Fenomena depopulasi semakin mengemuka di beberapa negara Asia seperti Korea Selatan, Jepang, India, Cina, dan Indonesia. Penurunan angka populasi ini sangat memprihatinkan, terutama karena dipicu oleh keengganan generasi muda untuk menikah atau memiliki anak.
Salah satu faktor utama yang melatarbelakangi tren ini adalah krisis ekonomi yang membuat biaya untuk membentuk atau membangun sebuah keluarga menjadi sangat mahal. Iklim ekonomi dunia yang kapitalistik semakin memperparah situasi ini. Mari sejenak kita amati data-data yang kami himpun dari berbagai sumber.
Korea Selatan
Korea Selatan menghadapi salah satu tingkat kelahiran terendah di dunia. Pada tahun 2023, tingkat kelahiran Korea Selatan hanya mencapai 0,78 anak per Perempuan, jauh di bawah angka penggantian populasi sebesar 2,1 anak per perempuan. Biaya hidup yang tinggi, termasuk biaya pendidikan dan perumahan, membuat banyak pasangan muda enggan memiliki anak. Selain itu, tekanan kerja yang intens dan budaya kerja yang kompetitif turut berkontribusi pada rendahnya angka kelahiran ini.
Jepang
Jepang juga mengalami depopulasi yang signifikan. Pada tahun 2022, tingkat kelahiran Jepang berada di angka 1,34 anak per perempuan. Fenomena ini diperburuk oleh angka harapan hidup yang tinggi, yang menyebabkan populasi lansia semakin mendominasi. Biaya hidup yang tinggi, terutama di kota-kota besar seperti Tokyo dan Osaka, serta kurangnya dukungan pemerintah untuk keluarga baru, menjadi hambatan besar bagi pasangan muda untuk menikah dan memiliki anak .
Cina
Cina, yang sebelumnya menerapkan kebijakan satu anak, kini menghadapi tantangan besar dalam mengatasi penurunan populasi. Meskipun kebijakan tersebut telah dilonggarkan menjadi dua bahkan tiga anak, tingkat kelahiran tetap rendah. Pada tahun 2021, tingkat kelahiran Cina hanya 1,3 anak per perempuan. Generasi muda di Cina menghadapi tekanan ekonomi yang besar, dengan biaya pendidikan dan perumahan yang terus meningkat, membuat banyak orang enggan memiliki anak .
India
India, meskipun masih memiliki tingkat kelahiran yang relatif tinggi dibandingkan negara-negara Asia lainnya, mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan. Pada tahun 2021, tingkat kelahiran di India mencapai 2,2 anak per perempuan, mendekati angka penggantian populasi. Urbanisasi yang cepat, meningkatnya biaya hidup, dan perubahan sosial yang membuat generasi muda lebih fokus pada karir daripada keluarga, berkontribusi pada penurunan ini .
Indonesia
Indonesia, negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, juga mulai menghadapi tantangan serupa. Meskipun tingkat kelahiran masih di angka 2,3 anak per perempuan pada tahun 2022, tren penurunan mulai terlihat. Faktor ekonomi, termasuk biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi, serta kurangnya dukungan sosial bagi keluarga muda, menjadi penghalang utama bagi pasangan muda untuk memiliki anak .
Pendapat Para Ahli
Pendapat ahli mengenai fenomena depopulasi di Asia memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang berbagai faktor yang mempengaruhi tren ini. Berikut adalah beberapa pandangan dari para ahli:
1. Mary Brinton – Profesor Sosiologi, Harvard University
Mary Brinton menyatakan bahwa perubahan sosial dan ekonomi yang cepat di banyak negara Asia telah menciptakan lingkungan yang kurang mendukung untuk pembentukan keluarga. Brinton menyoroti bahwa tekanan untuk berprestasi di bidang pendidikan dan karir, terutama bagi perempuan, telah meningkatkan usia pernikahan dan menunda keputusan untuk memiliki anak.
“Di Jepang dan Korea Selatan, misalnya, Perempuan merasa sulit untuk menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab keluarga karena kurangnya dukungan dari sistem sosial dan tempat kerja,” ujarnya.
2. Stuart Gietel-Basten – Profesor Ilmu Sosial, Khalifa University
Stuart Gietel-Basten mengemukakan bahwa masalah ekonomi merupakan faktor utama yang menghalangi pasangan muda untuk memiliki anak. Menurutnya, biaya tinggi untuk pendidikan, perumahan, dan perawatan kesehatan membuat banyak pasangan muda menunda atau bahkan memutuskan untuk tidak memiliki anak sama sekali.
Ia juga menambahkan bahwa kebijakan pemerintah yang kurang mendukung, seperti kurangnya insentif finansial dan dukungan kesejahteraan keluarga, memperburuk situasi ini.
3. Karen Eggleston – Direktur Program Asia Health Policy, Stanford University
Karen Eggleston menekankan bahwa perubahan demografis yang signifikan, terutama di Cina dan Jepang, membutuhkan kebijakan publik yang responsif.
Eggleston menyatakan “Pemerintah perlu meningkatkan dukungan untuk keluarga melalui subsidi pendidikan, perumahan yang terjangkau, dan kebijakan kerja yang lebih fleksibel untuk mengurangi tekanan ekonomi pada pasangan muda.”
Ia juga menyoroti pentingnya investasi dalam layanan perawatan anak dan kesejahteraan lansia untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pembentukan keluarga.
4. Wolfgang Lutz – Direktur, Vienna Institute of Demography
Wolfgang Lutz mengungkapkan bahwa depopulasi di banyak negara Asia merupakan akibat dari transisi demografis yang tidak seimbang.
“Negara-negara ini telah mengalami penurunan tingkat kelahiran yang cepat tanpa diimbangi dengan peningkatan infrastruktur sosial dan ekonomi yang memadai,” katanya.
Lutz juga menunjukkan bahwa perubahan nilai dan norma sosial, seperti meningkatnya individualisme dan penurunan pentingnya keluarga besar, turut berperan dalam fenomena ini.
5. Paul Yip – Profesor Sosiologi dan Demografi, University of Hong Kong
Paul Yip berpendapat bahwa urbanisasi cepat dan meningkatnya biaya hidup di kota-kota besar menjadi penghalang utama bagi pasangan muda untuk menikah dan memiliki anak.
“Di kota-kota seperti Hong Kong, Seoul, dan Tokyo, biaya perumahan sangat tinggi sehingga banyak pasangan muda merasa tidak mampu untuk membentuk keluarga,” ujar Yip.
Ia juga menambahkan bahwa tekanan sosial untuk mencapai kesuksesan finansial sebelum menikah menjadi faktor penting dalam keputusan menunda pernikahan dan kelahiran.
Pendapat para ahli ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan holistik dalam mengatasi masalah depopulasi di Asia. Kebijakan yang mendukung keseimbangan kerja-kehidupan, subsidi untuk keluarga, dan peningkatan infrastruktur sosial dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih mendukung untuk pembentukan keluarga. Dengan mengatasi masalah ekonomi dan sosial yang mendasari, diharapkan angka kelahiran dapat meningkat dan tren depopulasi dapat dikendalikan.
Proses Punahnya Keluarga dan Hubungannya dengan Kapitalisme
Punahnya keluarga dimulai ketika generasi terakhir dari suatu keluarga memutuskan untuk tidak melanjutkan proses prokreasi (memiliki anak). Berikut adalah langkah-langkah yang terjadi dalam proses ini:
1. Keputusan Menunda atau Tidak Memiliki Anak
Banyak pasangan muda menunda atau memutuskan untuk tidak memiliki anak karena berbagai alasan, termasuk tekanan ekonomi, biaya hidup yang tinggi, dan prioritas karir. Ini menyebabkan penurunan jumlah anak dalam keluarga.
2. Penurunan Angka Kelahiran
Dengan semakin banyaknya pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak atau memiliki anak dalam jumlah sedikit, angka kelahiran menurun drastis. Keluarga-keluarga yang dulunya besar menjadi lebih kecil dari generasi ke generasi.
3. Tingkat Kesuburan yang Rendah
Ketika tingkat kesuburan berada di bawah tingkat penggantian (replacement level) yang diperlukan untuk mempertahankan populasi (2,1 anak per perempuan), populasi mulai menyusut. Dengan tidak ada atau sangat sedikit keturunan yang lahir, keluarga mulai punah.
4. Generasi Terakhir
Generasi terakhir dari suatu keluarga, yang mungkin terdiri dari satu atau dua individu, menjadi penutup dari garis keturunan mereka. Ketika mereka tidak memiliki anak, tidak ada generasi penerus yang lahir, mengakibatkan garis keluarga berhenti.
5. Punahnya Keluarga
Ketiadaan keturunan baru berarti tidak ada yang mewarisi nama keluarga, warisan, atau tradisi keluarga. Ketika generasi terakhir meninggal, keluarga tersebut secara resmi punah.
Kecacatan Kapitalisme
Kapitalisme, dengan fokus pada keuntungan dan efisiensi, sering kali menciptakan lingkungan yang tidak mendukung untuk pembentukan dan pemeliharaan keluarga. Dalam sistem kapitalis, biaya hidup sering kali sangat tinggi, terutama di kota-kota besar. Harga perumahan, biaya pendidikan, dan perawatan kesehatan yang mahal membuat banyak pasangan merasa tidak mampu secara finansial untuk memiliki anak. Tekanan untuk mencapai stabilitas finansial sebelum membentuk keluarga sering kali mengakibatkan penundaan atau penolakan untuk memiliki anak.
Pasar tenaga kerja yang fleksibel namun tidak stabil, di mana pekerjaan kontrak jangka pendek dan ketidakpastian pekerjaan umum terjadi, membuat pasangan muda merasa tidak aman untuk memulai sebuah keluarga. Ketidakpastian finansial dan pekerjaan menyebabkan ketidakstabilan yang mempengaruhi keputusan untuk memiliki anak.
Kapitalisme mendorong individu untuk fokus pada karir dan pencapaian pribadi. Kesuksesan sering kali diukur berdasarkan pencapaian profesional dan material, yang menggeser prioritas dari keluarga ke pekerjaan dan karir. Perempuan khususnya, menghadapi dilema antara karir dan keluarga, karena tekanan untuk berhasil dalam dunia kerja.
Banyak negara kapitalis tidak memiliki kebijakan yang memadai untuk mendukung keluarga muda, seperti cuti melahirkan yang panjang, subsidi untuk perawatan anak, atau perumahan yang terjangkau. Kurangnya dukungan sosial ini membuat pasangan enggan untuk memiliki anak, karena mereka merasa tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mendukung keluarga mereka.
Kapitalisme sering kali mempromosikan budaya konsumsi dan individualisme, di mana kebahagiaan dan kepuasan diukur melalui kepemilikan material dan kebebasan individu. Ini mengurangi nilai dan pentingnya keluarga besar, yang dulu merupakan sumber dukungan sosial dan ekonomi.
Punahnya keluarga merupakan hasil dari berbagai faktor yang saling terkait, di mana tekanan ekonomi dan sosial dalam sistem kapitalis memainkan peran utama. Sistem kapitalis yang menekankan keuntungan dan efisiensi sering kali mengorbankan kesejahteraan sosial dan dukungan bagi keluarga muda. Tanpa intervensi dan perubahan kebijakan yang mendukung keseimbangan kerja-kehidupan dan memberikan dukungan ekonomi yang memadai, fenomena depopulasi dan punahnya keluarga kemungkinan akan terus berlanjut.
Fenomena depopulasi di Asia merupakan masalah kompleks yang membutuhkan perhatian serius. Krisis ekonomi dan iklim kapitalistik global telah menciptakan hambatan besar bagi generasi muda untuk membentuk keluarga. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kebijakan yang mendukung keluarga muda, termasuk subsidi untuk pendidikan dan perumahan, serta perbaikan dalam keseimbangan kerja-kehidupan. Hanya dengan langkah-langkah konkret ini, kita dapat berharap untuk melihat perubahan positif dalam tren depopulasi di masa depan.
Mila Nabilah
*Disarikan dari banyak sumber
Terkait
Posisi Perempuan dalam Pilkada 2024
Morowali Dibawah Tekanan Industri Ekstraktif dan Ancaman Kemiskinan
Hari Tani Nasional 2024, Mimpi Besar Kesejahteraan