Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan kelompok pekerja yang banyak dibutuhkan namun kerap terabaikan. Polemik tentang pekerjaan yang layak bagi PRT pun masih terus diperjuangkan. Pasalnya, PRT adalah kelompok pekerja rentan, namun tidak mendapat perhatian serius dari negara.
Justru perhatian dan solidaritas terhadap PRT datang dari gerakan masyarakat sipil dan lembaga-lembaga terkait yang menaruh perhatian penuh akan pemenuhan hak bagi para pekerja rumah tangga. Selain bekerja dengan upah yang rendah, PRT kerap mendapat kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan beragam lainnya. JALA PRT mencatat ada 400 kasus kekerasan yang dialami para pekerja rumah tangga sejak tahun 2012-2021.
Salah satu kesaksian seorang PRT yang pernah disampaikan kepada saya, bahwa ia bekerja selama 12 jam per hari tanpa hari libur. Ia hanya mendapat gaji Rp.700.000 dalam sebulan. Ini hanya satu dari sekian kasus PRT yang bekerja dalam kondisi tidak layak. Kasus-kasus serupa banyak terjadi, dan mereka mengharapkan kehadiran negara sebagai representasi kepentingan rakyat dalam mengakomodir hak-hak pekerja rumah tangga.
Apa saja landasan konstitusi yang mengatur hak-hak PRT? Hak-hak pekerja rumah tangga diatur dalam Konvensi ILO No. 189 Tahun 2011 tentang Kerja Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga. Sedangkan perlindungan lainnya termaktub dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Salah satunya mengatur mengenai hak-hak pekerja rumah tangga.
Pekerja rumah tangga dengan segala kerentanan kekerasan, sudah saatnya mendapat perhatian serius dari negara, Mereka berhak mendapatkan jam kerja hingga upah yang layak bagi PRT. Sejumlah masalah PRT yang bejibun jumlahnya tidak boleh hanya menjadi presentasi secara statistik semata. Pun tidak boleh dianggap sifatnya hanya kasuistik saja.
Kontribusi Pekerja Rumah Tangga
Bagaimanapun juga, pekerja rumah tangga punya andil besar dalam rantai aktivitas masyarakat di era modern ini. Misalnya pada keluarga dengan beban domestik yang cukup tinggi, salah satunya membutuhkan PRT sebagai solusi atas pekerjaan domestik yang tidak sempat tertangani.
Pekerja rumah tangga punya kontribusi yang luas dibalik semua rantai pekerjaan rumah yang beres, beban domestik yang bertumpu pada seorang suami atau istri saja, ataupun hal lainnya. PRT membantu memastikan kenyamanan dalam rumah bisa terealisasi. Untuk itu, memastikan jaminan upah layak, jam kerja layak, jaminan sosial bagi PRT harus terus diperjuangkan. Bukan hanya dari PRT saja, tetapi harusnya menjadi perhatian bersama dari pemberi kerja dalam merealisasikan hak-hak PRT.
Problematika Pekerja Rumah Tangga
Menurut Survei ILO dan Universitas Indonesia Jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta. Sementara presentasi PRT perempuan mencapai 84% dan anak 14%. Jumlah yang relatif cukup besar dalam sektor pekerja, tetapi masih saja terpinggirkan, dengan beragam kondisi yang problematis.
Ada problem domestikasi yang kerap berkelindan dengan budaya patriarki hingga relasi kuasa. Masalah-masalah ini masih terus terjadi dalam lingkaran kerja PRT. Kondisi ini lahir dari kultur yang penuh hirarki, yang bertumpu dalam “perbudakan modern.” Karakter feodal masyarakat memproduksi cara pandang yang sangat normatif antara majikan dengan pesuruh atau budak. Feodalisme diadopsi di era modern ini dengan narasi yang lebih kompleks antara majikan dan pembantu.
Oleh karena itu, menganggap PRT adalah pembantu, adalah kemunduran berpikir yang perlu dibuang jauh-jauh. Pekerja rumah tangga adalah pekerjaan layak dan mulia yang selama ini dimanipulasi dalam relasi kuasa, dan dijerumuskan dalam kondisi yang sangat tidak layak.
Pandemik covid-19 membuat beban ganda sebagai PRT tangga kian dirasakan karena beban pengasuhan dan pekerjaan domestik yang dilimpahkan kepada perempuan. Adanya pembatasan kebijakan membuat perempuan harus terus terisolir didalam rumah dan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Dari mulai mengurus rumah tangga, anak, suami hingga urusan lainnya. Pandemik covid-19 turut berkontribusi pada kekerasan terhadap PRT, terutama dari mulai jam kerja hingga upah kerja. Ketidakpastian jaminan hukum hingga jaminan kesehatan membuat PRT kian terpinggirkan.
Negara sebagai representasi kepentingan rakyat, harus hadir memenuhi jaminan perlindungan hukum dan jaminan pekerjaan yang layak bagi PRT. Di Indonesia, melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, seharusnya negara sudah lebih bisa maju dan progresif merealisasi dasar peraturan ini. Sebab dalam Permenaker nomor 2 tahun 2015 pasal 7, terkandung muatan-muatan aturan tentang bagaimana harusnya memperlakukan PRT.
Adapun pada pasal tersebut berbunyi; PRT mempunyai hak: a) memperoleh informasi mengenai Pengguna; b) mendapatkan perlakuan yang baik dari Pengguna dan anggota keluarganya; c) mendapatkan upah sesuai Perjanjian Kerja; d) mendapatkan makanan dan minuman yang sehat; e) mendapatkan waktu istirahat yang cukup; f) mendapatkan hak cuti sesuai dengan kesepakatan; g) mendapatkan kesempatan melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; h) mendapatkan tunjangan hari raya; dan i) berkomunikasi dengan keluarganya.
Jika secara normatif, pemberlakuan jam kerja yang efisien bagi PRT yang mengacu pada UU No.13 tahun 2003, terdapat 2 sistem jam kerja yakni; jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau 8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Namun, kondisi ini berbenturan dengan ketiadaan pengakuan atas hak-hak PRT. Sehingga perlu adanya undang-undang yang secara jelas mengatur tentang perlindungan bagi pekerja rumah tangga.
Saat ini, PRT sedang memperjuangkan RUU PPRT atau rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Yakni yang nantinya menjamin perlindungan hukum dan atau kepastian hukum bagi kelangsungan hidup PRT di Indonesia. Mendorong pengesahan RUU PPRT adalah Langkah strategis dalam memanusiakan para pekerja rumah tangga.
Negara Indonesia menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Sila ke 2 dan sila ke 5 menyebutkan tentang pentingnya cara pandang hidup berbangsa dan bernegara, yakni memanusiaan manusia dan hidup berkeadilan. Sementara prinsip negara Indonesia yang menganut bahwa “tidak seorangpun ditinggalkan” adalah refleksi dan evaluasi atas perlakuan negara selama ini terhadap pekerja rumah tangga.
Bahwa, harus diakui pekerja rumah tangga masih banyak tertinggal dalam pembangunan bangsa. 20 tahun sudah, RUU PPRT menapaki berbagai problematika dan perdebatan namun tak kunjung disahkan. Seharusnya negara merevolusi cara pandang keliru akibat pengabaian hal-hal subtantif dari kepentingan rakyat. Beragam undang-undang yang dianggap sangat merugikan rakyat sangat dipercepat untuk disahkan, tetapi menunggu pengesahan RUU PPRT memakan waktu belasan tahun lamanya.
Saya berharap, narasi ini tidak hanya menjadi bacaan semata, Penting untuk membangun kembali komitmen pembaca untuk senantiasa melihat hal-hal penting yang harus diperjuangkan bagi PRT. Solidaritas yang terbangun bersama, setidaknya adalah sikap emansipatoris sesama manusia untuk saling memberdayakan. Bagaimana negara mempunyai perspektif bahwa ini adalah sebuah tanggungjawab kebangsaan. Sehingga negara berhenti menutup mata terhadap problem pekerja rumah tangga yang kian carut marut.
Kita semua berharap bahwa Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) segera disahkan untuk menjawab keadilan dan kesejahteraan bagi semua pekerja rumah tangga di Indonesia. (*)
Penulis: Fen Budiman (Sekjen Suluh Perempuan)
Editor: Humaira
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024