I Don’t Want To Be A Part Of Your Legend adalah judul dari salah satu karya seni Arahmaiani. Beberapa karyanya memiliki keunikan judul, tema dan bentuk.
Berani, sederhana, kreatif dan seni adalah kesan yang tertangkap dari sosok Arahmaiani. Seorang seniman yang karyanya sudah terpajang di berbagai belahan dunia. Arahmaiani adalah seni itu sendiri. Tubuh, jiwa dan kehidupannya merupakan cerminan dari kata seni.
Kreativitas seninya kerap menggunakan dirinya sendiri untuk merefleksikan imajinasi, pandangan dan sikapnya atas berbagai hal yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari. Tentang kesetaraan gender, sampah, pengrusakan lingkungan dan sebagainya dengan latar belakang ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Profil Arahmaiani
Dari penuturannya, nama Arahmaiani mewakili bentuk sinkretisme atau percampuran dua budaya di keluarganya, ayah seorang ulama dan ibu seorang Muslim yang berasal dari latar belakang agama Hindu-Buddha, “Arahma” berasal dari bahasa arab yang berarti “cinta” dan “iani/yani” berasal dari bahasa Hindi yang berarti “manusia”.
Menjadi salah satu figur penting dalam perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia dan salah satu pelopor dalam perkembangan performance art di Indonesia dan Asia Tenggara. Arahmaiani kerap kali menggunakan seni rupa sebagai media kritik terhadap isu sosial, agama, dan budaya.
Arahmaiani adalah sosok yang mewakili kreativitas, keberanian dan seni itu sendiri. Arahmaiani menempuh pendidikan seninya di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Ia juga memperoleh pendidikan seni di Academie voor Beeldende Kunst, Enschede, the Netherlands pada tahun 1983 namun pada tahun itu juga Yani dikeluarkan dari ITB.
Yani ditahan setelah selama sebulan karena mengejek peralatan militer, tank, dan senjata, dengan kapur tulis di aspal jalanan Kota Bandung. Kemudian Yani melanjutkan kuliah di Paddington Art School, Sydney, Australia pada tahun 1985.
Arahmaiani tidak surut, hingga kini tetap menghasilkan karya seni yang dipajang di berbagai belahan dunia. Tetap menjadi sosok berani yang memberikan inspirasi pada kita semua.
Seniman Kritis dan Berani
Yani ditahan setelah selama sebulan karena mengejek peralatan militer, tank, dan senjata, dengan kapur tulis di aspal jalanan Kota Bandung. Kemudian Yani melanjutkan kuliah di Paddington Art School, Sydney, Australia pada tahun 1985.
Selain dikenal sebagai seniman “performance art”, Yani juga menggunakan berbagai media lainnya seperti lukisan, gambar, patung, puisi, tari, dan seni instalasi.
Pada tahun 1981, untuk pertama kali karyanya ditampilkan dalam sebuah pameran bersama bertajuk “Accident I” di Bandung. Kemudian Yani menggelar pameran tunggal untuk pertama kalinya pada tahun 1987 dengan tema “My Dog is Dead and then He Flew” di Centre Culturelle Française, Bandung.
Pameran tunggal berikutnya antara lain: “Sex, Religion, and Coca Cola” di Oncor Studio, Jakarta (1993).
Imajinasi dan kreativitas seninya kerap mengundang penentangan dari kelompok tertentu. Seperti pada tahun 1994, Yani mendapat persekusi karena karyanya yang berjudul “Lingga Yoni” dan “Etalase” dianggap menghina agama Islam karena bersanding dengan huruf Arab serta Kitab Quran dalam instalasinya.
Persekusi tidak menyurutkan kreativitas seninya. Pada tahun 1999, karyanya berjudul “Dayang Sumbi: Refuses Status Quo” dipamerkan di Centre Culturelle Française, Bandung. Lalu “Visit to My World” pada tahun 2002 mejeng di Asian Fine Arts Gallery, Berlin, Jerman.
Tahun 2003, “Fusion & Strength” dipajang di Gallery Benda, Yogyakarta. “Wedding Party (LAPEN Wedding)” di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta (2004); “Slow Down Bro” di Jogya National Museum, Yogyakarta (2008); “The Grey Paintings” di Equator ArtProjects, Singapore (2013); “Fertility of the Mind” di Tyler Rollins Fine Art, New York, AS (2014); “Violence No More” di Haus Am Dom, Frankfurt, Jerman (2015); dan “Shadow of the Past” di Tyler Rollins Fine Art, New York, AS (2016).
Saat ini selain melahirkan banyak karya seni dan berkegiatan bersama komunitas, Yani masih aktif mengajar pada setiap musim panas di Jerman. Karya lainnya “Traditions/Tension” dipamerkan di Asia Society New York (1996). Salah satu pamerannya adalah Arahmaiani in Bangkok: Stitching the Wound pada tahun 2006 di Bangkok, Thailand.
Ia juga berpartisipasi di pameran besar, antara lain: Traditions/Tensions di Asia Society, New York pada 1996, Global Feminism di Brooklyn Museum pada 2007, Suspended Histories di Museum Van Loon, Amsterdam pada 2013-2014, Women in Between: Asian Women Artist 1984-2012 di Mie Prefectural Art Museum, Japan pada 2013, serta pameran-pameran lain yang diadakan di Singapura dan Australia.
Hingga saat ini karya-karya Arahmaiani telah dipamerkan di berbagai tempat seperti Australian Center of Contemporary Art (Melbourne), Hokkaido Asahikawa Museum of Art, Lasalle-SIA College of the Arts (Singapore), Der Rest Der Welt, Pirmasens (Jerman) World Social Forum (Utrecht), Singapore Art Museum; and Asia-Australia Arts Center (Sydney).
Yani juga pernah mewakili paviliun Indonesia dalam Venice Biennale ke 50 pada tahun 2003. Pameran tersebut diberi judul Paradise Lost: Mourning of the World.
Perjalanan ke Tibet
Cara pandang dan kreativitasnya tidak terlepas dari caranya memandang perjalanan jiwanya. Seperti yang Ia tuliskan dalam sebuah artikel di Borobudur Writers dengan judul Diantara Gunung Dan Samudra, sebuah ziarah ke Kham, Tibet.
Perjalanan pertama dan singkatnya ke Tibet Plateau sangat mengesankan dan menyentuh Yani. Baginya seperti memasuki alam mimpi yang indah. Melihat dan merasakan beberapa hal yang terasa tak asing dan ia kenali.
Selain keramahan, tata-krama dan tradisi berdebat, ada hal lain yang membuatnya terpana, yaitu tradisi bendera do’a. Berdera-bendera do’a berwarna-warni bagai pelangi dan dikibarkan di alam terbuka memang mengejutkan karena mengingatkan diriku akan karya “Proyek Bendera” ku sendiri, demikian ditulisnya.
Sebuah karya seni berbasis komunitas yang dimulai pada tahun 2006 bekerjasama dengan komunitas para santri dari Pesantren Amumarta di Yogyakarta sesudah dilanda gempa.
Proyek ini pula yang telah mengantarnya hingga ke Tibet. Karya berbasis komunitas dengan ekspresi berupa bendera-bendera warna-warni yang dihiasi kata kunci tersebut adalah karya yang akan dipamerkan di Museum Seni Kontemporer Shanghai.
Sepulangnya dari Tibet. Yani terdorong untuk menelusuri dan mempelajari jejak warisan budaya leluhur. Sebuah kesempatan terbuka di hadapannya untuk berkunjung ke biara bergaya Tibet (Sera Jey) di India.
Hal ini berawal dari kedatangan Tashi-la (Ven Tenzin Dakpa) – seorang biksu asisten pribadi Dalai Lama – ke tempat tinggalnya di Tempuran Elo-Progo dan melakukan ritual disana. Disamping menemui Kyai Masrur di pesantren Al-Qodir di Cangkringan Yogyakarta.
Menurutnya, mempelajari tradisi budaya leluhur akan membuka kesadaran tentang pentingnya “penyelarasan antara pikiran-ucapan-tindakan” yang merupakan salah satu prinsip dasar ajaran dari tradisi budayanya. Selain prinsip dasar lain yang tak kalah penting adalah memahami “keseimbangan antara kekuatan berlawanan di alam semesta”.
Tak Pernah Kehabisan Ide
Arahmaiani seperti tidak pernah lelah dan kehabisan ide. Pernah ia melumuri sekujur tubuhnya dengan lumpur sebagai simbol dari tanah yang mengubur masa lalu. Kemudian tubuhnya dibalut dengan selembar kain abu-abu sewarna lumpur, bak pendeta Buddha.
Lalu melakukan seni pertunjukan di jalan-jalan dan bangunan tua kota Lasem. Pada tahun 2015 Yani mengulangi performance art-nya di kota Gotheberg, Swedia. Pada tanggal 15 September-29 Oktober 2016, Arahmaiani menggelar pameran tunggal Shadow of the Past di Galeri Seni Kontemporer Tyler Rollins Fine Art, New York.
Pameran ini terinspirasi dari pengalamannya berinteraksi dengan para biarawan dan orang awam di Desa Lab, di wilayah Kham, Tibet, selama enam tahun.
Karya-karya terbaru Arahmaiani dalam bentuk lukisan, video dan instalasi, banyak mendapat pengaruh dari hasil penelitiannya tentang budaya masa lalu dari Animisme, Hindu, dan Buddha di Indonesia, yang meninggalkan banyak candi, termasuk candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur.
Selain kolaborasinya dengan sejumlah akademisi di Passau University, Jerman. Juga dengan para pemimpin spiritual dari berbagai agama: Islam, Katolik, Protestan, Yahudi, dan Hindu.
Saat menjadi narasumber dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh sebuah komunitas perempuan gambar belum lama ini, Yani menunjukkan karya-karya terbarunya.
Tetap dengan keramahan, kesederhanaan dan prinsipnya dalam memandang hubungan antara alam, manusia dan Tuhan. Sebuah kebenaran dan prinsip yang memberi inspirasi pada semua orang.
Ernawati
Terkait
Cerita Perempuan Batulawang, Memperjuangkan Hak Atas Tanah
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan