18 September 2024

Bedah Buku: Kami Menolak Menyerah

0Shares

Jakarta – Minggu 4 Agustus 2024 berlangsung kegiatan Bedah Buku “Jiwa-Jiwa Bermesin-2: Kami Menolak Menyerah” di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat.

Buku ini adalah buku kedua dari karya Petrus Hariyanto. Buku pertama bertajuk “Jiwa-Jiwa Bermesin: Memoar Para Pasien Cuci Darah” berisikan kisah-kisah para penderita gangguan ginjal kronik, yang harus menjalani pengobatan cuci darah untuk bertahan hidup.

Dalam buku “Kami Menolak Menyerah” ini Petrus Hariyanto juga berkisah tentang perjuangan dan ketabahan para pasien cuci darah. Tentang perjalanan Petrus Hariyanto bersama para pasien cuci darah serta perjuangan KPCDI  dalam memperjuangkan hak-hak pasien.

Pada pembukaan acara bedah buku tersebut, hadir dr. Ribka Tjiptaning memberi sambutannya. Selanjutnya pada sesi bedah buku hadir penulis buku yaitu Petrus Hariyanto, S.I. Kom, dengan penanggap dr. Ester Jusuf, S.H., M.Si, dan dr. Arie Sudjito, S.Sos,. M.Si. Adapun yang bertindak selaku moderator dalam acara tersebut adalah dr. Ruth Indiyah Rahayu.

Bedah Buku

Mengawali diskusi, Ester Jusuf menyampaikan bahwa, “Kesehatan masyarakat kita sedang diserang oleh kekuatan-kekuatan yang besar dan banyak.”

Ester menjelaskan ada banyak asumsi yang timbul di masyarakat bahwa orang sakit biasanya karena memiliki gaya hidup buruk seperti makan tidak teratur, tidur tidak teratur, olah raga tidak teratur, dan stress menumpuk. Padahal, menurutnya sebenarnya ada banyak faktor.

Salah satu faktornya adalah diakibatkan tidak adanya kebijakan dari negara. Dalam sistem kapitalis, kebijakan yang ada hanya menguntungkan para pemilik modal. Seperti, ketersediaan air yang tidak layak minum, makanan yang tidak sehat. Bila air minum dan makanan tidak sehat dikonsumsi terus menerus oleh masyarakat kita maka bisa dipastikan akan berujung pada masalah ginjal.

Arie Sudjito menyoroti masalah penyakit sosial. Menurutnya, di masyarakat kita banyak sekali penyakit kronis. Sakit yang dimaksud disini bukan hanya sakit sebagai masalah biologis tetapi juga sosial. Sakit sebagai dampak dari ketidakadilan, dan kita harus tahu persis di sini, di mana tanggung jawab negara?

Selaku moderator, Ruth Indiyah Rahayu membuat pernyataan yang menggelitik, “Inilah revolusi Petrus setelah menggulingkan Soeharto, terus lebih luas, menyeluruh, revolusi diri, biologis, sosial dan juga politik.”

Pendiskusian beranjak kian menarik, disampaikan bahwa perlu mendefinisikan ulang definisi sakit bukan berdasar definisi negara atau definisi industri farmasi, tetapi dengan definisi rakyat itu sendiri sebagai subyek.

Muncul gagasan terkait pentingnya alokasi anggaran kesehatan yang menyeluruh. Anggaran kesehatan seharusnya bukan hanya berfokus di pusat saja, di kementerian, BPJS dan di BPOM saja, melainkan juga menyeluruh hingga ke desa. Supaya agenda kesehatan ini masuk dan dibahas di Musrenbangdes, menjadi RPKD, mulai dari tingkat desa.

Sayangnya, selama ini anggaran-anggaran lebih besar ditujukan pada hal-hal yang tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat banyak. Anggaran yang ada justru hanya berfokus kepada pembangunan infrastruktur dan jalan.

Dibutuhkan sebuah solusi, bagaimana menciptakan kesejahteraan rakyat yang dimulai dengan adanya kedaulatan kesehatan. Perlu juga kontrol yang lebih serius dari pemerintah terhadap produk-produk yang beredar, sehingga tidak mengorbankan nasib kesehatan masyarakat.

Justisiabilitas Hak Kesehatan

Dalam forum diskusi mencuat perihal justisiabilitas hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dari salah satu audiens. Justisiabilitas dalam pendekatan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya merujuk pada kemampuan dari hak-hak tersebut untuk menjadi subyek penegakan hukum melalui pengadilan. Dengan kata lain, penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak ekonomi, sosial, dan budaya dapat dituntut di pengadilan. Jadi, jika terjadi pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia, pengadilan dapat memainkan peran penting dalam menegakkan keadilan dan memberikan ganti rugi.

Dalam hal ini, yakni kesehatan, justisiabilitas hak kesehatan mengacu pada kemampuan individu untuk memperjuangkan dan melindungi hak-hak kesehatan mereka melalui sistem peradilan. Di Indonesia, hak atas kesehatan diatur dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Meskipun demikian, terdapat tantangan dalam implementasi dan perlindungan hak ini. Tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas kesehatan juga menjadi perdebatan penting, terutama dalam konteks ruang lingkup dan bentuk tanggung jawab yang harus diambil oleh pemerintah.

Mila Nabilah

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai