Dewi Nova, seorang penulis sekaligus pegiat seni hadir sebagai pembicara kedua dalam launching buku ‘Perempuan Itu Berlawan’ yang diterbitkan oleh Suluh Perempuan. Ia memulai pembicaraan dengan membahas tantangan dan dinamika kepenulisan di era digital.
“Kita hidup pada zaman di mana sosial media yang tampaknya borderless. Bagaimana kemudian kita menyebarkan ide atau perspektif tentang perempuan? Itu tantangannya. Tantangan atau hambatan, ketika orang lebih suka tiktokan daripada ke perpustakaan membaca buku,” ujarnya.
Ia mengutip pernyataan Ibu Musdah Mulia yang menyampaikan bahwa kita bisa mentransformasi tantangan itu sebagai media untuk mempertemukan audiens dengan buku. Menurutnya sebelum era tiktok, tantangan saat itu adalah Instagram (IG) dan Facebook (FB).
“Saya adalah generasi Facebook. Dulu di FB itu masih ada note atau catatan, sehingga kita bisa menulis panjang bahkan kita pun bisa memindahkan satu buah buku ke dalam note di FB itu. Nah, saat itu saya bisa menulis di note FB untuk bisa menyampaikan tulisan yang panjang. Sayangnya, saat ini note di FB sudah ditiadakan.”
Meskipun dunia digital sudah berjaya, namun Denov meyakini bahwa masih banyak orang yang merasa perlu membaca buku, dengan hardcopy (bukan softcopy) karena menganggap itu lebih bermutu. Pada saat itu kerap terdengar istilah penulis puisi Facebook atau penulis puisi buku. Akan tetapi sebetulnya yang tidak disadari ialah bahwa ini adalah sebuah dinamika peradaban, dinamika budaya.
“Buku selalu mempunyai penikmatnya sendiri. Meskipun sekarang era sosial media dan e-book, akan selalu ada orang-orang yang suka berlama-lama di perpustakaan. Selayaknya di ruang yoga, sebagaimana di ruang sholat dan berhikmat. Pembaca menikmati tidak hanya bukunya, menikmati suasananya, dan juga menikmati suatu hal yang lainnya. Ia bisa menikmati, mencium aroma buku dan lain sebagainya.”
Tak dapat dipungkiri bahwa teknologi terus berkembang. Manusia menggunakan teknologi untuk menyebarkan pikiran-pikiran yang ditulis lewat buku. “Walaupun FB sudah menghapus note atau catatan, tapi saya masih menggunakan status FB untuk merujuk pada buku tertentu. Termasuk juga Suluh Perempuan, mempromosikan buku ini di Instagram,” tambahnya.
Baca Juga: Telah Terbit: Perempuan Itu Berlawan
Buku Aksi atau Buku Bertindak
Saat membaca buku Perempuan Itu Berlawan, Denov menemukan nukilan-nukilan kalimat yang menurutnya kuat, yang akan sangat bagus bila dijadikan konten dalam Tik Tok, baik dengan menggunakan suara, dengan musik, yang mana itu bisa menggiringkan orang untuk membaca buku ini.
Buku “Perempuan Itu Berlawan” adalah buku aksi, atau buku bertindak. Baik sebelum menjadi buku, maupun sesudah menjadi buku. Kenapa ia menyebut sebagai buku aksi atau buku bertindak?
“Karena kalau kita baca beberapa tulisan di buku ini, sebetulnya menuliskan memori, yang genre-nya memoar, Penulis menuliskan bagaimana ketika dia mendampingi sesama perempuan yang mengalami kekerasan. Artinya sebelum dia menuliskannya, itu sudah ada tindakannya. Tindakan dia bagaimana membersamai korban kekerasan.”
Baca Juga: Sandra Suryadana: Menulis Sebagai Media Melawan
Melawan Catcalling, Toxic Relationship dan Dating Rape
“Kemudian misalnya juga yang ditulis oleh Fen Budiman. Fen menulis beberapa tulisan. Ada tiga yang ditulis disini. Tapi aku sangat tercengang dengan tulisannya yang pendek. Fen menceritakan bagaimana dia melawan Catcalling,” terang Denov.
Menurut Denov, ini adalah aksi, lalu dituliskan. Sesuatu hal yang tidak mudah, saat mendapatkan pelecehan di jalan, lalu perempuan itu berhenti dan nyamperin.
“Itu bukan hal yang mudah buat kita, dan pasti tidak mudah. Pasti tidak mudah juga buat yang didatangin karena dia tidak nyangka bahwa sekarang ada perempuan kayak gitu. Biasanya perempuan kalau di catcalling paling, sebel dan berlalu, padahal itu menjadikan pelaku tuman. Apalagi kita akan selalu melewati jalan yang sama besoknya lagi.”
Selanjutnya, Denov mengupas tulisan Bella Afina tentang pacaran yang toxic.
“Tulisan ini berangkat dari curhatan, dan menurutku curhat pada orang yang terpercaya apalagi sudah mempunyai perspektif feminis, perspektif keadilan sosial secara nyata bukan secara jargon, itu kekuatan yang luar biasa buat para penyintas. Karena bahkan mungkin penyintas butuh menimbang ribuan kali untuk berpikir, memutuskan kepada siapa dia akan mempercayakan atau dia membicarakan masalah yang dia hadapi,” lanjutnya.
Jika sebelumnya Ibu Musdah Mulia menyebutkan tulisan tentang marital rape, yang itu sangat sulit diterima oleh interpretasi agama manapun. Maka yang ditulis Bella Afina adalah tentang dating rape. Menurut Denov, dating rape juga sesuatu yang susah untuk mendapatkan empati atau diterima oleh masyarakat.
Korban dating rape seringkali mendapatkan pertanyaan balik misalnya: ‘Kok bisa terjadi?’, ‘Emang kejadiannya dimana?’, “Di kamar kos pacarmu?’, ‘Kok baru pacaran mau diajak ke kamar kos?’
Denov menceritakan bahwa kasus perkosaan pertama yang ia dampingi adalah dating rape. Dalam kasus itu pengorbanan korban sangat luar biasa, karena waktu dating pertama korban memang setuju, jadi tidak ada masalah. Tapi kemudian yang kedua, yang ketiga, korban tidak mau. Saat akhirnya korban membawa kasusnya ke pengadilan. Hal yang paling ditakutkan korban adalah pacarnya akan menyampaikan bahwa bahwa perempuan yang diperkosa itu sudah tidak perawan.
Kondisi seperti itu yang membuat korban merasa takut dan membuat pelaku merasa arogan di depan polisi dan di depan pengadilan. Denov hanya bisa memberi penguatan kepada korban.
“Terus aku bilang kita hanya bisa berdoa. Kita berdoa, dan kuatkanlah hatimu, fokus kepada hakim. Bicara dengan jelas kepada hakim. Karena ini pertarungan interpretasi di hakim. Dan alhamdulillah dia bisa melalui itu dan pelaku dipenjara dan pelaku tidak mengatakan apa yang dia khawatirkan.”
Dalam kasus dating night, pelaku biasanya adalah suami-suami yang tidak adil ini. Mereka mengira jika perempuan sudah satu kali memberikan persetujuan, maka seluruh hidupnya telah diserahkan kepada suami. Hal ini seringkali dilegitimasi oleh interpretasi agama yang menyebutkan dalil atau hadits-hadits yang mendukungnya. Sehingga seolah ada sebuah kewajiban bagi perempuan dalam konsep pernikahan dan dalam konsep pacaran.
Kita hormat kepada kawan-kawan yang bisa mengungkap isu-isu yang sebetulnya memang masyarakat sekarang itu belum mudah untuk memahami itu sebagai ketidakadilan. Kemudian berani memutus rantai kekerasan, termasuk bagi kawan-kawan yang melakukan pendampingan kepada korban.
Baca Juga: Dewi Nova: Membangun Etika Politik Peduli
Objektifikasi Perempuan
Selanjutnya, Dewi Nova mengutip kalimat di tulisan Andi Sri Wulandani “Mereka melihat saya secara birahi, tidak secara manusiawi.” Kalimat itu adalah pernyataan korban terhadap pendampingnya.
“Jaman aku kecil itu di Sunda ada semacam pujian buat anak kecil cantik, ‘Eh ini mah pige, Pigelisen.’ Apa itu? Calon cantik. Nah itu anak kecil sudah dilihat sebagai calon cantik. Kalau sekarang kita sudah tahu mungkin jijik ya. Dan sebaliknya ketika perempuan-perempuan sudah seumuran saya, sudah menopause sudah tak dianggap cantik lagi. Jadi perempuan itu sama dengan objek birahi, bukan manusia.” ceritanya.
Kalimat kuat lainnya adalah “Buat para penyintas, tidak ada perempuan yang tereduksi karena mengalami kekerasan seksual,” menegaskan bahwa tidak ada sama sekali yang berkurang dari perempuan korban kekerasan seksual. Bahwa yang tidak bermartabat atau berkurang martabatnya adalah mereka yang melakukan kekerasan tersebut.
Sulitnya Mengakses Aborsi Aman
Dewi Nova juga menyoroti tulisan terkait sulitnya perempuan mengakses aborsi aman dan penanganan psikologis pasca aborsi yang diangkat dari tulisan milik Anis Machfudoh.
“Tulisan Anis Machfudoh tentang aborsi aman juga bisa menjadi bahan diskusi. Aku juga malah baru tahu loh kalau kuret itu ternyata sudah tidak dianjurkan oleh WHO. Karena itu membahayakan perempuan. Dan ternyata itu sudah lama tidak dianjurkan oleh WHO, tapi itu masih dipakai di Indonesia. Kemudian, secara perundangan kita sulit untuk mendapatkan aborsi aman. Harus ada penjelasan-penjelasan, alasan kesehatan, alasan karena dia diperkosa dan juga bagaimana membuktikan alasan-alasan itu sehingga prosedur itu diterima,” jabarnya.
Kerumitan kesulitan tersebut berimbas pada terbukanya pintu-pintu penyedia layanan aborsi ilegal yang jelas saja tidak terjamin keamanannya. Dan disini Anis menjelaskan bahwa justru kerumitan prosedur ini yang berkelindan dengan stigma. Betapa buruknya perempuan yang melakukan aborsi ini. Ini menyediakan pintu masuk aborsi-aborsi ilegal yang membahayakan perempuan, keselamatan perempuan. Anis mengingatkan pentingnya pemulihan mental pasca tindakan aborsi.
“Karena walaupun mungkin kalau di gerakan feminis ada pro-life dan pro-choice, tapi di Indonesia ini kita hidup dalam pro-life. Jadi aku juga bertemu dengan kawan-kawan yang udah aborsi, tetep aja setelah itu ada perasaan feeling guilty. Aku tidak menyalahkan perasaan, semua perasaan perempuan benar dan valid. Tapi aku merasa bahwa perasaan itu juga muncul karena lingkungannya tidak memungkinkan buat seorang perempuan untuk berpikir biasa saja, ketika dia melakukan aborsi walaupun itu pilihannya.
Anis Machfudhoh mengingatkan soal tanggung jawab masyarakat dan negara. Tidak hanya menghapuskan stigma kepada perempuan yang memilih aborsi, tapi juga perlunya sistem kesehatan yang tidak rumit, yang memudahkan perempuan untuk mengakses layanan aborsi aman dan layanan pemulihan setelah aborsi itu dilakukan.
Terakhir, Dewi Nova mengutarakan bahwa buku Perempuan Itu Berlawan bisa Keliling Indonesia Raya. Bedah bukunya bisa mengambil berbagai macam aspek diskusi, dari aspek medis, dari aspek psikologi, dari aspek sosiologi, dari interpretasi agama. Kemudian menjadi semacam edukasi publik.
“Itu yang menurutku aksi kedua setelah buku ini lahir, dari aksi demi aksi. Selamat kepada para penulis, ditunggu tulisan selanjutnya,” pungkasnya.
Baca Juga: Kontemplasi Rasa: Menerjemah, Merangkai, Menuai Rasa
Milla Joesoef
Terkait
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024
Meretas Jalan Pendidikan Murah dan Berkualitas