Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan bahwa penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan seksual tidak boleh menggunakan pendekatan restorative justice atau keadilan restorasi.
“Ini sama sekali tidak boleh menggunakan restorative justice,” kata Wamenkumham Prof Edward Omar Sharif Hiariej di Jakarta, Selasa (22/2) kutip Antara.
Penyelesaian kasus kekerasan seksual tanpa menggunakan keadilan restoratif ada di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS).
Selain itu, di dalam UU TPKS juga menyatakan bahwa selain pidana penjara atau pidana denda, hakim wajib menetapkan besarnya jumlah restitusi kepada korban.
Jika pelaku merupakan masyarakat ekonomi lemah atau menengah ke bawah dan tidak bisa membayar restitusi, maka polisi bisa menyita harta benda pelaku.
UUTPKS ada untuk betul-betul memberikan perlindungan kepada korban yang luar biasa. Salah satunya dalam bentuk sita jaminan harta pelaku.
Namun, jika jumlah harta benda pelaku tidak mencukupi untuk membayar restitusi bagi korban, maka pelaku akan memperoleh subsider pidana penjara.
Sementara, bila pelaku sama sekali tidak memiliki harta benda untuk membayar restitusi pada korban, negara akan memberikan kompensasi bagi korban guna rehabilitasi.
Korban Restorative Justice
Mari kita ulas, sekurang-kurangnya sebanyak 18 kasus kekerasan seksual di Kabupaten Tangerang berakhir dengan restorative justice, di mana kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan kasus dengan kekeluargaan.
Kanit PPA Polres Kota Tangerang Iptu Iwan Darsono mengatakan, 18 kasus yang berakhir restorative justice merupakan total dari 2021 hingga 2022.
S (46), merupakan salah satu pelaku pemerkosa gadis dengan keterbelakangan mental akhirnya menikah dengan korban yang kini dalam kondisi hamil besar.
Pernikahan tersebut menjadi salah satu tuntutan dalam kesepakatan perdamaian antara korban dengan kedua tersangka. Acara pernikahan berlangsung secara agama dan sederhana pada Senin (17/1/2022) malam, dengan saksi-saksi dari pihak keluarga dan Ketua RT.
Psikolog asal Pandeglang Rika Kartikasari membeberkan fakta mengejutkan mengenai kasus pelecehan seksual terhadap anak yang terjadi di wilayahnya.
Ia menyebut, banyak anak penyintas atau korban pemerkosaan berujung dinikahkan dengan pelaku dengan dalih ingin permasalahan tersebut segera selesai dan menjaga nama baik keluarga kedua belah pihak.
“Selama saya terjun memberikan pendampingan psikologi terhadap kasus-kasus ini, itu banyak korban pelecehan seksual, terutama anak-anak yang malah ujung-ujungnya dinikahkan sama pelakunya. Bisa kebayang kan bagaimana traumanya korban,” katanya saat mengisi diskusi di sekretariat HMI Cabang Pandeglang, Jumat (29/10/2021).
Rika mengungkapkan, semenjak fokus memberikan pendampingan psikologi pada korban pelecehan seksual dari tahun 2019, banyak warga yang masih enggan melaporkan kasus asusila ini kepada aparat penegak hukum.
Alasannya, mayoritas karena korbannya ketakutan hingga malu mengungkapkan aib ini bahkan kepada keluarganya sendiri.
Belum lagi kasus pemerkosaan yang pegawai di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM).
Kasus ini sempat ditutup oleh Polresta Bogor Kota pada 2020, setelah korban diarahkan aparat untuk menikah saja dengan salah satu pelaku.
Namun, karena merasa tidak mendapat keadilan dan kondisi korban tak kunjung membaik, dua tahun berselang keluarga korban memutuskan membuka lagi kasus ini agar bisa maju ke pengadilan.
Perbincangan mengenai kekerasan seksual di Kemenkop UKM tersebut membesar di internet setelah situs berita Konde.co merilis ulang kronologi peristiwa beserta perkembangannya, pada Senin 24 Oktober 2022.
Artikel berjudul “Kekerasan Seksual Pegawai Kementerian: Korban Diperkosa dan Dipaksa Menikahi Pelaku” itu ditulis berdasarkan diskusi yang diadakan oleh Aktual.com pada Rabu (19/10) pekan lalu.
Korban berinisial ND adalah pegawai perempuan honorer di Kemenkop UKM. Pada 6 Desember 2019, ia diperkosa empat pegawai laki-laki Kemenkop UKM saat sedang mengikuti acara perpisahan purnatugas Kepala Biro Umum Hardiyanto di Hotel Permata, Kota Bogor.
Modus para pelaku dengan mengajak korban makan bersama, lalu korban dibawa ke bar dan dicekoki alkohol hingga tidak sadar. Korban kemudian dibawa ke kamar pimpinan kantor, kemudian diperkosa di sana.
Kejadian itu kemudian dilaporkan korban kepada keluarganya. Pada Januari 2020, korban melaporkan pemerkosaan kepada Polresta Bogor Kota.
Saat itu, polisi menyita CCTV hotel serta menangkap 4 pelaku. Korban juga diminta melakukan visum. Namun, baru dua minggu ditahan, polisi sudah melepas para pelaku.
Ini terjadi karena ada desakan dari keluarga pelaku, agar kasus diselesaikan di luar hukum.
Inisiatif ini didukung polisi yang mendorong agar salah satu pelaku, ZP, dinikahkan dengan korban karena ia satu-satunya pelaku yang masih lajang.
Bukan Solusi
Sudah dapat kita lihat dan simpulkan bukan? bahwa jalan restorative justice atau yang biasa di sebut dengan jalur kekeluargaan justru menambah masalah baru bagi korban.
Dan UU TPKS tidak mengatur adanya pendekatan restorative justice dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
Siklus kekerasan dapat saja terulang, dan banyak pasangan berada dalam situasi toxic relationship.
Dan entah itu karena tekanan agama, perkawinan, keberadaan anak-anak, keluarga besar dan faktor sosial-suara publik, seperti stigma buruk jika bercerai atau menyandang status single parents (janda).
Bagaimanapun, penyelesaian melalui Keadilan Restoratif, harus mempertimbangkan penderitaan korban khususnya perempuan dan siklus KDRT yang sangat berpotensi berulang. Karena ketika KDRT atau KS di restorative Justice, lukanya tak akan mudah disembuhkan, siapa yang ingin mengemban luka sampai akhir?
Terkait
Literasi Keuangan: Bijak Meminjam, Waspada Jerat Pinjol Ilegal
Kepemimpinan Perempuan, Menuju Maluku Utara Adil Makmur
Ibu Bumi, Darah Perempuan, Sebuah Seruan Perubahan