29 Maret 2024

30 Tahun Marsinah

"Pekerja belum mendapat keadilan dari pemerintah. Pekerja harus menyatukan kekuatan mereka, mereka harus bersatu, mengabaikan kepentingan individu, dan mengedepankan kepentingan pekerja dan massa." Marsinah (1969-1993).
0Shares

“Aku melihat begitu banyak tangan berlumuran darah….. Aku melihat bagaimana keserakahan boleh terus berlangsung. Para pemilik modal boleh terus mengeruk keuntungan, para manager dan para pemegang kekuasaan boleh terus-menerus bercengkerama diatas setiap tetes keringatku. Tapi seorang buruh kecil seperti diriku berani membuka mulutnya menuntut kenaikan upah? Nyawanya akan terenggut,”

-kutipan dialog dari naskah monolog berjudul “Marsinah Menggugat” karya Ratna Sarumpaet

Biografi

Marsinah lahir pada 10 April 1969. Anak kedua dari tiga bersaudara, dia adalah buah cinta antara Sumini dan Mastin. Ibunya yang meninggal dunia saat Marsinah masih berusia 3 tahun.

Bayi Marsinah dibesarkan oleh neneknya – Pu’irah – yang tinggal bersama bibinya – Sini – di desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur.

Ia menyelesaikan sekolah dasarnya di SD Karangasem 189, Kecamatan Gondang, dan sekolah menengahnya di SMPN 5 Nganjuk. Sejak dia masih muda, gadis berkulit gelap ini telah mencoba untuk mandiri.

Menyadari bahwa nenek dan bibinya merasa kesulitan untuk menghidupi keluarga, ia mencoba memanfaatkan waktu luangnya untuk mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjual makanan ringan.

Di keluarganya, dia merupakan anak yang rajin. Jika tidak ada kegiatan sekolah, dia membantu bibinya di dapur. Pulang dari sekolah, dia biasanya membantu membawakan makanan untuk pamannya yang sedang bekerja di sawah.

“Dia sering membawa bontontan (makanan) ke ladang untuk saya. Saat panas atau hujan, biasanya dia menggunakan daun pisang sebagai payung,” kata Suradji, paman Marsinah.

Berbeda dengan anak-anak lain seusianya yang lebih suka bermain, ia mengisi waktunya dengan belajar dan membaca. Bahkan ketika dia keluar, itu hanya untuk menonton berita TV.

Saat duduk di bangku SMA, Marsinah sudah mandiri dengan berasrama di kota Nganjuk. Selama menjadi siswa di SMA Muhammadiyah, ia adalah siswa yang cerdas.

Dia adalah siswa yang tajam dan selalu berada di puncak kelasnya. Hidupnya mengambil rute yang berbeda ketika dia harus menerima kenyataan bahwa dia tidak mampu melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi, sama seperti jutaan pemuda di Indonesia yang tidak dapat menyelesaikan sekolah mereka karena mereka tidak punya uang.

Kemiskinan yang menimpa keluarganya memaksa Marsinah meninggalkan desanya. Hampir tidak ada pekerjaan di desa. Menjadi lebih sulit untuk mencari pekerjaan yang bekerja di lapangan. Sekarang ani-ani – alat panen tradisional – telah tergantikan oleh sabit yang lebih efisien dan tidak membutuhkan tenaga kerja sebanyak sebelumnya.

Perkembangan teknik, alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat, telah membuat lebih banyak petani menjadi berlebihan. Tidak mengherankan jika bau keringat bercampur lumpur dari ladang tidak lagi meresap ke udara di desa. Suara mendengus lembu membajak ladang telah tergantikan oleh suara mesin traktor.

Tidak ada pilihan lain selain pergi ke kota. Marsinah mengirimkan lamaran kerjanya ke sejumlah perusahaan di Surabaya, Mojokerto, dan Gresik.

Dia bekerja di pabrik sepatu BATA di Surabaya pada tahun 1989 dan memulai hidupnya sebagai pekerja seperti jutaan petani yang telah diseret ke pabrik karena kemiskinan yang mengerikan di daerah pedesaan.

Setahun kemudian ia pindah ke pabrik jam tangan Empat Putra Surya di kawasan industri Rungkut yang kemudian pindah ke Sidoarjo. Marsinah adalah generasi pertama dari keluarganya yang menjadi buruh pabrik.

Kegagalannya untuk melanjutkan ke universitas tidak membunuh semangatnya untuk belajar. Marsinah percaya bahwa pengetahuan dapat mengubah hidup seseorang. Semangatnya yang tinggi untuk belajar terlihat dari kebiasaannya mengumpulkan informasi.

Dia suka mendengarkan berita, baik dari radio maupun TV. Nafsu makannya untuk membaca juga besar. Di waktu luangnya, dia sering membuat kliping berita. Untuk kegiatan yang terakhir ini, dia bahkan menyisihkan upahnya yang sedikit untuk membeli koran dan majalah bekas, meskipun upahnya hampir tidak cukup untuk hidup.

Perjuangan Marsinah

Marsinah (1969-1993) adalah seorang buruh Indonesia yang diculik oleh tentara dan dibunuh secara brutal pada 8 Mei 1993 karena keterlibatannya dalam aksi mogok di tempat kerjanya.

Dia memimpin pemogokan dengan 500 rekan kerjanya, tahu betul bahwa di bawah kediktatoran Soeharto hidupnya dalam bahaya. Sejak saat itu, Marsinah menjadi simbol dan inspirasi bagi perjuangan buruh di Indonesia.

Seorang buruh perempuan yang dengan lantang menyuarakan tuntutan pekerja atas kesejahteraan kaumnya ini harus kehilangan nyawanya.

Tepatnya pada 9 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan di hutan Dusun Jegong, Nganjuk, Jawa Timur.

Namun, dari hasil olah forensik pada saat itu menunjukkan bahwa Marsinah tewas sehari sebelumnya.

Jasadnya penuhi luka-luka dan hasil forensik juga menyatakan bahwa Marsinah sempat diperkosa sebelum kehilangan nyawa. Hingga saat ini, pelaku kekejaman itu tidak pernah terungkap dan mendapat hukuman yang semestinya.

Kasus pembunuhan buruh pabrik tersebut masih menjadi perhatian publik sekaligus sosoknya menjadi icon perjuangan kaum pekerja sampai sekarang.

“Pekerja belum mendapat keadilan dari pemerintah. Pekerja harus menyatukan kekuatan mereka, mereka harus bersatu, mengabaikan kepentingan individu, dan mengedepankan kepentingan pekerja dan massa.” Marsinah (1969-1993).

Fakta-Fakta Marsinah

1. Baru Bekerja Satu Tahun
Saat bunuh, Marsinah berstatus sebagai pegawai di PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo. Dia baru satu tahun bekerja di pabrik arloji tersebut, karena pada 1992 dia bekerja di PT CPS Rungkut, Surabaya. Namun karena menuntut pembentukan serikat pekerja, Marsinah dipindahkan ke PT CPS Porong.

2. Tidak Dianggap Sebagai Aktivis Berbahaya
Pembunuhan Marsinah diduga disebabkan oleh mogok masal pada 3-4 Mei 1993. Dia merupakan satu dari 15 karyawan PT CPS yang beraudiensi dengan perusahaan. Namun, pada awalnya dia tidak dianggap sebagai buruh yang berbahaya atau provokator, karenanya hanya 13 buruh yang dipanggil dan diminta untuk mengundurkan diri dengan alasan menjadi provokator mogok masal. Namun, dia merasa pemanggilan kepada rekan-rekannya sebagai ketidakadilan dan bermaksud akan mempertanyakan masalah tersebut.

3. Dibunuh Tepat Satu Pekan Setelah May Day
Jasadnya baru ditemukan pada 9 Mei 1993, diduga dibunuh pada 8 Mei atau tepat satu pekan setelah peringatan hari buruh yang jatuh pada 1 Mei.

4. Dibunuh Satu Bulan Setelah Ulang Tahunnya 
Marsinah lahir pada 10 April 1969. Pembunuhannya terjadi 8 Mei 1993 atau satu bulan setelah ulang tahunnya

5. Dibunuh Karena Memperjuangkan Rp550
Buruh PT CPS digaji sebesar Rp1.700/hari. Padahal Pemerintah Pemprov Surabaya mengeluarkan surat Edaran untuk menaikkan gaji sebesar 20%. Namun perusahaan tempat dia bekerja tidak mengindahkan Surat Edaran tersebut, sehingga para buruh menuntut haknya, yakni mendapat kenaikan gaji sebesar Rp550 dari Rp1.700/hari menjadi Rp2.250/hari.

6. Baju Yang Dikenakan Tidak Terungkap
Terakhir kali Marsinah dilihat oleh teman-temannya adalah pada 5 Mei sekitar pukul 22.00 WIB. Mengenakan kaos putih, rok berwarna cokelat, dan sandal jepit. Namun saat ditemukan tidak terungkap pakaian yang dipakainya, padahal hal tersebut merupakan salah satu keterangan penting untuk mengungkap kapan dia diculik. Selain itu, tidak ada keterangan orang pertama yang menemukan jasadnya di hutan jati.

7. Orang-orang yang terlibat

September 1993, pemerintah membentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jawa Timur untuk menyidik kasus pembunuhan Marsinah. Penanggung jawab tim ini adalah Kapolda Jatim, dipimpin Kadit Reserse Polda Jatim yang beranggotakan penyidik serta penyelidik Polda Jatim dan Den Intel Brawijaya.

Hanya dalam hitungan hari setelah dibentuk, tanpa diketahui publik, sembilan petinggi dan karyawan PT CPS ditangkap secara diam-diam pada awal Oktober oleh Tim Terpadu.

Mereka adalah Yudi Susanto (pemilik PT CPS), Judi Astono (pimpinan pabrik PT CPS Porong), Suwono (Kepala Satpam PT CPS Porong), Suprapto (satpam PT CPS Porong), Bambang Wuryantoyo (karyawan PT CPS Porong), Widayat (karyawan dan sopir PT CPS Porong), Achmad Sutiono Prayogi (satpam PT CPS Porong), Karyono Wongso alias Ayip (Kepala Bagian Produksi PT CPS Porong).

Termasuk Mutiari (Kepala Bagian Personalia PT CPS Porong), yang menjadi satu-satunya perempuan yang ditangkap. Selain sembilan orang itu, Tim Terpadu juga menahan Komandan Rayon Militer (Dan Ramil) Porong Kapten Kusaeri yang dianggap mengetahui kejadian tetapi tak melaporkan kepada atasan.

Mereka dituduh bersekongkol memerkosa, menganiaya, dan membunuh Marsinah. Namun, fakta persidangan menyebutkan, setiap tersangka yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.

8. Pelaku Dibebaskan
Para pembunuhnya sempat disidangkan di pengadilan. Mereka dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman seperti Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara. Sedangkan, Mutiari dihukum 7 bulan karena dianggap hanya mengetahui rencana pembunuhan. Sedangkan, sejumlah staf PT CPS lainnya dihukum berkisar empat hingga 12 tahun.

Namun para terdakwa mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya. Di tingkat ini, Yudi Susanto dibebaskan, sedangkan vonis terdakwa lainnya dikuatkan PT Surabaya. Untuk mendapatkan keadilan, sembilan terdakwa lainnya mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.

Hampir dua tahun setelah ditemukannya jasad Marsinah di hutan Jati Wilangan, tepatnya pada 3 Mei 1995, majelis hakim kasasi membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan atau bebas murni. Putusan inilah yang meyakinkan banyak pihak bahwa sejak awal penyidikan kasus ini memang sudah kental dengan aroma rekayasa.

Selama rezim Orde Baru, ketika para pekerja menuntut hak-hak mereka dan mogok kerja, mereka selalu harus menghadapi tentara. Setelah tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, hampir semua orang berharap akan ada perubahan dalam undang-undang perburuhan menjadi lebih baik.

Namun, hal-hal sebenarnya menjadi lebih buruk. Sekarang para pekerja tidak lagi menghadapi bayonet tentara (meskipun kadang-kadang masih ada kekerasan terhadap pekerja yang berjuang); mereka sekarang dihadapkan dengan kebijakan “neoliberal” dari pemerintah Indonesia. Pasar bebas telah menjadi lebih merajalela di Indonesia dan telah menjadi rantai yang mengikat para pekerja dan mengeksploitasi mereka di bawah roda pabrik.

(dihimpun dari berbagai sumber)

Milla Joesoef

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai