Kekerasan Suami-Istri So Kasander Dan Metty Kapantow
Penyiksaan yang dilakukan oleh majikan Siti Khotimah, suami-istri So Kasander dan Metty Kapantow sungguh di luar nalar kemanusiaan. Metty merendam kaki Khotimah dengan air mendidih dan memborgol tangan dan merantai kakinya. Dia direndam pakai air mendidih lalu tangan diborgol dan kaki dirantai. Hal ini dilakukan berulangkali. Tutur Khotimah dalam kesaksiannya pada sebuah persidangan di Pengadilan Negri Jakarta selatan.
Tidak hanya itu, Metty juga melakukan kekerasan seksual kepada Khotimah. Suami Metty, Kasander, juga ikut memukulnya dengan alat garukan dan menendangnya hingga tersungkur ke lantai. Khotimah lalu dikurung di kandang anjing dengan tangan terborgol. Selama 24 jam, tanpa diberi makan dan minum dan tidak boleh ke toilet.
Jane Sander, anak pasangan tersebut ikut melakukan penyiksaan terhadap Khotimah. Evi, PRT yang bertugas mengurusi anjing peliharaan, mencekik dan mendorong kepala Khotimah ke lantai. Kemudian memukul Khotimah dengan kursi plastik.
Khotimah juga pernah dipukul pakai besi berulangkali hingga giginya rontok dan membuatnya kehilangan beberapa gigi. Rekan kerjanya sesama PRT, Saodah dan Inda Yanti, juga turut menyiksa Khotimah.
Disiksa Majikan, Anak Dan Rekan Kerja
Selain melakukan kekerasan seksual, keduanya memukul, mendorong, dan menjambak rambut Khotimah berulang kali. Sutriyah, Pebriana Amelia, dan Pariyah juga ikut menyiksa Khotimah dengan melakukan kekerasan seksual kepadanya. Termasuk memaksa Khotimah memakan sambal mentah.
Khotimah mulai bekerja di rumah pasangan tersebut pada tanggal 18 April 2022 setelah mendapat informasi dari agen penyalur PRT yang kemudian menempatkannya di Apartemen Simprug Indah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Tugasnya adalah mengurus pekerjaan rumah tangga yaitu membersihkan apartemen, menyiapkan makan keluarga, menyiapkan obat-obatan serta membantu Metty mandi, dan membersihkan anjing peliharaan.
Bersama Khotimah terdapat enam orang PRT lainnya yakni Evi, Sutriyah, Saodah, Inda Yanti, Pebriana Amelia, dan Pariyah. Selama 6 bulan bekerja, bukannya mendapat gaji, Khotimah justru terus menerus mendapat perlakuan kekerasan yang tidak manusiawi. Bahkan tidak pernah menerima gaji meskipun dalam surat perjanjian kerja tertulis bahwa dia berhak menerima gaji sebesar Rp 2 juta per bulan dan makan 3 kali sehari.
Akibat Dari Penyiksaan
Akibat penyiksaan ini kaki Khotimah luka permanen dan giginya rontok. Impian Khotimah untuk mendapatkan kehidupan yang layak pun kandas. Dari Pemalang, Khotimah berangkat ke Jakarta pada tahun 2020. Di Jakarta Khotimah bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) selama dua tahun. Khotimah menjalani semua pekerjaan dengan aman dan lancar.
Karena terus menerus mendapat penyiksaan, Khotimah meminta untuk dipulangkan namun permintaannya ditolak. Pada bulan Desember, dia berusaha menyelamatkan diri dari apartemen yang berada di Lantai 12 Unit 1 tersebut, namun tidak berhasil.
Setelah kondisi fisik Khotimah memburuk, majikannya meminta agen penyalurnya untuk menjemput Khotimah. Khotimah kemudian dipulangkan ke kampung halamannya. Kasus ini kemudian terungkap pada bulan Desember 2022.
Penyidikan atas kasus ini segera dilakukan dilanjutkan dengan penahanan atas para pelaku. Sidang perdana telah digelar dan kemarin, Rabu, 5 Juli 2023 merupakan sidang ke 5 dengan agenda pembacaan tuntutan.
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan melakukan sidang pada sembilan pelaku penyiksaan Khotimah, yaitu pasangan suami istri majikan, seorang anak majikan dan enam PRT yang membantu majikannya melakukan penyiksaan.
Dalam persidangan perdana, para terdakwa tidak membantah keterangan Khotimah. Mereka mengakui kekejaman yang telah mereka lakukan terhadap Khotimah. Para terdakwa dijerat Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta Pasal 43 dan 45 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Baca juga: Sidang di Bulan Juni – SULUH PEREMPUAN
Tuntutan Ringan Pengadilan
Dalam sidang kemarin, jaksa memberikan tuntutan sebesar 4 tahun penjara. Sementara itu dari pihak kuasa hukum Siti Khotimah sebagai korban beserta JALA PRT dan koalisi masyarakat sipil yang mendukungnya, menyayangkan tuntutan hukuman yang dianggap terlalu ringan dibanding perbuatan kejam atas Khotimah dan penderitaan yang harus dijalani Khotimah sepanjang hidupnya.
Selain itu ada tindak kekerasan seksual yang belum dimasukkan dalam tuntutan. Para terdakwa telah melakukan kekerasan seksual yang dapat dijerat menggunakan pasal-pasal dalam Undang-undang No. 12 tahun 2022 tentang tindak kekerasan seksual.
Hari Anti Penyiksaan Internasional
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan 26 Juni sebagai Hari Anti Penyiksaan Internasional. Hal ini dproklamirkan PBB melalui resolusi 52/149 pada 12 Desember 1997, setelah melalui berbagai kampanye, yang diawali dengan Konvensi Menentang Penyiksaan 1987.
Hari Anti Penyiksaan Sedunia ini ditetapkan untuk mendukung para korban penyiksaan, bersatu dalam melawan penyiksaan dengan tujuan agar segala bentuk penyiksaan dapat dihapuskan.
Penyiksaan sendiri merupakan tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau penderitaan kepada seseorang. Perlakuan tersebut dilakukan biasanya untuk mencapai suatu tujuan, seperti membuat korban mengaku kesalahan baik yang memang dilakukan, bahkan yang tidak dilakukan. Tindakan penyiksaan ini turut dilakukan untuk mendapatkan informasi, atau untuk menghukum korban.
Perserikatan Bangsa-bangsa menganggap bahwa penyiksaan merupakan salah satu tindakan paling keji yang dilakukan terhadap sesama manusia, karena tindakan tersebut serta merta merendahkan martabat manusia.
Deklarasi Universal HAM
Pada Pasal 5 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan Pasal 7 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dengan tegas menyatakan bahwa tak seorang pun dapat menjadi sasaran penyiksaan atau diperlakukan secara kejam, mendapatkan perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya.
Penentangan terhadap berbagai bentuk penyiksaan pun telah dikuatkan dengan Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat, atau Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT).
Baca juga: Pernyataan Sikap: Kasus Revenge Porn IAK – SULUH PEREMPUAN
Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui Undang-undang No.5 tahun 1998, namun praktik penyiksaan atau perlakuan sewenang-wenang serta merendahkan martabat manusia masih berlangsung di Indonesia, khususnya terjadi di tempat tahanan maupun di tempat-tempat yang tidak bisa diakses secara terbuka.
Selain penyiksaan, terdapat tindak kekerasan seksual yang belum dimasukkan dalam tuntutan. Para terdakwa telah melakukan kekerasan seksual yang dapat dijerat menggunakan pasal-pasal dalam Undang-undang No. 12 tahun 2022 tentang tindak kekerasan seksual. Dalam hal ini tuntutan terhadap para terdakwa seharusnya ditinjau kembali. Demi kemanusiaan dan keadilan bagi Siti Khotimah.
Ernawati
Terkait
79 Tahun Merdeka: Puan, Stop Sandera RUU PPRT
Tepatilah Janji, Film sebagai Media Sosialisasi Pilkada 2024
Ultah ke-30, AJI Tetap Melawan di Tengah Disrupsi Media dan Menguatnya Otoritarianisme