Menjadi Jurnalis Perempuan Memiliki Kerentanan Yang Lebih Besar?
Menjadi jurnalis menjadi mimpi sebagian orang, termasuk juga perempuan. Akan tetapi setelah melalui banyak FGD, short courses, kelas-kelas jurnalisme hingga keamanan holistik jurnalis, banyak sekali kerentanan yang sangat mungkin dan tellah terjadi terhadap jurnalis. Sayangnya lagi, yang paling rentan di sini adalah jurnalis perempuan.
Berdasar hasil perbincangan kami bersama Siti Rubaidah yang juga merupakan jurnalis perempuan, kami kemudian menguraikan hal-hal berikut:
Indonesia sudah lama meratifikasi peghapusan diskriminasi terhadap perempuan pada tanggal 24 Juli 1984 melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 yaitu tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Bahkan UU TPKS disahkan, untuk memberikan landasan hukum untuk tindak pidana kekerasan seksual, namun masih banyak sekali tantangan dan hambatan untuk mencapai tujuan tersebut dalam implementasinya di lapangan.
Tradisi feodal dan budaya patriarki kita ketahui masih kuat di Indonesia. Pandangan misoginis sering kali diperkuat oleh tradisi budaya dan interpretasi agama. Artinya adalah, Tuhan telah menjadikan manusia semuanya setara, akan tetapi beberapa interpretasi yang bersifat maskulin menjadikan perempuan tidak setara.
Budaya patriarki merupakan struktur sosial yang mengutamakan laki-laki terlebih dahulu di atas apapun itu. Dan memandang perempuan sebagai kelas dua atau lebih.
Perempuan dianggap kelas dua dan tidak dianggap sebagai subyek yang sama penting. Faktanya, masih banyak masyarakat yang memandang perempuan sebagai properti. Perempuan dianggap seakan bukan manusia atau setengah manusia karena dianggap sebagai harta benda atau kita kenal sebagai objektifikasi perempuan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Terdapat relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan yang pada akhirnya mempengaruhi penggunaan kekerasan terhadap perempuan. Ini bertentangan dengan budaya modern yang mengakui konsep kesetaraan gender dan memandang martabat manusia setara.
Masyarakat konservatif masih meminggirkan perempuan dan menjinakkan mereka bahkan di ranah privat dan juga di ranah profesional. Itu sebabnya kita sering mendengar bahwa perempuan tidak memerlukan pendidikan tinggi karena pekerjaannya hanya di tempat tidur, di dapur, atau di sumur. Oleh karena itu, perempuan selalu bekerja di dalam rumah tangga dan bertanggung jawab penuh atas pekerjaan rumah tangga. Karenanya juga, dianggap tabu dan berbahaya bagi perempuan untuk bekerja di tempat umum, termasuk menjadi jurnalis perempuan.
Kerentanan jurnalis perempuan muncul karena jurnalis berusaha mengungkap fakta dan kebenaran yang seringkali bertentangan dengan kepentingan status quo. Di sini, status quo dapat diartikan sebagai kekuasaan dan maskulinitas. Dalam mengungkap fakta dan kebenaran tersebut, aktivitas jurnalis perempuan dinilai berbahaya dan destruktif karena meremehkan kepentingan status quo laki-laki.
Jurnalis perempuan masih sering mengalami berbagai bentuk kekerasan dalam pekerjaannya, baik kekerasan verbal, fisik, dan seksual. Dalam pelatihan bersama teman-teman jurnalis, mereka mengatakan bahwa banyak jurnalis perempuan yang pernah mengalami terorisme, intimidasi, bahkan pengungkapan informasi pribadi. Selain itu, beberapa orang mengalami pelecehan seksual.
Sebagai jurnalis online yang mengelola situs Suluh Perempuan, situs Suluh Perempuan telah menjadi korban beberapa serangan siber saat menulis tentang topik sensitif.
Seberapa pentingkah perempuan menjadi jurnalis? Penting sekali! karena hanya perempuanlah yang bisa memahami hak dan kepentingan perempuan. Oleh karena itu, ketika ada jurnalis perempuan, maka dialah yang nantinya akan menyuarakan hak dan kepentingan perempuan.
Meski begitu, sejarah nama perempuan masih minim di belahan “dunia” ini. Hal ini terjadi karena ada upaya untuk menghapus nama-nama perempuan dalam sejarah, atau karena tidak ada seorang pun yang memahami peran perempuan dalam sejarah. Menurut saya, salah satu tugas seorang jurnalis adalah mengungkap fakta dan kebenaran tersebut.
Dasar apa yang digunakan jurnalis ketika melaporkan peristiwa tertentu (kekerasan, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan, dan lain-lain)? Apakah jurnalis mengikuti etika jurnalistik, yang merupakan pedoman umum dalam menulis berita? Pedoman ini sangatlah penting dalam mengangkat berita dengan berperspektif gender.
Terdapat pedoman khusus untuk menulis tentang kekerasan terhadap perempuan adalah:
a. Tuliskan inisial atau nama pena korban, bukan nama asli korban.
b. Persetujuan: Pengungkapan informasi oleh jurnalis kepada korban sebelum artikel dipublikasikan.
Ini penting. Karena semua korban berhak mengetahui manfaat dan risiko dari publikasi dan tindakan yang mereka hadapi.
c. Dilarang mempublikasikan foto-foto korban (yang terselubung atau bergambar)
d. Pembuatan sistem prosedur operasi (SOP) untuk menangani insiden kekerasan seksual di media – Pelatihan keamanan komprehensif (verbal, fisik, digital). Untuk jurnalis perempuan – Tersedia layanan konsultasi perusahaan/organisasi/media
Apakah jurnalis perempuan memerlukan perlindungan khusus Jurnalis perempuan berhak mendapatkan perlindungan khusus seperti? Tentunya harus ada perlindungan yang memadai dan jurnalis juga sudah memiliki LBH Pers untuk membantu penanganan kasus.
Pedoman peliputan perempuan dan peliputan ramah anak dapat pula kita akses melalui https://dewanpers.or.id
*)MJ
Terkait
10 Tahun WRI: Transisi Besar untuk Manusia, Alam dan Iklim
Ruang Rasa, Menembus Stigma dan Diskriminasi Transpuan
Tips Mengatur Pola Tidur yang Tepat