Apakah pernyataan tersebut membuat kamu gelisah? Kalau iya, artinya kita semua masih terperangkap dalam standar dan norma masyarakat kuno. Standar yang dianggap ajeg dan patut diterima tanpa ada pertimbangan yang subtansi tentang bagaimana membangun relasi dengan menikah.
Saya pribadi, hidup dalam kultur yang mengakui pernikahan sebagai sesuatu yang sakral. Saya menerima itu, tetapi menjadikannya sebagai sebuah keharusan adalah hal yang debatable. Mayoritas orang menikah kerap dipengaruhi cara pandang yang sempit terkait pernikahan. Menikah kerap dijadikan tolok ukur keberhasilan, kedewasaan, kebahagiaan, padahal bukan hanya terletak pada aspek itu saja.
Orang-orang menjadikan pernikahan sebagai indikator keabsahan hubungan justru kerap terjerat dalam bias-bias norma. Misalnya menormalisasi pernikahan atau perkawinan usia anak. Selain itu, melanggengkan kawin tangkap yang merupakan manifestasi kontrol masyarakat terhadap perempuan yang dibalut dalam budaya, aturan dan tata norma.
Dewasa ini, pernikahan dijadikan standar bahkan stereotype bagi perempuan. Perempuan paling sering mendapat serangan stigma akibat belum menikah atau tidak menikah sama sekali. Cara ini kian mereproduksi cara pandang yang kaku dan bias karena menormalisasi pernikahan sebagai keharusan.
Padahal, esensi pernikahan tidak sempit untuk harus dimaknai dalam aspek tersebut. Pernikahan adalah opsi mencapai keselarasan dan kesetaraan dalam hidup. Pernikahan menyelaraskan pandangan untuk hidup bersama bahkan bersama-sama hidup.
Pernikahan dibangun untuk ikatan, ikatan yang terarah pada pandangan hidup yang semakin setara bukan jeratan yang dikontruksi untuk menindas dan mengikat satu sama lain.
Pernahkah kamu mendengar kalimat, “Kamu kalau udah menikah tidak akan lagi bebas” atau “Kamu kalau udah menikah bakal ngurus anak dan di rumah aja.” Pernyataan tersebut sangat mendegradasi makna pernikahan yang bagi saya sangat sakral untuk dimaknai sebagai pembatasan kebebasan semata.
Terlalu dangkal, jika menjadikan institusi pernikahan sebagai pelanggengan domestikasi perempuan. Pernikahan adalah salah satu bagian metode dan relasi yang seharusnya menjadi sebuah pilihan, bukan keharusan atau menjadikan sebagai batas ruang gerak perempuan.
Pun, merumuskan pernikahan sebagai sesuatu yang opsional adalah sesuatu yang belum secara holistik termanifestasi dalam masyarakat kita.
Setidaknya, melalui banyak fakta, banyak pernikahan yang diisi dan diakhiri dengan kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran ekonomi, kekerasan seksual, pemaksaan dalam perkawinan hingga eksploitasi seksual. Fakta tersebut setidaknya bisa menjadi bahan pertimbangan, bahwa pernikahan bukanlah suatu keharusan melainkan sesuatu yang opsional atau pilihan sadar.
Sebagai pilihan sadar, misalnya para pastor dan biarawati memilih tidak menikah karena pilihan spritualitasnya. Atau Ibnu Taimiyah yang merupakan ulama besar dalam Islam ia juga seorang filsuf terkenal pada abad pertengahan, yang memilih untuk tidak menikah.
Jika menikah bukan solusi dan keharusan, menikah akan tetap menjadi sesuatu yang esensi. Bahkan belum dan tidak menikah pun akan tetap memiliki esensi karena mereka memilihnya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Pada akhirnya tidak ada yang salah dengan pernikahan, tetapi menjadikan pernikahan sebagai keharusan bagi orang lain, adalah cara pandang yang keliru.
Mari hargai pilihan dan keputusan hidup tiap orang, tiap perempuan. Dan belajarlah menormalisasi bahwa setiap orang punya pilihannya masing-masing. Dan belajarlah untuk menghormati pilihan masing-masing, sebab tidak semua orang punya keharusan menikah.
Fen Budiman, Sekjen Suluh Perempuan
Terkait
Film Bolehkah Sekali Saja Ku Menangis, Keberanian Melawan KDRT dan Trauma
Kepemimpinan Perempuan, Menuju Maluku Utara Adil Makmur
Sherly Tjoanda Laos: Usung Perubahan Maluku Utara