9 Desember 2024

Menanti Respon DPR Dalam Konflik Agraria

Sumber Foto: Miftahul Hayat/Jawa Pos

Masyarakat menunggu respon cepat Komisi II untuk menangani berbagai konflik pertanahan yang berlarut-larut.
0Shares

Dalam pemberitaan di beberapa media massa disebutkan bahwa sejumlah anggota dan pimpinan Komisi II DPR mencecar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) soal beda putusan mereka terhadap gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) sebagai partai calon peserta pemilu. Hal ini sesuai dengan tugas dan kewenangan Komisi II DPR RI untuk menyoroti kerja badan penyelenggara pemilu serta proses tahapan pelaksanaan pemilu. Kecepatan dan ketegasan respon Komisi II atas kasus hukum PRIMA patut diapresiasi.

Kewenangan Komisi II DPR RI

Menilik tugas dan wewenang Komisi II DPR RI berdasarkan Keputusan Rapat Paripurna DPR RI tanggal 29 Oktober 2019 mempunyai ruang lingkup tugas salah satunya di bidang: Pertanahan dan Reforma Agraria. Kasus hukum terkait Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) termasuk unik, sebagai partai baru yang langsung menarik perhatian dengan berbagai kemunculannya. Namun menarik juga untuk melihat bagaimana respon Komisi II terhadap permasalahan sengketa tanah yang terjadi di beberapa wilayah konflik.

Mengenai kasus hukum PRIMA, Bawaslu sebelumnya menolak gugatan Partai Prima yang terkait putusan tidak lolos verifikasi parpol di KPU. Namun kemudian Bawaslu dalam amar putusan terbarunya, Senin, 20 Maret menyatakan KPU terbukti bersalah melakukan pelanggaran administrasi dalam proses verifikasi PRIMA sebagai peserta Pemilu 2024. Juga memerintahkan kepada KPU untuk memberikan kesempatan kepada PRIMA menyampaikan dokumen persyaratan sebagai partai politik peserta Pemilu 2024. Selanjutnya, KPU diminta melakukan verifikasi ulang terhadap kelengkapan persyaratan partai tersebut.  Berdasarkan berita acara tentang rekapitulasi hasil verifikasi administrasi sebelum perbaikan menggunakan Sipol paling lama 10×24 jam sejak dibukanya akses Sipol.

Komisi II pun mempertanyakan alasan Bawaslu menjatuhkan dua vonis berbeda terkait gugatan PRIMA Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia menyatakan sempat mengingatkan Bawaslu bahwa peluang tahapan Pemilu 2024 masih akan terganggu usai putusan PN Jakpus. Kredibilitas penyelenggara pemilu menjadi dipertanyakan. Tak kurang, anggota Komisi II dari Fraksi PDIP, Hugua serta anggota Komisi II dari Fraksi Demokrat, Mohammad Muraz juga turut bersuara.

Terkait kasus hukum PRIMA, Komisi II menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) I pada hari Rabu, 15 Maret 2023. Dilanjutkan kemudian dengan rapat kerja bersama KPU, Bawaslu, dan Kemendagri pada hari Senin, 27 Maret 2023. Menurut Dewan, Rapat Dengar Pendapat (RDP) tersebut digelar untuk mencari tahu tentang bagaimana lembaga-lembaga penyelenggara pemilu menyikapi kasus PRIMA.

Bawaslu lantas memberi respon dengan menjelaskan dua putusan terkait PRIMA. Penjelasan Bawaslu pada hari selasa, 28 Maret yang lalu menegaskan bahwa putusan pertama pada November 2022 merupakan putusan penyelesaian sengketa proses. Sementara, putusan kedua yang belum lama diterbitkan Bawaslu adalah putusan penanganan pelanggaran administrasi Pemilu.

Bagaimana Sikap Komisi II dalam Konflik Agraria?

Penjelasan Bawaslu setidaknya cukup menjawab cecaran para anggota Komisi II. Sementara untuk konflik agraria, beberapa yang telah berlangsung hingga puluhan tahun masih belum ada respon dan nyaris tanpa penyelesaian. Seperti konflik agraria di Desa Pakel, Jawa Timur. Warga Desa Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur, sudah berpuluh tahun berkonflik agraria dengan perusahaan perkebunan cengkih, PT Bumi Sari Maju Sukses (Bumi Sari).

Dalam sebuah Live Instagram, Mbak Yati, warga Dusun Durenan, Desa Pakel mengatakan, konflik ini juga berdampak pada perempuan dan anak. Ada anak-anak yang terpaksa putus sekolah dampak mata pencarian orangtua terganggu karena alami konflik agraria, antara lain, orangtua kena tangkap.

Seperti kejadian pada Jumat malam, 3 Februari 2023, tiga petani Desa Pakel bernama Mulyadi, Suwarno, dan Untung ditangkap pihak kepolisian saat menuju Desa Aliyan untuk menghadiri rapat Asosiasi Kepala Desa Banyuwangi. Mulyadi dkk dikenakan tuduhan Pasal 14 dan atau 15 Undang-undang nomor 1 Tahun 1946.

Sebelumnya, ribuan masyarakat Pakel yang tergabung dalam Rukun Tani Sumberejo Pakel juga kerap mengalami kriminalisasi serupa karena terus berjuang mempertahankan tanah mereka yang dikuasai oleh PT Bumi Sari. Padahal, banyak warga desa tidak mempunyai lahan.

Penangkapan Heru Budiawan atau Budi Pego secara tiba-tiba, tanpa penjelasan oleh belasan anggota Polresta Banyuwangi dan Kejaksaan Negeri Banyuwangi pada hari Jumat, 24 Maret sekitar pukul 17.00 WIB. Budi Pego langsung ditahan dan saat ini berada di Lapas Banyuwangi dengan penahanan dari Kejaksaan RI Banyuwangi. Penahanan atas Budi Pego didasarkan pada putusan kasasi MA yang menjatuhkan hukuman empat tahun penjara terhadap dirinya. Penahanan ini sendiri sudah dipeti-es-kan selama lima tahun.

Budi Pego merupakan salah satu warga Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, yang melakukan aksi pemasangan spanduk penolakan tambang emas Tumpang Pitu pada 4 April 2017. Aksi tersebut kemudian dituduh aparat keamanan telah menggunakan logo mirip palu arit, kendati selama proses pembuatan spanduk warga diawasi dan didampingi langsung oleh Babinmas dan Babhinkamtibmas Kecamatan Pesanggrahan.

Lantas ada pula Konflik agraria dan perampasan lahan di desa Betung, Petanang dan Desa Pematang Raman, Jambi, dengan diserobotnya lahan petani yang diduga dilakukan oleh perusahaan swasta. Ketua Umum Pimpinan Pusat Serikat Tani Nelayan (PP STN), Suluh Rifai menjelaskan dalam sebuah Live Instagram.

Dukungan Mahasiswa untuk Petani

Hal tersebut juga disampaikan oleh Presidium Komite Penyelamat Ideologi, Politik, dan Organisasi Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (KP-IPO LMND), Mesak Habari, saat melakukan konferensi pers bersama petani di Jakarta pada hari Sabtu, 4 Februari 2023.

“Konflik agraria dan penyerobotan lahan petani Jambi ini sudah berlarut-larut dan belum ada penanganan serius dari pemerintah sebelum ini,” kata Mesak. Setelah melakukan aksi jalan kaki menuju Jakarta, dan melakukan orasi politik di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, petani sempat membuka perkemahan satu malam sebelum akhirnya diterima untuk audiensi.

Dalam audiensi tersebut, pihak Kementerian akhirnya mengeluarkan beberapa rekomendasi antara lain; akan berkomitmen melakukan penegakkan hukum terhadap perkebunan yang tidak menjalankan amanat Undang-undang.

Di wilayah lain di Sumatera, konflik agraria antara warga Desa Gurilla, Pematang Siantar, dengan pihak PTPN kembali memanas. Kekerasan terhadap warga kembali terjadi pada hari Sabtu, 25 Maret yang lalu. Warga desa telah menempati lahan yang kini menjadi Desa Gurilla sejak 20 tahun lalu. Mereka mengklaim bahwa pihak PTPN ketika itu telah menelantarkan lahan tersebut. Namun, sejak setahun lalu pihak PTPN berupaya menguasai kembali lahan dan menyingkirkan warga desa.

Peristiwa konflik agraria di Wadas Purworejo dalam proses pembangunan bendungan Bener sedikit tidaknya menjadi gambaran bagaimana implementasi UU Pokok Agraria belum berjalan dengan baik yang masih diiringi dengan konflik.

Pembangunan yang seharusnya jalan menuju kesejahteraan, menampakkan wajahnya yang tak indah di Desa Wadas di Purworejo, Jawa Tengah. Wadas adalah potret pembangunan yang menunjukkan konflik agraria terus berulang. Pemerintah selaku regulator serta menjadi pihak pemberi lampu hijau dalam proses pengambilan sumber daya alam di desa wadas yakni batu andesit guna untuk pembangunan bendungan Bener di Purworejo setidaknya telah terlibat langsung dalam praktik konflik agraria.

Epilog

Melihat banyaknya kasus terkait pertanahan, sudah sepatutnya Komisi II segera mengambil respon. Sama seperti respon yang dilakukan terhadap kasus hukum PRIMA. Namun DPR sebagai wakil rakyat justru bertindak sebaliknya. Di tengah banyaknya penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil terhadap Perppu Ciptaker, DPR justru menyetujui Perppu Ciptaker menjadi UU. Sangat disayangkan bahwa DPR termasuk Komisi II tidak segera menjalankan fungsinya dalam persoalan dalam negeri dan konflik agraria. Saat ini masyarakat tetap menolak keberadaan UU Ciptaker.

Masyarakat juga gerah melihat sikap DPR dan para pejabat pemerintahan lainnya. Masyarakat menunggu respon cepat Komisi II untuk menangani berbagai konflik pertanahan yang berlarut-larut. Bebaskan Budi Pego! Bebaskan tiga petani Pakel!

Ernawati

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai