4 November 2024

Manusia Welas Asih: Mewujudkan Kepedulian dan Kebersamaan dalam Hidup

0Shares

Sumber gambar: lektur.id

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, seringkali kita lupa untuk menjadi manusia yang welas asih, yang peka terhadap sesama, lingkungan, dan makhluk hidup lainnya. Padahal, berbagai ajaran agama dan kepercayaan telah menekankan pentingnya menjaga kebersihan, keharmonisan alam, serta merasakan penderitaan sesama layaknya satu tubuh. Dalam Islam, konsep welas asih atau rahmah sangat ditekankan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Al-Baqarah: 195). Selain itu, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan betapa pentingnya merasakan penderitaan orang lain dan berusaha membantu mereka.

Islam juga mengajarkan konsep rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam), yang menegaskan bahwa Islam adalah agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk hidup, bukan hanya untuk umat manusia saja. Konsep ini mengajarkan kita untuk bersikap welas asih terhadap semua makhluk dan menjaga lingkungan. Selain itu, ada tiga hubungan utama yang harus dijaga dalam Islam, yaitu hablum minallah (hubungan dengan Allah), hablum minannas (hubungan dengan manusia), dan hablum minal alam (hubungan dengan alam). Ketiga hubungan ini menunjukkan betapa pentingnya keseimbangan dalam menjalani kehidupan, dengan menjaga hubungan yang baik dengan Sang Pencipta, sesama manusia, dan alam semesta.

Di dalam ajaran agama Kristen, Yesus Kristus mengajarkan cinta kasih kepada sesama. Dalam Injil Matius 22:39, Yesus berkata, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kasih yang diajarkan dalam Kekristenan adalah kasih yang aktif dan peduli, yang tidak hanya berwujud dalam perasaan, tetapi juga dalam tindakan nyata untuk menolong orang lain. Yesus Kristus mengajarkan ketekunan dalm kasih yang revolusioner terhadap semua orang. Termasuk membela yang miskin dan Tertindas. Ajaran Hindu menekankan konsep Tri Hita Karana, yang berarti tiga penyebab kebahagiaan, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan sesama manusia (Pawongan), dan manusia dengan lingkungan (Palemahan). Tri Hita Karana mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan dan keharmonisan dalam tiga aspek kehidupan ini untuk mencapai kebahagiaan yang sejati.

Selain itu, ajaran Hindu juga mengajarkan konsep Ahimsa, yaitu tidak menyakiti makhluk hidup. Mahatma Gandhi, yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Ahimsa, berkata, “Ahimsa adalah puncak dari semua kebajikan.” Dalam Bhagavad Gita, Krishna mengajarkan bahwa seorang manusia yang baik adalah mereka yang tidak mencelakai makhluk hidup dan selalu berbuat baik. Dalam ajaran Buddha, welas asih atau Karuna adalah salah satu dari empat Brahmavihara (sikap luhur). Buddha mengajarkan bahwa kita harus mengembangkan belas kasih yang mendalam terhadap semua makhluk hidup, merasakan penderitaan mereka, dan berusaha menguranginya.

Ajaran Agama Suku dan Kepercayaan Tradisional

Agama Kaharingan, yang dianut oleh sebagian besar suku Dayak di Kalimantan, mengajarkan pentingnya hubungan yang harmonis antara manusia, alam, dan roh leluhur. Prinsip ini tercermin dalam praktik sehari-hari yang menghormati alam sebagai pemberian dari para leluhur dan Sang Pencipta. Keharmonisan dengan alam adalah inti dari kepercayaan ini, mengingatkan kita untuk selalu menjaga kelestarian lingkungan sebagai bentuk syukur dan penghormatan. Pun, dalamKepercayaan Sunda Wiwitan mengajarkan hubungan yang erat antara manusia dengan alam. Konsep Tri Tangtu di Buana menekankan pentingnya keseimbangan antara alam semesta, manusia, dan Sang Pencipta. Ajaran ini mendorong pengikutnya untuk hidup selaras dengan alam, menjaga kebersihan, dan menghormati semua makhluk sebagai bagian dari ciptaan Tuhan.

Kejawen, yang banyak dianut oleh masyarakat Jawa, menekankan pentingnya keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan. Konsep Manunggaling Kawula Gusti mengajarkan kesatuan antara manusia dan Tuhan, sementara Hamemayu Hayuning Bawana mendorong manusia untuk menjaga keharmonisan dunia dan alam. Ajaran ini mengajarkan pentingnya hidup dalam keseimbangan dan menjaga hubungan baik dengan sesama serta alam sekitar. Parmalim, yang dianut oleh sebagian masyarakat Batak, mengajarkan pentingnya hidup selaras dengan alam dan sesama manusia. Parmalim mengajarkan konsep Ugamo Malim, yang menekankan kesucian, kemurnian hati, dan kejujuran dalam berhubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Pengikut Parmalim diajarkan untuk menjaga alam sebagai bagian dari tanggung jawab spiritual dan menunjukkan kasih sayang serta solidaritas terhadap sesama manusia.

Aliran Kepercayaan Tradisional Lainnya:

Berbagai aliran kepercayaan tradisional di Indonesia juga memiliki ajaran yang serupa, seperti agama Marapu di Sumba yang menghormati alam dan roh leluhur, serta agama Tolotang di Sulawesi Selatan yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan hubungan baik dengan sesama. Semua ajaran ini menggarisbawahi pentingnya welas asih, harmoni, dan penghormatan terhadap semua makhluk hidup dan lingkungan.

Pandangan Filsafat dan Humanisme tentang Welas Asih

Filsafat Stoisisme: Para filsuf Stoik, seperti Seneca dan Marcus Aurelius, mengajarkan pentingnya welas asih sebagai bagian dari kebajikan. Mereka percaya bahwa manusia harus hidup sesuai dengan alam dan memahami bahwa penderitaan adalah bagian dari kehidupan yang harus diterima dengan sikap tenang dan penuh kebijaksanaan. Welas asih dalam Stoisisme adalah tentang memahami penderitaan orang lain dan berusaha untuk membantu mereka tanpa terganggu oleh emosi negatif.

Humanisme sekuler menekankan pentingnya rasionalitas, etika, dan keadilan dalam hubungan antar manusia. Prinsip ini mengajarkan bahwa kita harus memperlakukan setiap individu dengan martabat dan hormat, serta bekerja untuk kesejahteraan bersama. Welas asih dalam konteks humanisme sekuler adalah tentang bertindak berdasarkan prinsip-prinsip moral universal yang mendorong keadilan sosial, kesejahteraan, dan hak asasi manusia. Filsafat Advaita Vedanta: Advaita Vedanta, sebuah aliran filsafat Hindu, mengajarkan konsep kesatuan seluruh makhluk hidup. Menurut ajaran ini, semua makhluk adalah manifestasi dari Brahman (Realitas Tertinggi). Kesadaran akan kesatuan ini mendorong seseorang untuk berwelas asih terhadap semua makhluk, karena pada dasarnya, menyakiti makhluk lain sama dengan menyakiti diri sendiri. Pun, Taoisme mengajarkan prinsip Wu Wei, yaitu bertindak tanpa paksaan dan hidup selaras dengan Tao (Jalan). Prinsip ini mendorong manusia untuk berwelas asih, menjaga keharmonisan alam, dan hidup sederhana. Laozi, pendiri Taoisme, berkata, “Kebaikan tertinggi adalah seperti air. Air memberikan kehidupan kepada semua makhluk tanpa menghakimi mereka.”

Welas Asih dan Lingkungan

Kita juga diajarkan untuk menjaga alam sebagai bentuk tanggung jawab dan cinta kita terhadap ciptaan Tuhan. Dalam Islam, ada konsep khalifah fil ard (pengelola bumi) yang mengajarkan bahwa manusia harus menjaga bumi dengan sebaik-baiknya. Demikian pula, dalam agama-agama lain seperti Hindu dan Buddha, alam dipandang sebagai bagian integral dari kehidupan spiritual yang harus dijaga harmoninya. Namun, kenyataan yang kita hadapi sering kali berlawanan dengan ajaran-ajaran ini.

Pembabatan hutan, pencemaran oleh tambang, dan kerusakan alam lainnya merupakan cermin dari ketidakpedulian kita terhadap lingkungan. Hal ini tidak hanya merusak alam, tetapi juga mempengaruhi kehidupan banyak orang, terutama mereka yang bergantung langsung pada alam untuk hidup. Ketidakadilan sosial, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merajalela adalah bentuk lain dari kurangnya welas asih dalam masyarakat kita. Para abdi negara yang seharusnya melayani rakyat, seringkali malah menindas dan memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi. Akibatnya, banyak rakyat yang hidup dalam ketidakpastian akan nasib mereka di masa depan.

Mewujudkan Manusia Welas Asih

Melihat berbagai ketidakadilan dan kerusakan yang terjadi, pertanyaan yang muncul adalah kapankah kita, manusia Indonesia, benar-benar menghidmati diri menjadi manusia yang memanusiakan manusia? Menjadi manusia welas asih bukan hanya tentang merasakan penderitaan orang lain, tetapi juga tentang bertindak untuk mengurangi penderitaan tersebut. Menutup tulisan ini, mari kita renungkan dan tanyakan pada diri kita sendiri, kapankah kita akan benar-benar berkomitmen untuk menjadi manusia yang peka terhadap sesama, lingkungan, dan seluruh makhluk hidup? Kapankah kita akan mulai bertindak dengan welas asih, sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan kita, demi mewujudkan dunia yang lebih adil dan harmonis? Menjadi manusia welas asih adalah sebuah perjalanan panjang yang dimulai dari diri sendiri. Semoga kita semua dapat memulainya hari ini.

Milla Joesoef

Wasekjen Suluh Perempuan

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai