9 Desember 2024

Kawin Tangkap: Kekerasan yang Dibalut dengan Dalih Menjalankan Adat Nenek Moyang

0Shares

Beberapa bulan lalu tepatnya, September 2023 kemarin di Desa Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, Nusa tenggara Timur (NTT)  terjadi suatu kejadian yang cukup memakan perhatian yaitu, peristiwa “Kawin Tangkap”. Hal ini, bukan suatu momen baru yang terjadi di daerah NTT khususnya daerah Sumba. Kawin tangkap atau dalam nama lain Wenda Mawine merupakan budaya yang  telah ada sedari dulu atau tradisi nenek moyang yang turun temurun dengan tujuan perjodohan yang diketahui langsung oleh tetua adat agar nantinya perempuan yang akan dijodohkan mendapatkan jodoh yang berasal dari kalangan keluarga sendiri atau orang yang memang mereka kenal tetapi, mengalami kesulitan dalam komunikasi dan aksesibilitas. Hal ini, sesuai dengan apa yang dikatakan salah satu aktivis yang berasal dari Sumba itu sendiri yaitu, Marta Hebi dalam wawancaranya dengan VOAIndonesia.com.

Budaya ini terus langgeng ada di masyarakat kini terjadi lantaran lain, akibat karena faktor ekonomi, status sosial, kepercayaan, dan pemahaman tentang hukum serta bagaimana masyarakat setempat memaknai praktik ini. Salah satunya yang sering pelaku gunakan adalah terhalangnya pemenuhan Belis atau dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti sebagai syarat yang diajukan pihak perempuan kepada pihak laki-laki untuk dipenuhi. Sehingga praktek-praktek tak manusiawi ini masih saja dilakukan.

Kini, dengan adanya norma, serta hukum yang telah berlaku terjadi suatu pertentangan dengan budaya kawin tangkap tersebut. Lantaran, telah melanggar serta merampas hak setiap perempuan. Hal ini, sesuai dengan kebijakan perlindungan perempuan dan Hak Asasi Manusia (HAM), serta sudah diratifikasinya CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan). Tak ayal, peristiwa yang terjadi juga dapat dikategorikan dalam suatu bentuk kekerasan seksual dan penculikan. Dalam kasus yang terjadi belakangan contohnya, korban dipaksa naik kedalam mobil pick up diangkut layaknya hewan atau barang yang tak bernyawa  dengan semaunya oleh si pelaku kawin tangkap tanpa adanya konsen atau kesepakatan bersama antara kedua belah pihak.

Selain itu, adapun jenis kekerasan seksual lain yang juga terjadi dalam praktik ini. Contohnya, korban kehilangan hak menentukan sendiri pasangan hidupnya dan  secara sukarela memasuki perkawinan maka dapat dikatakan, kawin tangkap adalah bentuk pemaksaan perkawinan yang dilarang dalam UU TPKS yang telah disahkan 2022 lalu. Persoalan kawin tangkap ini juga, dapat dikatakan sebagai kemunduran dari bagaimana seharusnya ruang-ruang aman bagi perempuan itu tercipta. Bayangkan saja berapa banyak ketakutan yang pada akhirnya tercipta dan menjadi hantu yang nampak bukan hanya pada malam hari, tetapi siang bolong mengancam ruang kebebasan mereka dalam melakukan suatu kegiatan yang dasarnya hanyalah kegiatan sehari hari saja.

Dalam beberapa kasus, perempuan pun ikut diperkosa oleh para pelaku yang menangkapnya secara ramai ramai yaitu, pada tahun 2019 lalu di Sumba Tengah  contohnya. Hal ini, jelas merupakan bentuk penindasan atau kekerasan berbasis gender yang dilakukan atas nama budaya dan lainnya yang seharusnya bisa dimaknai usang dan harus ditinggalkan. Belum lagi beberapa korban yang enggan diterima kembali oleh masyarakat akibat kasus pemerkosaan tersebut dengan ditambahnya pengaruh pemikiran konservatif  mulai dari, perempuan yang tidak perawan seakan-akan tidak diinginkan kembali. Padahal, keperawanan merupakan konstruksi sosial yang tercipta oleh masyarakat patriarki untuk melakukan kontrol tubuh perempuan dengan menciptakan stigma terus tertancap hidup dan mengakar, menganggap bahwa harga diri perempuan ada di antara kedua kaki mereka.

Maka, pantaskah atau benarkah,  suatu adat tetap dijalankan meski kini ancaman serta terbukanya pandangan baru yang menjamin bagaimana seharusnya  perempuan diperlakukan serta, melihat dari kerugiannya mungkin kawin tangkap tak  membunuh secara langsung, tetapi secara perlahan bahkan dapat berujung pada suatu hal seperti gangguan fisik maupun psikologis. Jika kini banyak di luar sana menyuarakan kebebasan bisa dikatakan, praktik yang dapat menimbulkan kematian dan kecacatan bukan jawaban dari merdekanya tubuh perempuan. Adat atau  budaya memang telah ada sejak lama, tetapi berjalannya waktu perlunya memilih milih mana yang harus dijalani, mana yang harus dihindari agar adat tetap bisa lestari tanpa harus ada korban yang mati.

Penulis: Na’ilah Panrita Hartono

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai