4 Oktober 2024

Pentingnya Kesetaraan Gender, pada Film The Stoning of Soraya M

0Shares

Film “The Stoning of Soraya M” adalah sebuah drama adaptasi dari novel yang sama, ditulis oleh Freidoune Sahebjam. Film tersebut adalah kisah nyata yang pernah terjadi pada tahun 1986 di Iran. Film ini bercerita tentang Soraya, perempuan yang berasal dari Iran dan tinggal di suatu desa kecil jauh dari kota. Soraya juga merupakan korban rajam atau dilempari pakai batu sampai mati atas fitnah yang dibuat oleh suaminya, Ali.

Film ini menggambarkan kenyataan pahit kehidupan di Iran dan perjuangan melawan ketidakadilan. Kisah memilukan ini menyoroti ketakutan, ketidakadilan, dan penderitaan yang dialami Soraya. Sementara tetangganya, Zahra tanpa lelah berjuang untuk mengungkap kebenaran. Perjalanan mereka untuk mencari keadilan memperlihatkan diskriminasi dan penindasan yang mengakar terhadap perempuan dalam masyarakat yang didominasi laki-laki.

Film ini berfungsi sebagai pengingat yang kuat akan ketakutan dan penderitaan yang banyak perempuan hadapi di seluruh dunia, menyoroti ketahanan dan tekad mereka untuk memperjuangkan keadilan. “The Stoning of Soraya M” berfungsi sebagai pengingat yang kuat tentang pentingnya kesetaraan gender dan kebutuhan untuk memerangi kekerasan di seluruh dunia.

Ini adalah gambaran pedih dari perjuangan yang perempuan hadapi dalam masyarakat di mana mereka terpinggirkan dan didiskriminasi. Dengan menganalisis bentuk-bentuk perlawanan dalam film seperti “For Sama,” kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih besar tentang kekuatan dan ketahanan yang perempuan tampilkan di zona konflik (Chotimah, N, D).

Kesetaraan Gender dan Perlindungan Perempuan.

Dalam film “The stoning of Soraya M”, perspektif patriarki hadir melalui tokoh laki-laki yang mempunyai kekuasaan di desa. Mereka menggunakan norma sosial dan agama untuk membenarkan tindakan mereka terhadap Soraya.

Pertama-tama, suami Soraya, Ali, adalah wakil dari kekuasaan patriarkal. Dia merencanakan tuduhan palsu terhadap Soraya untuk menceraikannya dan menikahi wanita baru. Ali menggunakan statusnya sebagai suami untuk memanipulasi dan memanfaatkan sistem hukum desa yang berpihak pada laki-laki.

Selain Ali, tokoh desa lainnya seperti tokoh agama dan hakim desa juga mewakili perspektif patriarki. Mereka memiliki pengaruh yang kuat dalam mengatur kehidupan masyarakat pedesaan dan menegakkan aturan yang menguntungkan laki-laki. Mereka mendukung tuduhan palsu terhadap Soraya dan menggunakan rajam sebagai alat untuk membatasi kebebasan perempuan.

Pandangan patriarki juga tercermin dalam penolakan mereka terhadap upaya Zahra untuk mengungkap kebenaran. Mereka menolak mendengarkan saksi yang bisa membuktikan tuduhan terhadap Soraya tidak benar. Mereka lebih suka melindungi kepentingan dan citra mereka daripada memperjuangkan keadilan untuk Soraya.

Sepanjang film, perspektif patriarki memberikan latar belakang yang kuat untuk pesan-pesan tentang ketidakadilan dan penindasan perempuan. Film tersebut mengkritik sistem sosial dan hukum yang memungkinkan laki-laki memiliki kendali dan kekuasaan mutlak atas kehidupan perempuan, sehingga menciptakan lingkungan yang berbahaya bagi mereka. Dengan menekankan perspektif patriarki tersebut, film “The Stoning of Soraya M” mengajak penonton untuk merenungkan perlunya mengatasi ketimpangan gender dan memperjuangkan kesetaraan sosial.

Dalam konteks film tersebut, patriarki dan budaya yang ada terkait erat dengan isu kesetaraan gender dan perlindungan perempuan. Film ini menggambarkan bagaimana patriarki dan norma budaya yang berpihak pada laki-laki bisa menjadi alat untuk menindas perempuan.

Kedua, patriarki dalam film ini menggambarkan ketidaksetaraan gender yang melibatkan kontrol dan dominasi laki-laki atas perempuan. Suami Soraya, Ali, menggunakan kekuasaannya sebagai laki-laki dalam struktur patriarkal untuk memanipulasi hukum dan masyarakat demi kepentingannya sendiri. Dia menggunakan tuduhan palsu terhadap Soraya untuk mempertahankan kendali atas dirinya dan untuk keuntungan pribadi.

Selain itu, budaya dalam film ini juga berperan penting dalam menguatkan sistem patriarki dan menindas perempuan. Norma sosial dan agama yang ada di masyarakat pedesaan menciptakan lingkungan dimana perempuan dianggap rendah dan lemah. Perempuan menghadapi diskriminasi, penindasan dan kekerasan karena norma budaya dominasi laki-laki.

Film ini menggambarkan betapa sulitnya memberikan perlindungan pada perempuan dalam masyarakat dengan budaya patriarki yang kental. Bahkan ketika ada upaya untuk memerangi ketidakadilan, seperti yang Zahra lakukan untuk mengungkap kebenaran, upaya tersebut seringkali mendapat pengabaian atau ditentang oleh tokoh laki-laki yang berkuasa.

Menyoroti pentingnya kesetaraan gender dan perlindungan perempuan melalui narasi yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan atas nama budaya atau tradisi tidak boleh berlanjut. Film ini juga mengajak penonton untuk merenungkan peran budaya dan bagaimana perubahan sosial dapat berkontribusi pada perlindungan dan kesetaraan gender yang lebih baik di masyarakat.

Perlindungan Perempuan dan Kesetaraan Gender di Indonesia.

Film “The Stoning of Soraya M” mungkin tidak memiliki kaitan langsung dengan kondisi kesetaraan gender di Indonesia. Namun, film tersebut dapat memicu refleksi atas isu kesetaraan gender yang terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Beberapa kaitan yang bisa menjadi bahan diskusi antara film ini dengan kesetaraan gender di Indonesia adalah:

Pertama, Melindungi Perempuan: Film ini menggambarkan pentingnya melindungi perempuan dari kekerasan, penindasan dan ketidakadilan. Di Indonesia, kesetaraan gender masih menjadi perjuangan yang belum sepenuhnya terwujud. Masalah seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, perdagangan manusia, dan diskriminasi gender masih ada. Film ini dapat meningkatkan kesadaran dan mendorong langkah lebih lanjut untuk melindungi perempuan di Indonesia.

Kedua, Penindasan atas nama budaya atau agama: Film ini mengkritik penggunaan budaya dan agama untuk membenarkan penindasan terhadap perempuan. Penafsiran budaya dan agama tertentu terkadang masih membenarkan pembatasan kebebasan dan hak perempuan di Indonesia. Film ini dapat memotivasi masyarakat Indonesia untuk mempertanyakan praktik-praktik yang melanggengkan ketidaksetaraan gender dengan kedok budaya atau agama.

Ketiga, Ketidakadilan pada Perempuan: Dalam memerangi ketidakadilan gender, film ini menekankan pentingnya kemajuan perempuan. Perempuan Indonesia perlu diberdayakan dalam berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, bisnis, dan partisipasi politik. Mengambil inspirasi dari film ini, upaya dapat dilakukan untuk memastikan kesempatan yang sama bagi perempuan Indonesia untuk mencapai potensi penuh mereka.

Pesan-pesan yang terkandung dalam film ini dapat memiliki relevansi dalam konteks kesetaraan gender di Indonesia, meskipun berlatar cerita di Iran. Refleksi dan diskusi tentang isu kesetaraan gender yang masih bisa menjadi pendorong film ini. Kesetaraan gender, tujuan yang menjadi cita-cita mulia bangsa Indonesia, juga bertujuan untuk memicu lebih banyak upaya dalam mewujudkan kesetaraan sejati bagi semua gender.

Anda bisa menonton filmnya melalui link berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=vg95XtA5iQc

Saviske Talangamin

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai