4 Oktober 2024

Hayati, Sebuah Pengabdian Tanpa Batas

0Shares

Selama 3 (tiga) tahun terakhir Hayati memberikan les pelajaran gratis di rumahnya. Dengan peralatan sederhana yang diusahakan sendiri. Ia membeli papan tripleks, memotong menjadi dua, menyulap ruang tamu dan halaman rumah yang sederhana menjadi ruang belajar.

Metode belajarnya menggunakan alam. Kadang Ia mengajak anak-anak pergi ke hutan untuk mengenal tumbuh-tumbuhan sambil belajar menulis, membaca dan berhitung. Dengan cara ini anak-anak mendapat pelajaran mengenai alam sekaligus membaca, menulis dan berhitung.

Membuka Sekolah Rumah

Sebelumnya, Hayati mengajar sebagai guru honorer di sebuah sekolah dasar. Setelah 20 (dua puluh) berprofesi sebagai guru honorer, akhirnya Ia memutuskan untuk keluar dan mengajak anak-anak belajar di rumahnya. Saat menjadi guru, Ia menemukan banyak orangtua menolak menyekolahkan anaknya karena merasa sekolah tidak berguna. Pelan-pelan, Ia mendekati tiap orangtua dan menjelaskan kegunaan ilmu pengetahuan terutama ilmu dasar membaca, menulis dan berhitung.

Waktu mulai membuka bimbingan belajar di rumah pun, Ia banyak dicemooh tapi pantang menyerah. Baginya cemohan adalah makanan sehari-hari yang sudah sering diterimanya sejak kecil. Hayati mendatangi tiap rumah, menanyakan anak-anak seusia PAUD. Kemudian Ia mengajak mereka belajar dan bermain di rumahnya. Diawali dengan hanya sekitar 12 anak, lambat laun meningkat hingga sekarang ada sekitar 85 anak.

Di desa tersebut ada sekolah masing-masing satu, yaitu PAUD, SD, MI, SMP dan SMA terbuka. Namun sehari-hari, sepulang sekolah atau pada sore hari, anak-anak datang ke rumah Hayati. Begitu pun saat liburan sekolah, sejak pagi anak-anak sudah datang untuk belajar. Tentu tidak mudah mengajar anak sebanyak itu tapi Hayati memiliki metode dan cara mengatur waktunya. Subuh, sebelum anak-anak datang, Hayati menuliskan berbagai soal di 3 papan tulis whiteboard. Saat anak-anak datang, secara bergantian Ia menjelaskan soal yang ada di papan tulis. Kemudian ketika anak-anak belajar dan mengerjakan soal, Bu Hayati pergi ke sawah sebentar untuk mengerjakan sawahnya.

Tak Kenal Lelah

Hayati tidak pernah diam. Sewaktu masih mengajar di sekolah, Ia pergi kuliah ke Bandung sebulan sekali untuk memenuhi syarat sertifikasi guru. Di hari-hari lainnya, pagi sebelum berangkat mengajar, Bu Hayati membuat gorengan yang akan dibawa kedua anaknya ke sekolah untuk dijual. Pulang mengajar Ia masih berjualan sayur yang banyak tumbuh secara liar di sekitar rumahnya. Kadang sayur dijajakan berkeliling sambil digendong. Pada malam harinya, masih ada tugas domestik yang menanti yaitu mencuci pakaian dan lain-lain.

Saat ini pun Hayati melakukan berbagai pekerjaan untuk menutupi kebutuhannya serta kebutuhan “Sekolah Rumah” yang Ia dirikan sendiri. Sendirian Hayati mengolah beberapa petak sawahnya, dari menanam, panen hingga menjemur bulir-bulir padi. Selain itu, Ia juga menggali sendiri tanah di belakang rumahnya untuk dijadikan empang. Di halaman rumahnya, Hayati masih sempat menanam berbagai jenis tanaman hias dan jambu biji untuk dijual.

Kadang Hayati memenuhi panggilan untuk memijat. Hanya beberapa jam dalam sehari waktu yang digunakan untuk istirahat tidur, selebihnya adalah bekerja dan memberi bimbingan belajar bagi anak-anak. Kegigihan dan semangat membuat tubuhnya kuat mengerjakan berbagai hal. Tanpa makanan yang cukup, energinya tetap berlimpah.

Masa Kecil – Kuliah

Daya juangnya telah ditempa sejak kecil. Masa kecil dihabiskan di Bandung. Saat masih sekolah, Bapaknya hanya memberi bekal sedikit sehingga Ia harus mencari cara untuk memenuhi kebutuhan transport dan buku pelajaran. Untuk berangkat sekolah Ia menumpang mobil atau berjalan kaki. Ia juga mulai belajar jualan kecil-kecilan. Karena tidak mampu membayar les tambahan, Hayati mengintip dari luar ruang les atau belajar dari temannya yang mengikuti les tambahan.

Selepas sekolah menengah Hayati sempat bekerja pada sebuah pabrik di Batam selama 2 tahun. Sempat juga mendaftar di sekolah kebidanan dan diterima, namun karena tidak ada uang, akhirnya mengundurkan diri. Tapi keinginannya untuk belajar tidak pernah padam. Setelah menikah dan bekerja sebagai guru, keinginan untuk kuliah tercapai, selain untuk memenuhi kebutuhan sertifikasi guru.

Semula Ia mendaftar di UIN Jakarta dan diterima namun baik ibu maupun suaminya menolak untuk membiayai. Bahkan saudara-saudaranya mencemooh dan mengatakan bahwa kalau tidak punya uang sebaiknya tidak perlu kuliah. Belum ada seseorang yang bersedia membiayai uang kuliahnya. Hayati membayar sendiri uang SPP dengan cara berhutang pada dosennya dan dibayar saat panen.

Berani Memegang Prinsip

Setelah menikah Hayati mulai tinggal di desa Mekargalih. Pada waktu itu kendaraan masih jarang, jalan gelap dan masih dipenuhi hutan. Hayati berangkat waktu subuh pukul 4 pagi. Kadang kalau tidak dapat kendaraan harus menunggu hingga pukul 1 malam untuk pulang. Dibanding sekarang, hutan masih ada namun tidak sebanyak sebelumnya dan kendaraan mulai banyak yang melintas. Walaupun untuk masuk hingga ke dalam masih harus ditempuh dengan jalan kaki atau naik ojek.

Tetap dengan bekal minim. Bekal uang hanya cukup untuk transport dan fotocopy. Hayati cerita, waktu ujian sertifikasi, Ia tidak memiliki laptop seperti murid-murid lainnya, maka Ia mengakali dengan mencari karton-karton bekas untuk presentasi mengenai sistem belajar mengajar. Ternyata Ia berhasil dan mendapat pujian.

Hayati tidak merasa malu dan berani mengemukakan pendapatnya jika dirasa itu benar. Ia berpegang pada prinsip kebenaran, ‘Benar di kita, benar di masyarakat dan benar secara hukum’. Seperti saat menjalani profesinya sebagai guru honorer selama 20 tahun. 2 tahun pertama Ia digaji sebesar Rp 15.000 rupiah. Kemudian meningkat menjadi 50.000 Rupiah. Setelah mendapat sertifikasi, gajinya menjadi Rp 1.500.000 namun mendapat berbagai potongan, tiap bulan ia hanya memperoleh Rp 600.000- Rp 700.000. Ia  menerima dengan ikhlas. Namun ada beberapa hal yang mengusik prinsip kebenarannya sehingga Ia memilih keluar.

Impian Membangun Sekolah

Hayati melanjutkan keinginannya untuk berbagi ilmu dengan memberi les pelajaran. Ia meyakini bahwa memberi pendidikan harus tuntas. Jika seorang anak belum bisa membaca, menulis dan berhitung, maka Ia akan terus membimbing anak tersebut hingga berhasil. Hayati tidak hanya mengajar namun Ia juga mengenali dan memahami setiap anak, karakternya, kemampuan dan kondisi keluarganya. Semua itu menjadi dasar untuk memberikan perlakuan berbeda pada tiap anak. Bagi yang tidak memiliki kemampuan bicara di depan, Ia yang akan datang mendekat agar anak menjadi lebih berani dan percaya diri.

Tekadnya menjadikan anak-anak di desa memiliki kemampuan dasar dan kalau memungkinkan, hingga jenjang pendidikan lebih tinggi. Di usianya yang ke 51 tahun ini, keinginan dan harapannya tidak berpusat pada diri sendiri, “Suatu saat saya mungkin pulang ke rumah asal saya di Bandung. Tapi pasti saya juga akan pergi untuk selamanya kalau sudah waktunya, jadi saya tidak memikirkan kepentingan untuk saya sendiri. Saya tidak membutuhkan apa-apa untuk diri sendiri”.

Begitulah, Hayati ingin memberikan sisa hidupnya lebih dan lebih lagi bagi masyarakat desanya. Ia tidak berfikir muluk-muluk tentang negara, hanya masa depan anak-anak di desanya. Bahkan bersama orang-orang tua lainnya, mereka memberi pesan pada anak-anak yang sudah bekerja di kota untuk juga memikirkan teman-temannya di desa. Entah dengan cara membantu mencarikan pekerjaan atau turut dalam acara-acara di desa.

Hayati masih mempunyai impian untuk membangun sekolah. Saat ini ia masih menunggu kesempatan mendapat dana secukupnya untuk memperbaiki rumahnya agar lebih lapang dan nyaman serta memenuhi kebutuhan buku dan alat tulis untuk mengajar. Beberapa bagian rumahnya memang sudah reot. Dinding yang terbuat dari gedeg sudah banyak yang berlubang. Papan lantai pun goyah di beberapa bagian sehingga membahayakan jika diinjak. Ditambah lagi atap yang berlubang dan menyebabkan bocor saat hujan deras.

Sekali lagi semangat dan kegigihan Hayati tidak surut. Ia juga berencana untuk mengajar orang-orang tua yang tidak bisa membaca, menulis dan berhitung. Setidaknya ilmu dasar itu yang dapat menjadi bekal agar dapat memperlancar usaha mereka dalam menjual hasil produksi dan berdagang di kota. Dengan segala kekurangan, Hayati menyimpan semangat dan kegigihan. Ssemoga ini menular kepada semua yang memiliki kemampuan lebih untuk berkarya bagi bangsa ini.

Ernawati

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai