12 Desember 2024

Layaknya Pernikahan, Perceraian Pun Patut Dirayakan

0Shares

Oleh: Mila Nabilah

Masyarakat melihat pernikahan yang berakhir sebagai periode kesedihan dan kekecewaan. Namun, tren baru muncul di mana orang-orang tidak lagi melihat perceraian sebagai akhir dari segalanya. Perceraian sebagai awal dari sesuatu yang baru.

Dalam beberapa tahun terakhir, budaya merayakan perceraian telah menjadi semakin umum di beberapa komunitas di seluruh dunia. Ini adalah sebuah fenomena yang menarik yang menandakan pergeseran dalam cara kita memandang hubungan dan komitmen.

Kali ini redaksi akan mengajak kamu semua berkenalan dengan tradisi merayakan perceraian di Mauritania. Perempuan Mauritania semakin sering merayakan perceraian mereka. Ada acara pesta dan makan malam untuk memberi penghormatan. Acara semakin meriah dengan latar belakang rebana yang mantap dan teriakan tajam dari getar vokal bernada tinggi. Tradisi ini mewakili kegembiraan yang umum di seluruh Afrika Utara dan Timur Tengah.

Semua ini, untuk menyambut hangat kembalinya dia ke rumah keluarganya. Di matanya, dia telah kembali ke benteng martabat dan ketenangannya. Dulunya merupakan tempat yang ia datangi setiap kali suaminya pergi. Kali ini ia pulang ke rumah untuk selamanya.

Kehidupan baru dimulai untuknya, bebas dari stigma, rasa malu atau hantu dari hubungan yang gagal. Masyarakat tidak menghakiminya karena hal itu. Setelah selesai, dia kembali ke peringkat yang setara dengan perempuan yang belum menikah.

Setelah perceraiannya selesai, perempuan Mauritania tersebut kembali ke rumah keluarganya bersama anak-anaknya. Ibu dan saudara perempuannya menyambutnya dengan suara Zaghrouta, seruan kegembiraan yang bervariasi dalam irama, getar, dan nada dari satu negara ke negara lain.

Pulang ke rumah untuk merasakan kegembiraan saat dia kembali dan kebebasan membuat perbedaan besar. Begitu dia sudah tenang, suasana dengan cepat berubah menjadi kritik terhadap kekurangan mantan suaminya. Bahkan dengan sesekali mengkritik pria yang tidak tahu apa yang hilang dari dirinya.

Teman-temannya dengan cepat mengadakan pesta yang penuh musik dengan kehadiran beberapa penyair yang memuji dia atas kecantikan dan sifatnya yang bersinar. Puisi-puisi mereka naik dan turun seiring dengan intensitas perasaan. Mendapatkan kekuatan dan mencapai puncaknya ketika mereka menggambarkan pelamar yang tak terhitung banyaknya telah mengantri untuk meminangnya.

Di beberapa bagian Mauritania, seorang perempuan harus mengatur pesta perceraiannya di tempat yang disebut Tahrish. Alasannya? Untuk membuat suaminya cemburu dan menarik kembali keputusannya.

Bagaimana Pandangan Pria Mauritania terhadap Perempuan?

Bagaimana pandangan terhadap perempuan yang bercerai dalam masyarakat Mauritania? Pertama-tama kita harus melihat pada persepsi awal mengenai perempuan. Dasar dari hal ini lebih dalam daripada apakah dia sudah menikah atau lajang. Dalam masyarakat, perempuan yang bercerai seringkali membangkitkan kesedihan dan nafsu para penyair.

Puisi itu sendiri adalah bagian penting dari kehidupan Mauritania. Baik tua maupun muda berkumpul secara teratur hingga larut malam. Mereka meminum teh mint berbuih kental sebanyak tiga kali. Awalnya pahit, lalu menjadi lebih manis di setiap cangkir berturut-turut. Di sana kaum muda mengembangkan bakat puitis mereka. Kemudian para tetua dengan cekatan merangkai ayat-ayat kuat yang terkandung pada saat itu, menegaskan kefasihan puitisnya.

Mauritania sendiri sangat mendalami bahasa Arab. Anak-anak mempelajari morfologi, sintaksis, infleksi, derivasi dan retorika sejak usia muda. Seorang penyair yang sukses adalah orang yang menguasai bahasa sastra yang sangat kompleks, dengan lebih dari 12.300.000 kata.

Bagaimana Semua itu Dimulai?

Asal mula cerita itu semua adalah Ahmed Ould Harud. Ia adalah seorang ahli warisan budaya Mauritania yang mengatakan bahwa semua ini bermula dari sistem kesukuan yang monolitik. Di masa lalu, masyarakat Mauritania hanya terdiri dari beberapa suku yang tinggal di wilayah terpisah. Perkawinan campur bukanlah hal yang umum, untuk mempertahankan garis keturunan, aliansi dan kasta.

Perempuan sering kali dipaksa menikah dengan sepupu mereka. Budaya Mauritania memunculkan tradisi ini karena sedikitnya pilihan perempuan setelah perceraian; dan untuk memastikan bahwa masa depannya tidak akan terbebani oleh masa lalunya.

Harud mengatakan bahwa fenomena ini dengan cepat menyebar dan berkembang seiring berjalannya waktu, yang menandakan semacam deklarasi kemandirian dan kesediaan orang yang bercerai, yang berakar pada simpati atas penderitaannya.

Daya Tarik Perempuan

Di Mauritania, beberapa perempuan menjadikan pernikahan mereka sebelumnya sebagai simbol status. Menikah lagi menjadi cerminan keunikan, kecantikan dan daya tariknya. Mariam binti Ahmed Salem, seorang perempuan Mauritania berusia 50-an, mengatakan dia telah menikah sembilan kali

Mariam mengatakan, dia sekarang sudah bercerai dan tidak memiliki keinginan untuk menikah lagi. Dia memiliki anak dari banyak pasangan. Pengalaman hidupnya menjadi kebanggaan baginya, tambahnya sambil tersenyum. Baginya, itu sudah cukup menjadi bukti kecantikan dan keistimewaannya dibandingkan teman-temannya.

Melihat ke belakang, ia menggambarkan pengalaman sukses yang penuh kegembiraan meskipun tidak ada stabilitas. Menurutnya, pernikahan yang terlalu lama menimbulkan kebosanan.

Statistik yang Mengerikan

Namun meskipun perempuan Mauritania mendapat sambutan baik setelah perceraian, tidak semuanya seindah kelihatannya. Terdapat peningkatan dramatis dalam angka perceraian di negara ini menurut organisasi masyarakat sipil yang aktif dalam isu-isu keluarga. Masyarakat sipil kini berupaya meningkatkan kesadaran akan bahaya perceraian terhadap stabilitas keluarga dan perkembangan anak.

Dalam laporan resmi pemerintah Mauritania yang dirilis pada tahun 2018, hampir sepertiga dari seluruh pernikahan berakhir dengan perceraian. Yang lebih penting lagi, 60 persen perceraian pertama-tama harus melalui perpisahan selama lima tahun atau lebih. Hal ini membuat perempuan sulit untuk menikah lagi.

Studi tersebut menyimpulkan bahwa 74 persen perempuan yang bercerai menikah lagi. Namun hanya 25 persen perempuan yang menikah lagi dua kali atau kurang. Secara total, hanya 7 persen yang menikah tiga kali atau lebih.

Dewasa dan Berpengalaman

Berbeda dengan norma-norma di wilayah tersebut, sebagian besar laki-laki Mauritania percaya bahwa perempuan yang bercerai adalah perempuan yang lebih dewasa, berpengalaman, dan memahami kesulitan dan tantangan hidup. Mereka juga menganut kepercayaan umum bahwa perempuan yang belum menikah lebih narsis dan melebih-lebihkan nilai dirinya. Hal ini menimbulkan rintangan dan kondisi yang tidak wajar oleh pihak lajang atau keluarganya, termasuk mahar yang tinggi.

Namun sebaliknya, laki-laki yang bercerai merasa kesulitan untuk menikah lagi jika ia tidak mampu secara finansial. Perempuan Mauritania lebih menyukai pria yang belum menikah. Mengapa? Mereka percaya bahwa berbagai pengalaman pernikahan yang gagal mencerminkan ketidakmampuan untuk memikul tanggung jawab, bersabar, atau memperjuangkannya. Pernikahan bagi mereka adalah sebuah kontrak sosial yang membutuhkan ketekunan dan dedikasi.

Mengubah Narasi tentang Perceraian

Budaya merayakan perceraian juga membantu mengubah narasi tentang perceraian secara keseluruhan. Itu menekankan bahwa perceraian bukanlah akhir dari dunia, tetapi awal dari babak baru dalam kehidupan seseorang. Ini adalah kesempatan untuk mengejar kebahagiaan dan membangun kehidupan yang memenuhi kebutuhan dan keinginan individu tersebut.

Dalam budaya ini, dukungan komunitas sangat penting. Teman, keluarga, dan masyarakat luas mendukung individu yang bercerai, membantu mereka melalui transisi. Dan menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian dalam perjalanan mereka.

Budaya merayakan perceraian adalah fenomena yang menarik yang menandakan perubahan dalam pandangan masyarakat terhadap hubungan dan komitmen. Ini menempatkan penekanan pada pertumbuhan pribadi, keberanian untuk mengambil langkah-langkah baru, dan dukungan komunitas. Meskipun belum menjadi norma di semua tempat, ini adalah langkah positif menuju pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas hubungan manusia dan perlunya mendukung individu dalam semua tahap kehidupan mereka.

Sumber: TRTworld.com

*Penulis adalah Wakil Sekjen Suluh Perempuan. Mila aktif sebagai menulis dan tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Penulis dapat dihubungi melalui Instagram @yosoymilla.

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai