Sobat SuPer! Menulis untuk terapi adalah sebuah tema kita kali ini. Ada empat level dalam menulis untuk terapi, yakni expressive writing, free writing, life writing, dan creative writing.
Expressive Writing
Expressive writing adalah salah satu bentuk tulisan untuk melepaskan (dan mengeksplorasi) emosi serta pikiran paling dalam serta traumatis yang paling melukai batin. Luka-luka ini tertoreh dalam perjalanan hidup, dan hampir selalu berkaitan dengan orang dan atau hal lain. Misalnya dikhianati kekasih, difitnah di kantor lalu dipecat dengan tidak hormat, dikhianati oleh adik kandung yang paling disayang, dan seterusnya.
Expressive writing dirancang sehingga menjadi metode menulis yang membebaskan. Namun sebelum mulai membongkar semua luka dan kotoran batin, kita harus terlebih dahulu mengenal diri sendiri. ‘Aku’ yang terluka ini harus dipahami sebelum kita melakukan hal berikutnya.
Bagian Pertama: Siapa ‘Aku’?
Nampaknya kita semua boleh sepakat, bahwa syarat paling utama bagi kita untuk melakukan tindakan apapun dan menghasilkan buah karya macam manapun, adalah mengenali diri sendiri terlebih dahulu. Dan setiap diri kita punya cara dalam menjalankan ‘dirinya’, yang dikendalikan oleh hal-hal sebagai berikut:
- Cara dan pola berpikir sesuai IQ (Intelectual Quotient, kecerdasan otak).
- Kontrol emosi sesuai EQ (Emotional Quotient, kecerdasan emosional).
- Kadar spiritualitas sesuai dengan SQ (Spiritual Quotient, kecerdasan spiritual), dan terakhir,
- Kesehatan dan kebugaran tubuh selaras dengan PQ (Physical Quotient, kecerdasan tubuh).
Kondisi harmonis antara keempat kendali dia atas akan menuntun ‘aku’ dalam kondisi ‘aku baik-baik saja’, mirip syair lagu. ‘Aku’ bisa menjadi utuh dengan tuntunan enam pertanyaan ini:
- Siapa aku?
- Apa tujuan hidupku?
- Apa yang kuinginkan?
- Apa yang kumiliki?
- Apa arti kesuksesan bagiku?
- Hal atau nilai seperti apa yang aku hargai?
Jika enam hal di atas terjawab tuntas serta diejawantahkan, maka ‘aku’ pun baik-baik saja dan serba terpenuhi. Tapi sayangnya faktor-faktor eksternal yang buruk bisa menjadi pengikis keutuhan tersebut. Jika dampaknya berat maka ‘aku’ dan badan wadagnya akan terguncang secara psychomatic. Asam lambung naik, ulu hati nyeri, jantung berdegup kencang tak beraturan, diare terus menerus, sekujur tubuh gatal, nyeri sendi, dan otot-otot menegang, yang kemudian berujung pada kondisi tekanan secara emosional adalah dampak dari guncangan psychomatic tersebut.
Sangat tidak menyenangkan. Itu sebabnya ‘aku’ perlu ‘dibantu’ untuk menjadi dirinya yang penuh dan utuh. Ia punya hak penuh untuk mampu mengelola tekanan dan stres agar tidak berkembang menjadi depresi. Ia juga punya hak utuh untuk mendapatkan kondisi rawagi sedemikian rupa yang menjadi pendorong kebahagiaan jiwani. Tunggu dulu!
Hormon Kebahagiaan
Benarkah tubuh yang berada dalam kondisi baik bisa membuat kita bahagia? Ya, kenapa tidak? Seperti saya jelaskan sebelumnya, olahraga meningkatkan hormon endhorpin pemicu rasa senang, puas, dan bahagia, dan di saat bersamaan menurunkan kadar hormon kortisol pemicu stres. Ah, sudahlah kadar stres berkurang, bahagia meningkat pula! Jadi, mengapa tidak mulai sekarang saja teratur berolahraga? Dan, selain olahraga ternyata masih ada banyak hal lain -hal sederhana lain- yang bisa memicu rasa girang dan kesenangan-kesenangan kecil, yang jika dikumpulkan dengan tekun bisa menumpuk menjadi kebahagiaan besar. Ini di antaranya:
- Tertawa, sebab tertawa adalah obat sehat jiwa raga tanpa biaya. Dengan tertawa, hormon endhorpin (morfin alami yang diproduksi oleh tubuh) membanjir dalam darah. Semakin endhorpin bergulung-gulung, semakin bahagia pula kita.
- Makan makanan yang tepat dan bisa mengendurkan ketegangan, syaraf dan otak, serta meningkatkan neurotransmitter pembawa keriangan dalam hati dan pikiran. Makanan yang dimaksud ialah yang mengandung serotonin yang berfungsi menstabilkan emosi, memupuk ketenangan, kualitas tidur, dan rasa damai. Serotonin dapat ditemukan dalam makanan protein tinggi baik hewani maupun nabati seperti unggas-unggasan, ikan, kacang-kacangan, susu, keju, telur, dan jamur.
Selain itu, vitamin B 6 juga meningkatkan produksi serotonin dan mudah didapat pada daging, biji-bijian, sayuran hijau, dan ikan. Pecel lele, tempe tahu bacem, ayam penyet, gado-gado lengkap dengan tempe, tahu, dan telur rebus dengan siraman bumbu kacang yang melimpah, soto Betawi, rawon, bubur kacang hijau, teh tarik dengan susu yang pekat, nila bakar sambal jeruk, dan segala rupa masakan rumahan Indonesia lainnya, itulah sumber kesehatan jiwa kita. Dan lupakanlah segala makanan cepat saji dan junk food lainnya, sebab itu semua mengandung kadar lemak dan gula tinggi, namun sangat rendah nutrisi yang berdampak negatif pada kesehatan emosional.
Gaya Hidup Sehat
- Tidur berkualitas dan cukup, sebab kurang tidur berdampak besar pada kesehatan mental, di antaranya: mudah tersinggung, stres, serangan rasa cemas, resiko depresi meningkat, paranoia, gelisah, dan putus asa.
- Rutin minum rerempahan yang bisa meredakan depresi yakni kapulaga, cengkih, jahe, serai, safron, dan kunyit. Jika bunga safron dianggap terlalu mahal, maka rempah lainnya bisa dijangkau dengan mudah dan murah. Khasiat akan meningkat bila ditambah dengan madu dan atau gula merah yang juga memiliki kandungan anti depresan. Cara terbaik untuk mengolah minuman rempah adalah dengan merebusnya menggunakan air matang, lalu dipanaskan dengan api kecil hingga sekitar 80-90 derajat. Matikan api dan jangan tunggu mendidih. Tutup panci rapat-rapat, lalu biarkan sekitar setengah jam.
- Melakukan kebaikan, sebab studi membuktikan bahwa berbuat baik bagi mahluk lain bisa memicu hormon kebahagiaan dan menimbulkan rasa puas.
- Punya seseorang atau sesuatu yang disayang. Bisa sahabat, adik, tanaman, atau hewan peliharaan.
- Melakukan hobi, apapun itu, sebab ini adalah bagian dari relaksasi. Bahkan merawat tubuh dengan cara memakai lulur, krimbat, dan mandi rempah secara rutin saja sudah termasuk hobi yang membuat tubuh dan batin rileks.
Praktek Pertama
- Duduk tegak di depan meja tulis hingga tulang belakang menegang.
- Angkat kedua tangan ke atas kepala, lalu tarik napas hingga 5 kali.
- Turunkan tangan, katupkan di dada. Perlahan buka hingga melebar seperti kipas hingga hitungan sepuluh.
- Tarik napas panjang, lalu ambil pena. Tuliskan di kertas bagian tubuh yang kerap sakit/tidak nyaman. Setelahnya tutup dengan kalimat,”Terima kasih, ya, Tuhanku, karena aku sudah sembuh.”
Lakukan sesering mungkin.
Praktek Kedua
Tulis dengan jujur tentang diri anda, baik yang baik maupun yang buruk. Lalu renungkanlah. Hal-hal buruk apa saja yang perlu diubah menjadi baik? Setelah selesai, tulis dalam huruf besar kalimat ini untuk memotivasi diri:
Lakukan sesering mungkin.
AKU TELAH LAHIR KEMBALI MENJADI MANUSIA YANG LEBIH BAIK
‘Aku’ sudah lebih bugar dan girang sekarang…. Dan kini ‘Aku’ siap untuk menata -bila perlu merombak- dirinya untuk menjadi lebih baik. Mari kita ambil waktu sejenak bersama ‘Aku’ masing-masing. Ajak tubuh untuk bersikap rileks. Atur napas agar menjadi lebih tenang. Mata boleh dipejamkan. Pikirkan tentang diri sendiri. Terbukalah. Jujurlah. Tengok diri ini dengan cermat. Hal baik apa yang ada dalam diri? Hal buruk apa yang perlu diubah untuk menjadi lebih baik? Gunakan tiga formula ini:
- Aku pikir.
- Aku rasa.
- Aku harap.
Aku pikir, aku rasa, aku harap adalah alat terbaik untuk memotivasi diri. Pikirkan, tuliskan, dan ulang sebanyak mungkin dalam sehari.
Praktek Ketiga:
- Menulis dengan tiga formula di atas. Sebanyak mungkin.
- Media praktek: pulpen, kertas, dan alat warna (jika dirasa perlu untuk menambah elemen tulisan).
- Saling membacakan tulisan masing-masing. Saling memberi komentar yang menguatkan.
Untuk PR di rumah:
- Setiap hari membuat tulisan (boleh panjang, pendek, sederhana, kompleks, dan lainnya) dengan formula ‘Aku pikir, aku harap, aku rasa’ setelah menerapkan praktek pertama dan kedua.
- Setiap hari menerapkan hal-hal untuk membantu si ‘Aku’ menjadi lebih sadar dan bahagia, dengan cara-cara yang telah dibahas sebelumnya. Bila perlu, buat evaluasi harian.
Catatan: menulislah dengan tangan, bukan dengan laptop atau alat lain. Dan gunakan huruf kursif (miring bersambung). Mengapa? Karena:
- Tulisan tangan meningkatkan motorik syaraf-syaraf pergelangan tangan.
- Getaran mata pena saat digerakkan akan merangsang keseimbangan kerja otak kiri dan kanan. Akibatnya memori menjadi aktif, sehingga kita menjadi rileks, kreatif, dan produktif (Dr. Katya Feder, University of Ottawa School of Rehabilitation). Saat tangan menggoreskan huruf di atas kertas, mata pena bergetar sehingga peredaran darah penulis menjadi lancar. Ketegangan jiwapun berangsur menurun oleh kata-kata yang tertuang di atas kertas.
- Menulis kursif sangat baik bagi korban trauma maupun anak-anak. Sebab menulis kursif menghasilkan gerakan tangan halus dan lembut yang memerlukan ketekunan. Dampaknya, penulis bisa berpikir tenang dan penuh pertimbangan.
Bagian Kedua: Makna Kata-kata
Mengapa kata begitu bermakna? Karena kata adalah alat penyampai pikiran dan rasa. Itu sebabnya tiap kata yang ditulis atau diucapkan harus mengandung kekuatan, sasaran, dan hasil. Banyak hal baik yang bisa diperoleh oleh kata-kata yang manis, lembut, penuh semangat, santun, dan sedap didengar yang tulus dari hati terdalam. Sebaliknya, betapa banyak dan dalam konflik, sakit hati, dendam, amarah, kecewa, luka, trauma, dan batin yang musti menanggung lara karena kejinya kata-kata.
Itulah dasar bagi Prof. Dr. James Pennebaker sejak tahun 1980-an menggunakan kata sebagai terapi bagi pasien penyakit kejiwaan. Dalam hal ini, perempuan menggunakan 20 ribu kata-kata per hari, sedangkan pria hanya sepertiganya. Namun itu tidak berarti perempuan menjadi bebas stres, karena perempuan berkata-kata lebih untuk curhat. Ngoceh tak beraturan semata untuk kesenangan. Padahal kata-kata yang efektif harus mengandung dua unsur: keuntungan dan kesenangan. Berdasarkan inilah perlu bagi kita untuk sedikit belajar tentang kata-kata, sebab menulis itu sendiri adalah untaian kata. Memahami kata, adalah dasar untuk menulis yang membebaskan jiwa.
Kata dalam bahasa Indonesia dikelompokkan menjadi kata kerja (verba), kata benda (nomina), kata ganti (pronomina), kata bilangan (numeralis), kata sifat (ajektiva), dan kata keterangan (adverbia).
Yang paling banyak digunakan untuk terapi adalah kelompok ajektiva dan adverbia. Kelompok lainya bersifat menyertai dan melengkapi. Sedangkan kata sifat efektif sebagai alat terapi karena mengandung elemen ekspresif yang kuat. Contoh: “Ingin tahu seperti apa tajamnya sembilu? Seperti kata-katamu yang menyakitiku.” Kalimat bersifat naratif (cerita) dengan kalimat tertata. Bila sebagai curahan hati murni bisa menjadi begini: “Asal lo tau, kata-kata lo benar-benar nyakitin seperti sembilu.”
Pertanyaan penting yang kerap diajukan di sini adalah: perlukah kaidah dan tata bahasa? Untuk menulis ekspresif dengan tujuan terapi, kita punya hak untuk mengabaikan tata bahasa sama sekali. Titik, koma, titik koma, huruf besar kecil, penulisan ‘di’ disambung atau dipisah, dan sebagainya, lupakan saja. Tujuan expressive writing adalah untuk pembebasan jiwa, maka lakukan sesuai yang kau perlu atau suka. Hanya saja disarankan tulisan berbentuk narasi atau mengalir seperti bercerita.
Segala ‘sampah’ yang ada dalam hidup bisa ‘dialirkan’ di sana. Tulisan dalam terapi bentuk ini tidak harus dibagikan pada orang lain bila merasa tidak nyaman. Lakukan 15-20 menit secara rutin tiap hari. Waktunya terasa kurang? Baik, tambahkan 30 menit. Atau selama disuka. Belum mampu menumpahkan ‘sampah di hati’ dalam bentuk tulisan? Usah gundah, Kawanku. Rekam saja suaramu. Lalu dengarkan, dan pindahkan sedikit demi sedikit dalam bentuk tulisan.
Praktek Pertama
Tuliskan kata yang membuat Anda pedih, perih karena kerinduan yang mendalam, sakit, terluka, marah, dan lainnya. Apapun yang membuat Anda tidak nyaman. Setelah itu, silakan merangkai kata menjadi kalimat. Tulislah terus sampai tuntas segala emosi yang rasakan mengenai kata tersebut. Kata tersebut boleh nama tempat, nama orang, kata kerja, kata benda, kata sifat, dan seterusnya. Jangan tahan emosi. Jika ingin menangis, menangislah. Jangan tahan amarah Anda dalam tulisan. Ungkapkan semua sampai lepas. Sampai anda lega dan puas.
Praktek Kedua
Ekspresikan perasaan dan emosi saat bergejolak dengan kata apapun yang Anda rasa tepat, bahkan jika harus mengumpat-umpat. Menulislah secara bebas, keluarkan semuanya. Setelah selesai, baca dan renungkan. Jika ingin menangis, menangislah. Legakah? Jika ya, lenyapkan apa yang telah Anda tulis. Boleh dirobek, boleh dibakar. Lalu tersenyumlah. Jika belum lega, tulis lagi perasaan Anda, dan ulang seluruh prosesnya hingga merasa lega dan bersih seperti awan yang cerah namun teduh.
Yuanita Maya
*Pegiat Komunitas Literasi Gula Kelapa
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024