“Menjadi jurnalis perempuan adalah menanam benih keadilan bagi perabadan bangsa.“
Perkenalkan, nama saya Anjany Podangsa. Perempuan dari tanah Flores, Nusa Tenggara Timur yang bergelut di dunia pergerakan sejak tahun 2016. Saya tumbuh dan besar di organisasi API Kartini yang sekarang menjadi Suluh Perempuan. Semasa kuliah saya aktif mengorganisir teman-teman mahasiswa untuk bergabung di organisasi, baik internal maupun eksternal kampus.
Semula, saya salah satu orang yang tidak percaya dengan pemberitaan media cetak mau pun elektronik. Alasannya cuma satu ”bias gender“. Pada saat kuliah hanya satu media yang menjadi langganan untuk bahan bacaan setiap hari. Sebut saja media “T”. Berbagai pandangan media mengenai standar kecantikan, membuat saya kehilangan simpatik terhadap berbagai pemberitaan di media.
Di saat yang sama, saya begitu yakin bahwa pemberitaan yang media sajikan turut serta memberikan truama terhadap korban kekerasan seksual (pemerkosaan, pelecehan,) KDRT atau kekerasan dalam bentuk lainnya yang kerap kali menimpa perempuan. Bagaimana tidak? Isi berita yang tersaji sebagian besar membahas secara vulgar yang sedang korban alami, nama, alamat korban juga disebut tanpa sensor. Tidak hanya itu, pemilihan diksi juga menjurus pada pembenaran tindakan pelaku. Hal ini akhirnya membuat korban menjadi pihak yang salah.
Setidaknya, empat tahun lalu saya masih punya pandangan yang general untuk semua media dari tingkat nasional sampai ke lokal. Bahwa produk yang dihasilkan media selalu bias gender. Berangkat dari hal ini, saya bersama aktivis di Yogyakarta menyuarakan di forum diskusi, lingkaran pertemanan bahkan saat turun ke jalan.
Jurnalis di NTT
Jika di tujuh tahun lalu, saya tidak percaya ada media yang bisa memberitakan kasus-kasus kekerasan dalam bentuk apa pun secara adil. Tahun 2020 setelah saya kembali ke NTT saya menemukan beberapa media lokal yang cukup terpercaya di kalangan masyarakat lokal maupun nasional.
Sekarang saya menjadi Jurnalis di salah satu media. Di bulan Agustus 2023, saya bergabung di media Floresa.co yang berbasis di Flores dan mendukung demokratisasi serta pembangunan yang berkeadilan.
Adapun alasan saya mau menjadi Jurnalis media ini adalah:
Pertama, saya melihat konsisten dalam setiap produk jurnalistiknya memberikan edukasi kepada masyarakatnya tentang bagaimana memberitakan kasus-kasus tertentu sesuai Standar Operasional Prosedur atau SOP Jurnalistik.
Kedua, media ini selalu mengangkat kasus-kasus yang luput dari perhatian pemerintah, termasuk kekerasan terhadap perempuan.
Tantangan dan Hambatan
Liputan pertama saya pada akhir bulan Agustus 2023 adalah kasus pemerkosan terhadap anak di bawah umur oleh 7 orang remaja. Dari sinilah hal berat di mulai. Saya marah dengan kejadian tersebut, mental saya down. Sebagai salah satu aktivis yang aktif bersuara untuk korban, saya merasa ini hal keji yang harus diusut dengan serius. Selain itu, saya berposisi sebagai Jurnalis yang tidak bisa mengutarakan opini kemarahan pribadi dalam pemberitaan.
Sebagai jurnalis, saya berhadapan dengan berbagai proses berat. Mulai dari polisi tidak serius merespon saat dihubungi. Sampai pada anggapan masyarakat bahwa yang salah dalam hal ini tetap perempuannya.
Menjadi Jurnalis perempuan ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Mental kuat menjadi point yang harus saya siapkan setiap kali berhadapan dengan isu dan narasumber yang sedang saya temui. Tantangan yang saya alami selama menjadi Jurnalis adalah menahan diri untuk tidak bereaksi. Layaknya seorang aktivis dalam menghadapi kasus-kasus tertentu misalnya: pelecehan, pemerkosaan, KDRT dan kasus keji lainnya.
Selain itu saya harus tetap berposisi sebagai Jurnalis. Ketika bertemu korban pemerkosaan, pelecehan dan kekerasan lainnya yang menangis di hadapan saya. Keadaan ini sangat sulit bagi saya. Apalagi ketika menyaksikan proses di kepolisian yang kerap kali tidak berempati terhadap korban.
Pengalaman Bekerja di Lapangan
Pernah saya marah sekali terhadap salah satu institusi kepolisian dalam penanganan kasus dugaan pemerkosaan salah satu wisawatan di kota saya bekerja. Korban mendatangi pihak kepolisian di kota tersebut untuk memperjuangkan kasusnya agar dibuka kembali setelah diberhentikan oleh kepolisian dengan alasan kurang bukti. Korban justru dianggap baper dan hampir dilempar pakai kotak pulpen oleh satu anggota polisi perempuan di Unit PPA .
Padahal tujuan korban mendatangi unit PPA adalah membawa bukti atau petunjuk baru agar bisa dibuka kembali sehingga polisi bisa mengusut kasusnya. Namun kemudian ia harus berdebat panjang dengan salah satu anggota kepolisian (perempuan) di unit tersebut. Polisi itu menyimpulkan bahwa korban disetubuhi oleh dua terduga dalam keadaan dan sukarela.
Ini sungguh mengerikan. Ini menandakan polisi tidak punya cara atau pendekatan khusus ketika berhadapan dengan korban. Hal ini juga menandakan betapa buruknya pelayanan terhadap korban di ruang yang seharusnya melindungi korban itu sendiri.
Hal ini saya alami langsung, ketika menemani korban mencari keadilan bagi dirinya di institusi kepolisian. Dalam menghadapi situasi seperti ini korban mengaku stres. Kepalanya pening dan badannya kejang. Hal ini bukan tidak mungkin akan menambah truma bagi korban dan menjadikannya korban berkali-kali.
Minimnya Jurnalis Perempuan
Jumlah Jurnalis perempuan di media saya bekerja hanya ada 3 orang, 2 orang jurnalis lapangan 1 orang sebagai editor. Jumlah ini tentu kecil dibandingkan dengan jumlah jurnalis laki-laki.
Namun walaupun demikian, dalam dinamika internal redaksi tidak ada perbedaan dalam pembagian tugas. Media tersebut sangat memperjuangkan kesetaraan gender dan konsisten mengkawal kasus-kasus yang berhubungan dengan kehidupan perempuan, khususnya pemerkosaan, pelecehan, KDRT, dan kekerasan lainnya seperti para perempuan yang dikriminalisasi pada saat memperjuangkan hak atas tanah mereka.
Di kota saya bekerja, saya sangat jarang bertemu dengan jurnalis perempuan. Ini bukan hal yang mengagetkan bagi saya. Justru ada beberapa orang yang merasa kaget ketika saya berdiri di antara jurnalis laki-laki.
Saya sering ditanya oleh pihak keluarga, kerabat, pejabat daerah dan orang yang saya temui. Apakah saya tidak takut menjalan profesi ini? Apakah tidak takut berhadapan dengan kepolisian yang adalah laki-laki? Bagaimana meliput bisa kasus-kasus besar? Jawaban saya sama, saya tidak takut, makanya saya memilih profesi ini.
Tidak jarang ada narasumber yang saya hubungi memanggil saya dengan sapaan bapak. Padahal sudah mengenalkan diri bahwa saya perempuan. Saya yang kesal dengan kenyataan ini, pada suatu ketika saya bertanya kepada beberapa narasumber itu. Kenapa memanggil bapak padahal saya sudah sampaikan bahwa saya perempuan.
Jawaban mereka berbeda-beda, ada yang mengatakan bahwa mereka tidak percaya ada jurnalis perempuan yang mengkawal kasus tersebut. Ada juga yang mengatakan karena mereka tidak pernah bertemu jurnalis perempuan sebelumnya, jadi mereka kurang percaya.
Yang lebih mengagetkan ada yang tidak percaya bahwa saya perempuan karena takut ini hanya siasat belaka agar mereka memberikan informasi karena perempuan punya daya pengaruh tersendiri terhadap lawan jenis.
Itulah sedikit dari banyaknya pengalaman saya menjadi jurnalis perempuan di tengah budaya patriarki yang masih langgeng. (*)
Penulis: Anjany Podangsa
Editor: Humaira
Terkait
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024
Meretas Jalan Pendidikan Murah dan Berkualitas