15 Februari 2025

Musdah Mulia: Menulis adalah Kerja Peradaban

0Shares

Jakarta – “Menulis itu adalah kerja peradaban dan sangat tidak mudah. Karena itu, kalau saya itu melihat ada buku yang diterbitkan, diperbincangkan. Itu saya tuh merasa, aduh ada lagi kehidupan. Karena kalau udah gak menulis, itu kehidupan kita udah selesai. Karena satu-satunya yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, itu adalah karena kita menulis. Peradaban itu dimulai dari tulisan bukan dari yang lain. Maka kalau ingin sesuatu itu abadi maka menulislah,” kata Musdah Mulia di acara launching buku berjudul “Perempuan Itu Berlawan” di Liberdade Coffee and Eatery (27/01/2024).

Kenapa Kartini lebih dikenal? Banyak perempuan yang mengalami hal yang sama seperti Kartini. Bedanya, Kartini, menulis sementara tokoh yang sejamannya seperti Dewi Sartika tidak menulis. Kartini menulis dan dia menulis dalam bahasa dunia, dalam bahasa Belanda. Ini benar-benar sebuah capaian yang luar biasa.

Menurutnya, menulis itu tidak gampang, “Pertama karena kita harus mampu melawan ketidakmampuan dalam diri sendiri dulu. Kita harus menaklukkan diri kita bahwa kita mau menulis.” 

Perempuan Dalam Posisi Terpinggirkan

Biasanya ketika perempuan itu menulis, pasti isinya adalah perlawanan. Perlawanan terhadap ketidakadilan. Jarang perempuan menulis hal-hal yang nyaman. Karena pada umumnya perempuan itu selalu berada dalam posisi yang dipinggirkan. Karena, dunia sejak berabad-abad yang lalu itu menempatkan perempuan pada posisi yang subordinat.

Jadi, tulisan perempuan itu biasanya isinya itu adalah kegalauan tentang ketidakadilan, tentang ketidaknyamanan, tentang perlakuan yang membedakan dan sebagainya. Diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan. 

“Buku ini (Perempuan Itu berlawan) sangat menarik karena ini adalah luapan dari pengalaman nyata. Di samping pengalaman nyata, ada pula fiksi. Tetapi tulisan fiksi itu juga muncul dari hal-hal yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Cerita fiksi adalah cara perempuan menyampaikan apa yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat. Sehingga dia terlepas dari stigma.

Permasalahan yang terjadi di masyarakat, biasanya orang yang mengalami kekerasan bukannya ditolong melainkan disikapi dengan sinis. Contohnya adalah ujaran-ujaran “Ya salah kamu sendiri, kenapa mau?”, “Loh, kok kenapa mau?” Padahal tidak semua orang memiliki pilihan. Banyak juga korban kekerasan yang menerima ujaran nyinyir, seperti: ‘Loh kenapa dia mau?’, ‘Kenapa dia nggak lari?’, ‘Kenapa dia nggak melapor?’

Faktanya tak semudah itu melapor ke polisi. “Apakah polisi, kalau kita melapor, dia langsung respon positif ke kita? Jangan-jangan kita disalahin duluan, karena dianggap mencemarkan nama baik.”

Memang susah bicara dengan orang yang tidak mempunyai perspektif tentang kekerasan terhadap perempuan. Sangat tidak mudah diajak bicara. Kita malah akan terjebak pada masalah baru yang lebih besar. Dan itu sangat tidak menolong.

Berlawan Secara Damai

Musdah menyoroti tema berlawan. Menurutnya, kata berlawan itu masih asing dalam masyarakat kita. Masyarakat lebih mengenal kata-kata lawan, melawan, perlawanan. Kata berlawan itu tidak banyak diungkapkan. Tapi sebenarnya seperti kata-kata bekerja, beraktivitas. kata “ber” sebagai awalan itu lebih menunjukkan aktivitas. Jadi, bisa bermakna kegiatan perempuan yang melawan.

“Perempuan mengalami berbagai bentuk dominasi yang terjadi di sekitarnya. Apakah dominasi itu, dominasi itu dari keluarga, maupun dari masyarakat, itu sama aja. Itu tetap harus dilawan. Karena bagi saya, tidak ada kata lain kecuali lawan. Kalau kita melawannya dalam satu kata. Tidak ada senjata yang paling ampuh yang dipunyai oleh perempuan kecuali mata pena,” sambungnya.

Perempuan Itu Berlawan adalah para perempuan yang melawan dalam bentuk tulisan. Jadi perlawanannya dalam bentuk perdamaian, bukan dalam bentuk kekerasan. Karena kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan juga. Itu artinya kita sama dengan pelaku kekerasan itu sendiri. Karena itu, Musdah selalu mengajak melawan dalam cara-cara damai, karena kita benci kekerasan. Melawan dalam bentuk tulisan adalah cara berlawan yang damai. Itulah perlawanan yang paling abadi dalam sejarah manusia. 

Bincang Buku di Media Sosial

Nah disinilah kemudian kita berharap bahwa buku ini, saya pikir buku ini bukan hanya ditulis dalam buku nanti, kemudian ditaruh di buku di perpustakaan nanti. Tapi ini dibincangkan dalam bentuk TikTok,” sarannya.

Menurutnya saat ini masyarakat kita sudah merupakan masyarakat TikTok, masyarakat Podcast. Jadi, ia menyarankan agar isi buku ini dibicarakan, dibuatkan konten di TikTok, dikomunikasikan setiap hari. Sehingga setiap hari akun media sosial membicarakan judul, isu yang ada dalam buku ini. Agar dibicarakan terus menerus sampai kekerasan benar-benar hilang.

Ia berpesan “Karena itu kita betul-betul harus berlawan, jangan diam, enggak boleh kita diam. Saya itu orang yang paling enggak bisa diam, terhadap hal-hal seperti ini.”

Harapannya, buku yang mengangkat tema kekerasan ini dibahas dalam perspektif psikologi. Ada masalah psikologis apa sih, yang terjadi dalam masyarakat kita? Kenapa masyarakat kita membenarkan perlakuan kekerasan. Ini berhubungan dengan masalah mental kejiwaan. Jangan-jangan masyarakat kita, memang mengidap masalah kesehatan mental. Sehingga masalah-masalah kekerasan itu, tidak pernah selesai.

Belajar dari Pengalaman Bangsa Lain

Menurut Musdah, bahwa akar permasalahan kenapa masyarakat kita belum beranjak dari budaya patriarkal kepada budaya egalitarian, salah satunya adalah persoalan kejiwaan, atau kesehatan mental masyarakat. Mengapa persoalan kekerasan tidak hilang-hilang? Padahal, jika melihat beberapa bagian dunia lainnya, dunia maju di barat, kekerasan itu sudah menjadi landasan hukum dalam setiap kerangka undang-undang yang ada.

Musdah mencontohkan pengalamannya saat mendampingi peserta studi banding ke Universitas Lund di Swedia. Ada sekitar 20 orang, waktu itu studi banding sambil belajar HAM di Swedia. Pada dua minggu setelah studi HAM tersebut, salah satu peserta menepuk bokongnya salah satu escort atau instruktur, namanya Kristen. Menerima perlakuan tersebut, Kristen langsung berbalik ke belakang dan langsung menampar pelakunya.

Swedia sangat tegas terhadap tindak kekerasan. Pelaku kekerasan bisa dijatuhi hukuman lima tahun jika korbannya melapor. Jadi, kalau di negara-negara maju itu sudah tidak ada peradilan lagi, begitu orang melaporkan, langsung hukuman itu dijatuhi. Berbeda dengan hukum yang ada di Indonesia. Sekalipun korban sudah melapor baik-baik, polisinya justru yang main-main. Itu karena budaya hukum kita itu belum terbangun dan belum tegas mengatur. Hukum juga belum tegas memberikan perlindungan kepada korban dan memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku. Hukum kita juga belum serius memberikan perhatian terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan.

Pendidikan Seksual Sejak Dini

Selain itu, Swedia juga memberikan pendidikan seksual pada anak-anak sejak kecil. Anak-anak umur empat tahun di sana sudah pintar sekali perihal mana yang boleh disentuh badannya. Diajari oleh orang tuanya, kamu boleh disentuh hanya ketika kamu dibersihkan itu pun hanya oleh ibu bapak kamu. Jadi anak-anak kecil itu juga sudah mengerti. Sejak kecil anak-anak itu sudah bisa mengatakan don’t touch me. Sudah mengerti mana yang boleh, mana yang tidak boleh disentuh.

Sementara di masyarakat kita, pendidikan seksual tak pernah diajarkan karena begitu menyebut pendidikan seksual, langsung pikirannya cabul. Padahal, pendidikan seksual itu adalah sebuah sebuah sistem pendidikan yang di dalamnya ada pendidikan moral, pendidikan anatomi, apa yang boleh disentuh dan tidak boleh disentuh. Pendidikan seksualitas itu mengajarkan apa bedanya belaian sayang dan belaian cabul, sehingga anak-anak sudah mengerti sejak kecil.

Musdah menceritakan pengalaman temennya yang bernama Rosa yang mengajar di sebuah TK di Virginia dia shock, “Saya shock pertama kali mengajar di sebuah TK di Virginia. Waktu saya mengajar di sekolah internasional di Kemang di Jakarta biasanya saya masih mengantar anak-anak itu sampai ke toilet bahkan ada beberapa anak yang minta di cebokin. Sebagai guru ya saya harus melakukannya. Nah disini, waktu saya mengantar seorang anak ke toilet, jarak 2 meter dari toilet anak itu bilang, “Stop here, I need my privacy.”

Buku ini juga membahas tentang marital rape. Saat ini banyak ulama yang berpandangan bahwa dalam rumah tangga itu tidak ada marital rape (perkosaan dalam umah tangga). Ulama yang konservatif mengatakan bahwa tidak ada perkosaan dalam rumah tangga karena menurut mereka istri wajib melayani suami. Padahal, relasi seksual itu tidak selamanya menyenangkan. Bahwa relasi seksual itu nyaman jika betul-betul keduanya ingin melakukannya, butuh mood dan butuh konsen.

Nah, pandangan seperti ini harus disampaikan kepada masyarakat, kepada suami atau istri. Sehingga ketika nanti mereka menikah akan mengerti pasangannya itu seperti apa dan bagaimana. Bahwa dalam kehidupan rumah tangga, bahkan dalam kehidupan seksual, ada banyak hal yang harus dibicarakan, karena itu komunikasi itu menjadi sangat sangat penting, dan itu adalah bagian dari kemanusiaan kita.

“Saya sangat mengapresiasi, mudah-mudahan setelah buku yang pertama ini, tahun depan Suluh Perempuan menerbitkan buku lagi. Kita harus menulis untuk kemanusiaan. Menulis untuk mengatakan bahwa dengan menulis saya ada,” pungkasnya.

Milla Joesoef

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai