4 Oktober 2024

Urgensi Kasus Pembunuhan Perempuan dan Transpuan di Indonesia

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingginya kasus pembunuhan terhadap perempuan dan transpuan termasuk ketidaksetaraan gender, diskriminasi, stereotip gender, dan kurangnya perlindungan hukum Beberapa kasus pembunuhan terhadap perempuan dan transpuan dapat dianggap sebagai kekerasan berbasis gender, yang mencakup pembunuhan yang terjadi karena seseorang adalah perempuan atau transpuan.
0Shares

Pembunuhan Perempuan dan Transpuan

Kasus pembunuhan terhadap perempuan dan transgender (transpuan) merupakan masalah serius yang memerlukan perhatian dan tindakan bersama untuk mencegahnya. Keadaan ini dapat terjadi dalam berbagai konteks dan memiliki beragam penyebab, termasuk ketidaksetaraan gender, diskriminasi, ketidakamanan, dan masalah-masalah sosial lainnya. Beberapa poin yang mungkin relevan untuk dipertimbangkan ketika membicarakan kasus pembunuhan terhadap perempuan dan transpuan melibatkan:

Faktor-faktor yang Mempengaruhi: Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingginya kasus pembunuhan terhadap perempuan dan transpuan termasuk ketidaksetaraan gender, diskriminasi, stereotip gender, dan kurangnya perlindungan hukum

Kasus Pembunuhan Berbasis Gender: Beberapa kasus pembunuhan terhadap perempuan dan transpuan dapat dianggap sebagai kekerasan berbasis gender, yang mencakup pembunuhan yang terjadi karena seseorang adalah perempuan atau transpuan.

Perlindungan Hukum: Penting untuk memastikan adanya perlindungan hukum yang memadai untuk perempuan dan transpuan. Ini mencakup hukum yang melibatkan kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan bentuk-bentuk kekerasan gender lainnya.

Kesadaran dan Pendidikan Masyarakat: Pendidikan masyarakat tentang hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan penolakan terhadap kekerasan merupakan langkah penting untuk mengubah sikap dan perilaku yang merugikan.

Pengawasan dan Penegakan Hukum: Sistem pengawasan dan penegakan hukum yang efektif dapat membantu mencegah dan menanggapi kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan dan transpuan dengan cepat dan adil.

Dukungan untuk Korban dan Keluarga: Penting untuk menyediakan dukungan psikososial dan layanan bagi korban dan keluarga mereka. Ini termasuk akses terhadap konseling, dukungan hukum, dan bantuan lainnya.

Advokasi dan Kampanye: Organisasi-organisasi non-pemerintah dan aktivis dapat memainkan peran penting dalam advokasi dan kampanye untuk meningkatkan kesadaran, mendorong perubahan kebijakan, dan memperkuat perlindungan bagi perempuan dan transpuan.

.

Penting untuk mencatat bahwa setiap kasus pembunuhan adalah unik, dan tanggapan terhadap masalah ini harus memperhitungkan konteks lokal dan faktor-faktor khusus yang terlibat dalam setiap insiden.

Laporan analisa pemberitaan online dari Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta menemukan bahwa terjadi sebanyak 256 kasus pembunuhan perempuan di Indonesia pada tahun 2021, dengan total korban 289 jiwa perempuan dan total pelaku 309 orang.

Di antaranya, ditemukan 217 kasus femisida, 17 kasus pembunuhan akibat tindak kriminal, 4 kasus pembunuhan transpuan, dan 18 kasus pembunuhan bayi, balita, dan anak perempuan. Sebesar 49 persen dari total kasus dilakukan di area rumah, dan 37 persen dari korban yang dapat diidentifikasikan memiliki hubungan intim dengan pelaku.

Femisida adalah pembunuhan perempuan yang menekankan adanya elemen ketidaksetaraan gender, penaklukan, opresi, dan kekerasan sistematis terhadap perempuan, termasuk transpuan. Kasus femisida termasuk baik yang terjadi dalam ranah personal, seperti hubungan keluarga dan intim/romantis, maupun ranah publik, seperti di tempat kerja. Femisida memiliki dimensi yang berbeda dengan pembunuhan ‘biasa’, karena memiliki unsur kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS) serta penindasan terhadap perempuan yang terjadi secara masif.

Kasus femisida paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur, dengan masing-masing 35 kasus. Provinsi Jawa Barat menempati peringkat ketiga (29 kasus), sementara Provinsi Sulawesi Utara (19 kasus) dan Provinsi Aceh (16 kasus) duduk di peringkat ke-empat dan ke-lima.

“Hal unik terjadi ketika kami mengkalkulasikan kontribusi kasus pembunuhan perempuan di suatu daerah dengan tingkat kerentanan per 100.000 perempuan di daerah tersebut,” ujar Fatima Gita Elhasni, Research Officer Jakarta Feminist. “Tingkat kerentanan perempuan menjadi lebih tinggi di daerah-daerah yang jumlah kasusnya lebih rendah, seperti Sulawesi Utara dan Aceh dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur.” Dalam kata lain, perempuan lebih rentan atas pembunuhan di wilayah-wilayah tersebut. “Ini bisa kita tanyakan kembali, apakah ada konteks lokal di dimensi sosial-kultural pada daerah tersebut yang mempengaruhi perbedaan angka ini?”

Melihat femisida ini dari perspektif transpuan, Khanza Vinaa dari Sanggar Swara menyayangkan sedikitnya pemberitaan media untuk kasus pembunuhan perempuan transgender. Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena letak geografis peristiwanya hingga adanya anggapan bahwa peristiwa tersebut tidak penting. “Kerap kali bahkan ada anggapan bahwa kelompok trans pantas dibunuh karena dianggap menyimpang,” Khanza tekankan. 

“Ketika para korban ini meninggal, kita berpikir bahwa haknya sudah selesai,” jelas Siti Aminah Tardi selaku Komisioner Komnas Perempuan. “Padahal, mereka juga masih memiliki hak atas keadilan, kebenaran, dan pemulihan baik untuk korban maupun keluarga dan relasi yang ditinggalkan.”

Diskriminasi dan kekerasan terhadap transpuan terus berlanjut di masa pandemi COVID-19. Setelah kasus Mira yang dibakar atas tuduhan mencuri (4 April 2020) beredar video prank oleh Ferdian Paleka yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Di masa normal, transpuan mengalami berbagai diskriminasi, persekusi dan kekerasan yang membatasi ruang-ruang hidupnya. Di masa pandemi COVID-19 dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Tanah Air, ruang-ruang hidup mereka yang sempit itu, semakin sempit.

Angka kekerasan terhadap transpuan meningkat dari tahun ke tahun dimana pada tahun 2018 tercatat 5 kasus pembunuhan terhadap transpuan dan sepanjang tahun 2019 sebanyak 6 transpuan dibunuh (Arus Pelangi 2019). Pada 2019 terdapat 45 perda diskriminatif terhadap transpuan (GWL INA, 2019). Data ini menggambarkan bahwa transpuan tak memiliki hak hidup dan bebas dari perlakuan diskriminatif. 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan praktik-praktik diskriminasi yang terus dialami oleh kelompok transpuan dan mengingatkan agar seluruh pihak menghormati, memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM) dan memberikan perlindungan yang setara kepada transpuan, termasuk penghapusan kekerasan terhadap transpuan.

Komnas Perempuan mengingatkan kembali bahwa Konstitusi Republik Indonesia telah menjamin perlindungan dan pemenuhan HAM dalam satu bab khusus tentang HAM yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Terkait dengan hak transpuan, UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” (Pasal; 28A). Pasal 28I menyatakan bahwa “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Selain hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945, Indonesia juga telah mengesahkan Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Pengesahan konvensi tersebut mewajibkan Negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi terhadap transpuan. Masuknya transpuan dalam lingkup pelaksanaan Konvensi ini ditegaskan dalam rekomendasi Komite CEDAW PBB No.28 yang mengakui bahwa “diskriminasi perempuan berdasarkan jenis kelamin dan gender terkait erat dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perempuan, seperti ras, etnis, agama atau kepercayaan, kesehatan, status, usia, kelas, kasta, dan orientasi seksual serta identitas gender.” Dengan demikian, kelompok transpuan berhak atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasinya dalam perundang-undangan maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

Komnas Perempuan mencatat bahwa kelompok transpuan adalah kelompok yang paling rentan mendapatkan diskriminasi dan kekerasan, karena masyarakat lebih mudah mengidentifikasi kelompok transpuan dari ekspresi gendernya dan orientasi seksualnya yang dilegitimasi dengan ajaran-ajaran agama menurut tafsir mereka. Bentuk-bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap transpuan diantaranya adalah: (i) Pengusiran transpuan dari rumah, atau komunitas sekitarnya; (ii) Sulit dalam akses administrasi kependudukan, baik dalam birokrasi kepengurusannya maupun pilihan gender mereka; (iii) Stereotype bahwa transpuan adalah sampah masyarakat dan penyakit sosial; (iv) Perundungan (bullying) dengan menjuluki mereka dengan olok-olok yang berkonotasi melecehkan seperti “bencong” atau “banci”.  Kondisi tersebut menyebabkan ruang hidup untuk berkembang mencapai kehidupan yang layak menjadi sangat menjadi sempit, sehingga mengalami pemiskinan yang pada akhirnya berujung dengan kehidupan jalanan. Dalam situasi pandemic COVID-19 ruang hidup transpuan bukan hanya semakin sempit tetapi kualitas hidup mereka sebagai bagian dari kelompok rentan juga menurun.

Komnas Perempuan menilai konten video prank dengan menjadikan transpuan sebagai sasaran olok-olok adalah bentuk kekerasan psikis terhadap mereka sekaligus diskriminasi. Prank tersebut juga tidak menunjukkan empati sekaligus memanfaatkan kebutuhan situasi dan kondisi kelompok rentan yang membutuhkan bantuan sosial untuk mempertahankan hidup. Rasa keadilan masyarakat terusik oleh konten video prank tersebut.

Sekarang, mari kita lihat kasus-kasus yang muncul mencuat di media massa seperti seorang transpuan berinisial AS (31) yang dibunuh oleh 3 remaja berinisial MNF, MA dan HR di Salon Hengky, Kabupaten BangkalanMadura. Dalam kronologisnya MA berperan memancing korban untuk melakukan asusila kemudian mengangkat korban ke kamar mandi dan mengambil 1 unit handphone merek Realme type C-15 berwarna silver milik korban.

MNF berperan memukul korban dengan menggunakan balok kayu, mengangkat korban ke kamar mandi, mengikat leher korban menggunakan selang warna biru.

MNF juga mengambil uang sebesar Rp 122.000, 1 set audio, dan 1 unit sepeda motor Honda Vario warna merah nomor polisi L-4358-TX.

Di Tangerang Seorang pria berinisial W (24) membunuh transpuan berinisial RM (33) di wilayah Mauk, Kabupaten Tangerang. Pelaku kemudian membakar jasad korban dan membuangnya di pinggir empang. Korban mengalami luka bakar yang sangat serius, hampir 100 persen, karena tinggal sisa kulit-kulit yang memang sudah gosong.

Di Bekasi Seorang transpuan di Kecamatan Karangbahagia, Cikarang Utara, ditemukan tewas membusuk di salon miliknya. Polisi memastikan korban tewas dibunuh.


Kapolres Metro Bekasi Kombes Gidion mengatakan korban tewas akibat kekerasan yang ditandai dengan luka di kepala. Adapun luka tersebut disebabkan oleh benda tumpul.

Tentu kita tidak lupa juga pada apa yang menimpa Mira. Mira, mari kita ingat baik-baik nama ini. Ia seorang transpuan 42 tahun. Sabtu pagi (4/4/2020), ia dibakar hidup-hidup di Cilincing, Jakarta Utara, oleh sekelompok preman yang menuduhnya mencuri.

Mira dibunuh setelah seorang sopir truk yang sedang parkir di dekat rumahnya mencurigainya mencuri ponsel dan dompet milik si sopir. Menurut Yuni Irawan, teman Mira dan aktivis di lembaga advokasi transgender Yayasan Srikandi Sejati, yang menuturkan kronologi pembunuhan ini, si sopir kemudian menggeledah kos Mira sementara penghuninya tak ada di tempat.

Karena tak menemukan barang yang ia cari, si sopir kemudian pergi. Berselang beberapa waktu, datang lima preman mendatangi Mira di suatu tempat. Yuni menduga, para preman itu suruhan si sopir truk.

“Pas si sopir truknya pulang, mungkin si sopir ini nyuruh preman di situ suruh jemput si Mira. Datanglah preman-preman itu jemput si Mira. Lima orang. Karena si Mira enggak merasa ngambil dia ngikut aja. Dia dijemput paksa,” tutur Yuni, dilansir dari Kompas.

Dari keterangan Orin, teman Mira yang Bersama korban saat kejadian, ada tujuh preman yang datang. Mereka kemudian memukulinya agar mengaku, namun Mira tetap mengatakan dia tak mencuri dompet dan ponsel itu. “Tetap [Mira] enggak mau mengaku setelah digebukin tujuh orang preman itu,” ujar Yuni kepada Tribunnews.

Menurut Orin, para preman ini bekerja sebagai security tak resmi di area setempat. Setelah pukulan tak berhasil membuat Mira mengaku, mungkin karena Mira memang tak melakukannya, dua preman mengancam.

“[Salah satu anggota preman] nanya Mira, ‘Mau ngaku enggak? Kalau enggak gue bakar lo’,” kata Orin saat diwawancarai The Jakarta Post.

Satu preman lainnya kemudian menyiramkan dua liter solar dan bensin ke tubuh Mira dan menyulut korek ke tubuh korban. Dalam kondisi terbakar, Mira sempat lari ke kosnya, kemudian dibawa warga ke RSUD Koja di Jakarta Utara. Namun, ia akhirnya meninggal Minggu (5/3/2020), sekitar pukul 12 siang.

Data Rilis Arus Pelangi

  1. Penganiayaan: Tercatat adanya 35 tindakan yang terindikasi sebagai penganiayaan. Pelaku adalah masyarakat sipil dalam perannya melakukan main hakim sendiri atau eigenrichting. Dalam kasus yang tercatat, tidak ada penyelesaian yang berkeadilan bagi korban. Hampir keseluruhan dari kasus ini merupakan penganiayaan berat yang dapat mengakibatkan kematian.
  2. Pencabulan: Tindakan persekusi yang menyasar kepada LGBTI tidak pernah terselesaikan dengan baikwalaupun dalam KUHP tercantum pencabulan pada pasal 28. Pencabulan yang terindikasi terjadi karena orientasi seksual misalnya pada LBQ, seringkali tidak terlaporkan karena di kepolisisan mendapat perlakuan diskriminatif dari aparat penegak hukum.
  3. Penyebaran data pribadi: Walaupun sudah diakomodasi melalui UU ITE pasal 26, terdapat sedikitnya 16 kasus penyebaran data pribadi yang ditujukan mempermalukan, merendahkan, dan merusak tatanan hidup individu LGBTI terutama haknya untuk hidup aman dan bebas dari ancaman.
  4. Pengrusakan barang: Walaupun dalam KUHP, pengrusakan barang dipidana pasal 406, pelaku pengrusakan barang milik KLBGTI tidak terjerat pasal pidana ini.
  5. Penangkapan: Tercatat sebanyak 23 penangkapan oleh aparat penegak hukum tanpa bukti yang tidak sesuai dengan apa yang ada pada KUHAP pasal 17 yakni: “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. Dan masih banyak lagi, seperti: penahanan, pemerasan, penyiksaan, penggerebekan, hambatan izin acara, pembubaran acara, perkosaan, pembunuhan, upaya korektif, intimidasi, pegusiran, dan pemecatan sepihak.

Pembunuhan terhadap perempuan juga marak terjadi, seperti seorang perempuan berinisial FD (44) ditusuk dan digorok hingga tewas di Lobby Mall Central Park oleh seorang pemuda AH (26). Lalu, baru-baru ini Polisi mengungkap kasus pembunuhan seorang perempuan berinisial A (18) yang jasadnya ditemukan di perairan sungai Citarum, Kampung Sukamanah, Desa Pangauban, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat. Dari hasil pemeriksaan, polisi menemukan fakta, korban dibunuh pelaku bernama Ilham Asmaul Hasan (24) dengan dalih ingin menguasai harta benda milik korban.

Di Surabaya, Dini Sera Afrianti, wanita asal Jawa Barat meninggal dunia setelah diduga mengalami penganiayaan dari kekasihnya Ronald yang merupakan anak anggota DPR dari Fraksi PKB, Gregorius Ronald Tannur. Dini yang mendapat undangan party di room VIP Blackhole KTV Club Surabaya sempat cek cok hingga berujung penganiayaan. Diduga mendapat beberapa kali tendangan dari Ronald sehingga mengalami memar di paha.

Penganiayaan berlanjut hingga di luar room. Saat menuju parkiran basement Lenmarc Mall, Andin disebut sempat ditendang Ronald hingga tersungkur di tangga.Setibanya di parkiran basement Lenmarc Mall, diduga penganiayaan berlanjut. Dalam foto yang diterima nampak ada luka bekas terseret dan luka memar dari jejak terlindas ban mobil. Dalam kondisi kritis tak berdaya, tubuh Andin dibiarkan tergeletak begitu saja di lantai basement parkiran mobil Lenmarc Mall.

Di Batam, Kerangka wanita bernama Fitriani ditemukan di Kelurahan Setokok, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), motif pelaku tega menghabisi nyawa Fitriani. Kepada polisi, pelaku mengaku bahwa korban tengah hamil. Pelaku sendiri telah memiliki istri.

Di Bogor,Selasa (12/12/2023) seorang perempuan dibunuh oleh mantannya sendiri di sebuah Apartemen.

Di Tasikmalaya, seorang perempuan berinisial WW (19) menjadi korban pembunuhan berencana oleh pacarnya sendiri, Hedis Permana atau HP (20). Berdasarkan hasil penyelidikan polisi, beberapa hari sebelum kejadian korban berkomunikasi dengan pacarnya, HP. Kepada pacarnya itu, korban yang merupakan seorang karyawan swasta menyampaikan kondisinya yang sudah sudah dua bulan tidak menstruasi. Pasangan kekasih itu kemudian sepakat bertemu di salah satu kampus wilayah Kabupaten Tasikmalaya, yang merupakan kampus tempat HP kuliah. Pada Rabu, korban mendatangi kampus pacarnya. Setelah bertemu, pasangan kekasih itu pergi berboncengan menggunakan motor korban.Setelah menemui tempat sepi, tersangka menghentikan motor yang dibawanya, tepatnya di sebuah kebun milik warga wilayah Desa Puteran, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya. Sesampainya di TKP, keduanya berbicara dan terjadi cekcok.

Menurut Zainal, tersangka kemudian melayangkan pukulan dengan tangan kosong kepada korban sebanyak dua kali. Tersangka kemudian menarik tangan korban, sehingga korban terjatuh. Setelah itu, tersangka mengeluarkan pisau dari tasnya dan menusukkannya ke bagian rusuk korban. Tersangka menusuk sebanyak tiga kali di sekitar leher korban.

Tidak kah kita lelah dengan teramat banyaknya kasus femisida baik bagi perempuan secara lahiriah maupun perempuan sosial. Kita pastinya tidak mau kecolongan dan dapat kita sepakati bersama bahwa langkah pencegahan merupakan hal yang paling urgen di sini.

Pencegahan femisida memerlukan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif dari semua pihak terkait. Hanya dengan upaya bersama, kita dapat menciptakan masyarakat yang aman dan setara bagi semua individu, tanpa memandang jenis kelamin.

Mungkin beberapa hal berikut dapat menjadi solusi untuk pencegahan femisida:

Perubahan Budaya dan Sikap: Pendidikan masyarakat untuk mengubah budaya dan sikap yang merendahkan perempuan sangat penting. Ini termasuk mengatasi stereotip gender dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesetaraan.

Penguatan Hukum dan Penegakan Hukum: Peningkatan perlindungan hukum untuk perempuan dan penegakan hukum yang efektif adalah kunci dalam pencegahan femisida. Keadilan harus diutamakan dalam menanggapi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

Pendampingan dan Dukungan Korban: Membangun sistem dukungan yang efektif bagi korban kekerasan gender, termasuk femisida, adalah langkah penting. Ini mencakup akses terhadap konseling, bantuan hukum, dan tempat perlindungan bagi korban.

Pelibatan Masyarakat: Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam pencegahan femisida. Ini mencakup kampanye kesadaran, pelibatan pria dan anak laki-laki sebagai sekutu dalam kesetaraan gender, dan pembentukan komunitas yang mendukung.

Pelatihan bagi Petugas Penegak Hukum: Memastikan petugas penegak hukum dilatih untuk mengidentifikasi dan menanggapi kekerasan gender dengan serius.

Pendidikan Seksual yang Holistik: Pendidikan seksual yang mencakup aspek-aspek kesetaraan, penghargaan terhadap keberagaman, dan mengajarkan tentang batasan-batasan pribadi adalah langkah penting.

Kerjasama Internasional: Isu femisida juga perlu diatasi melalui kerjasama internasional untuk bertukar pengalaman, mendukung inisiatif global, dan memastikan keadilan lintas batas.

*)MJ

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai