahkan perempuan dan tidak peduli apakah memang perempuan tersebut yang bersalah, atau mungkin sebaliknya dan justru laki-laki lah yang bersalah. Perempuan seperti itu akan selalu dianggap hina oleh masyarakat patriarki.
Karena itu, jika ada laki-laki yang mau menikahi dan tidak mempedulikan masa lalu buruk dari perempuan seperti itu, masyarakat patriarki biasanya tidak senang dan memberi komentar-komentar yang tidak pantas).
“Kalau anak laki-laki bandel, tidak apa-apa.”
(Membiarkan anak laki-laki bersikap tidak baik. Bukannya mencoba menasehati agar menjadi lebih baik, namun malah menganggap hal seperti itu adalah wajar).
“Anak laki-laki memang gitu.”
(Membiarkan anak laki-laki berkelakuan / bersikap buruk).
“Kalau perempuan tidak mau patuh sama suami ya tidak usah menikah…”
(Mendidik perempuan untuk tunduk dan patuh pada apa saja perintah suaminya ketika ia sudah menikah nanti).
“Jangan kasar kalau bicara sama laki-laki, nanti jadi kebiasaan kalau kamu (perempuan) sudah menikah, kamu pasti tidak bisa berbicara lembut pada suami…”
(Mendidik perempuan untuk selalu bersikap baik dan berbicara lembut kepada suaminya, namun tidak pernah mengajarkan hal yang sama kepada laki-laki).
“Jangan suka bikin marah laki-laki, jangan suka mancing-mancing emosinya…”
(Mendidik perempuan untuk benar-benar menjaga sikap di hadapan suaminya kelak, namun tak mengajarkan hal yang sama kepada laki-laki).
“Perempuan kalau melahirkan secara sesar, itu bukan perempuan namanya. Perempuan baru bisa dibilang benar-benar perempuan kalau sudah pernah melahirkan secara normal.”
(Menyalahkan perempuan karena proses melahirkan secara sesar dianggap tidak ada apa-apanya dibandingkan proses melahirkan secara normal.
Perempuan akan dianggap perempuan sejati jika sudah pernah mengalami melahirkan secara normal, padahal perempuan juga mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan secara sesar, sama dengan proses melahirkan yang normal.
Bahkan proses lahiran sesar meninggalkan beberapa keluhan pada tubuh seorang perempuan sampai bertahun-tahun lamanya namun sering dianggap tidak berarti di kalangan masyarakat patriarki).
“Perempuan yang melahirkan secara sesar nanti disayang suami.”
(Pemikiran seperti ini membuat para perempuan berpikir bahwa seorang perempuan harus selalu menyenangkan suaminya dalam hal apapun termasuk pada bagian kewanitaan / alat kelaminnya.
Karena dalam proses melahirkan secara sesar, alat kelamin perempuan tidak mengalami sesuatu yang dapat merubah keadaannya seperti pada persalinan normal. Pemikiran seperti ini membiarkan laki-laki untuk selalu menuntut kesempurnaan alat kelamin istrinya, dan bukannya mengajarkan pada laki-laki agar bisa menerima keadaan istri apa adanya dan menghargai perjuangan serta pengorbanan istri ketika melahirkan anak-anak mereka.
Nasib dan keluhan yang dialami tubuh perempuan setelah melahirkan secara sesar dianggap tidak penting karena yang terpenting adalah kondisi alat kelamin perempuan yang memuaskan karena belum pernah melewati proses lahiran secara normal).
“Kalau keadaan perekonomian keluarga lagi susah, istri seharusnya membantu suami dalam mencari nafkah untuk keluarga, jangan mau enaknya saja terima uang dari suami.”
(Mencari nafkah dan menghidupi seluruh anggota keluarga sudah merupakan tanggung jawab penuh seorang suami dalam tradisi di kehidupan masyarakat patriarki.
Namun pada kenyataannya, banyak suami yang tak mampu menghidupi keluarganya sehingga istri terpaksa harus bekerja juga diluar demi membantu urusan perekonomian sebuah rumah tangga).
“Pekerjaan rumah tangga itu adalah tugas istri, meskipun seorang istri bekerja diluar rumah, urusan pekerjaan rumah tangga tetap harus istri yang mengerjakannya juga, bukan suami.”
(Dalam sebuah rumah tangga seharusnya laki-laki dan perempuan saling membantu dan saling melengkapi, namun tidak demikian halnya dalam rumah tangga patriarki.
Meskipun istri harus membantu tugas suaminya dalam urusan mencari nafkah untuk keluarga, namun suami patriarki tidak akan mau membantu tugas-tugas domestik yang biasa dilakukan oleh istrinya dirumah. Laki-laki patriarki biasanya lebih mengedepankan gengsi dan harga diri daripada membantu pekerjaan istrinya).
“Perempuan tidak perlu punya pendidikan tinggi karena nantinya hanya akan menjadi ibu rumah tangga dan diam di rumah.”
(Masyarakat patriarki tidak akan membiarkan perempuan memiliki derajat yang lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini mencakup ke berbagai hal termasuk soal pendidikan.
Harga diri laki-laki partriarki akan jatuh jika ia bersanding dengan perempuan yang pendidikannya lebih tinggi daripada suaminya. Karena itulah ajaran patriarki tidak mengizinkan para perempuan untuk bisa memiliki pendidikan yang tinggi).
“Sejelek-jeleknya laki-laki, laki-laki tetap bisa memilih perempuan. Tapi perempuan tidak bisa memilih laki-laki.”
(Dalam ajaran patriarki, laki-laki merupakan makhluk yang istimewa dan harus selalu dianggap benar. Karena itulah pemikiran-pemikiran masyarakat patriarki biasanya sangat mendewakan laki-laki, bahkan ketika laki-laki memiliki keinginan yang tidak masuk akal, namun keinginan tersebut tetap akan dianggap wajar).
“Kalau berumah tangga mau langgeng, satu saja kuncinya. Ketika suami marah, perempuan harus diam, jangan melawan perkataan suaminya. Jangan ketika suami marah lalu perempuan juga ikutan marah-marah kepada suami.”
(Mendidik perempuan untuk selalu menuruti apa saja perintah dan perkataan suaminya, namun laki-laki tidak di didik untuk menghargai istrinya).
“Kalau suami pulang setelah bekerja, rumah harus sudah beres, rapi. Istri juga sudah mandi, bersih, wangi, begitu juga anak-anak”.
(Perempuan diajarkan untuk selalu menyenangkan laki-laki dalam berbagai hal tanpa banyak alasan ataupun keluhan).
“Walaupun perempuan capek bekerja, jangan malas melayani suami, tetap suami harus di layani meskipun kita lagi capek. Layani dan selalu tanya apa keinginan suami, dan urusin keperluannya.”
(Ketika laki-laki capek, laki-laki harus dibiarkan istirahat.
Namun ketika perempuan yang capek, perempuan tidak boleh mengeluh dan harus tetap melayani semua keperluan laki-laki).
“Jangan membantah perkataan suami.”
(Mendidik perempuan untuk menjadi makhluk penurut yang patuh pada apa saja perkataan, perintah, dan keinginan laki-laki meskipun perkataan dari laki-laki tersebut mungkin tidak baik dan keputusannya juga mungkin bukanlah suatu keputusan yang benar).
~bersambung. . .
***(Oothye)
Terkait
Literasi Keuangan: Bijak Meminjam, Waspada Jerat Pinjol Ilegal
Kepemimpinan Perempuan, Menuju Maluku Utara Adil Makmur
Ibu Bumi, Darah Perempuan, Sebuah Seruan Perubahan