Dibalik reputasi yang gemilang, dihormati, dan sarat pengabdian, ternyata sistem pendidikan kedokteran sangat feodalistik. Tentu saja, pernyataan ini bukan sekedar pernyataan, namun menyimpan banyak makna. Bahwa ada masalah besar dalam institusi pendidikan kedokteran kita yang belum terungkap secara gamblang.
Bukan kali ini saja narasi ini muncul namun sudah berkali-kali. Banyak cerita dari dokter muda hingga calon dokter spesialis tentang bagaimana mereka diperlakukan tidak sewajarnya. Bahkan, baru-baru ini publik disuguhi kasus perundungan yang berbuntut kematian dokter muda mahasiswa PPDS Universitas Diponegoro di Semarang. Sebelumnya, Universitas Pajajaran juga memecat 2 mahasiswa karena kasus perundungan. Mungkin masih banyak lagi kasus yang belum terungkap.
Senioritas dan Kultur Toxic
Pendidikan kedokteran di Indonesia, bukan hanya sangat mahal. Tetapi sarat dengan pemerasan, gratifikasi, eksploitasi berkedok pengabdian, kelebihan jam kerja, hingga bullying dan relasi senioritas. Hierarki dalam pendidikan kedokteran ini tentu bukan hal baru. Kultur toxic ini dipelihara berpuluh-puluh tahun lamanya berakar dalam wajah yang sangat menindas. Rekan saya, sebut saja Ricky (bukan nama sebenarnya) mengatakan, “Sejak saya masuk sekolah kedokteran, saya sudah mengalami perundungan.” Sama halnya dengan Fina (bukan nama sebenarnya) yang mengatakan “Saya harus membeli makanan untuk dokter-dokter senior, sewaktu saya menjalani Pendidikan PPDS.”
Tentu saja kasus Ricky dan Fina adalah potret buram wajah pendidikan kedokteran yang sebenarnya. Menunjukkan betapa tidak manusiawinya perlakuan para dokter senior kepada juniornya. Sebenarnya senioritas adalah warisan feodal yang sangat menciderai hak asasi manusia dan membatasi ruang pendidikan yang inklusif dan kolaboratif. Budaya senioritas dengan hierarki yang begitu ketat, sangat merendahkan martabat individu para dokter dan calon dokter. Padahal, jika kita membaca buku sejarah pergerakan dokter Indonesia yang ditulis Hans Pols, semangat pergerakan para dokter pada masanya adalah semangat melawan penindasan, melawan kolonialisme dan feodalisme di Indonesia.
Feodalisme dalam pendidikan kedokteran juga tampak dalam bentuk praktik diskriminatif. Mahasiswa yang berasal dari latar belakang sosial atau ekonomi yang kurang beruntung mungkin menghadapi hambatan lebih besar dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang memiliki privilege. Ada istilah “darah biru” dalam lingkungan Pendidikan kedokteran, termasuk status ekonomi dan strata sosial. Darah biru biasa diidentikkan dengan mereka yang berasal dari keluarga pejabat atau keluarga dokter. Ada privilege khusus bagi mereka yang disebut dengan turunan “darah biru” dan tentu saja ada praktik diskriminasi bagi golongan dokter yang tidak masuk dalam kategori ini.
Praktik buruk dalam dunia kedokteran ini bukan saja merusak generasi. Namun juga merusak masa depan layanan kesehatan yang inklusif, non diskriminasi di Indonesia. Sadar atau tidak, budaya perundungan, diskriminasi, relasi kuasa telah mereproduksi pendidikan kedokteran yang minim empati dan menindas manusia lain. Wajah pendidikam kedokteran yang sarat bullying dan perundungan, akan sangat mempengaruhi layanan kesehatan bagi individu atau masyarakat.
Budaya hierarki yang tidak sehat dari senior terhadap junior, sebenarnya praktik lama yang menggerogoti tubuh pendidikan kedokteran. Sayangnya, ini dinormalisasi sebagai bagian dari kewajiban dan proses yang harus dilewati. Permasalahan ini tentunya bukan hanya masalah institusi, tapi masalah besar bagi negara. Terlebih masalah dalam menentukan kualitas sumber daya manusia dokter yang terbentuk melalui penindasan secara struktural.
Komersialisasi dan Eksploitasi Berkedok Pengabdian
Pada masa pandemik Covid-19 lebih dari 2000 tenaga kesehatan di Rumah sakit Darurat Wisma Atet tidak mendapatkan insentif selama enam bulan. Lebih dari 1000 dokter tidak mendapatkan hak insentif dalam enam bulan berjalan. Ironisnya, para tenaga kesehatan ini justru mendapat beragam pernyataan, “Kalau tidak ingin bekerja sebagai relawan, silahkan keluar.” Relawan kan tidak perlu digaji.” Sangat menyedihkan. Padahal, ada kebijakan dan regulasi aturan yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) nomor HK.01.07/MENKES/4239/2021 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani COVID-19.
Eksploitasi berkedok pengabdian ini bukan hanya dilakukan saat pandemi Covid-19 namun sudah dilakukan bertahun-tahun lamanya. Faktanya, Pendidikan bagi calon dokter membutuhkan biaya puluhan juta rupiah bahkan ratusan juta rupiah. Tak hanya itu, bagi calon dokter spesialis yang sebelumnya dokter umum, pengabdiannya tidak dihitung. Karena dianggap bagian dari praktik saat menjalani pendidikan sebagai calon dokter spesialis. Padahal, mereka turut merawat dan mengobati pasien, dengan jam kerja di rumah sakit.
Pada masa pendidikan mereka bahkan diberikan regulasi dan kebijakan sepihak atas dasar senioritas. Misalnya Handphone harus aktif 24 jam, wajib membeli makanan untuk dokter senior, dokter semester awal tidak boleh bicara tanpa izin dari senior diatasnya, Para dokter junior juga mengalami kekerasan ekonomi, verbal abuse, kekerasan psikis hingga sejumlah regulasi menindas lainnya.
Dokter Melawan Feodalisme dan Kolonialisme
Hans Pols dalam bukunya Merawat Bangsa, Sejarah Pergerakan Dokter Indonesia, menuliskan tentang hubungan kedokteran, sains dan kemajuan. Para dokter Indonesia pada masanya mengartikulasikan kemerdekaan dari negara kolonial. Mereka memiliki posisi ideal dan kritis dalam mendiagnosis “tubuh sosial” di masa Kolonial. Keterlibatan para dokter ini, menjadi pelajaran penting bagaimana mereka berani memangkas sumber penindasan dan menjadikan negara yang merdeka dan sehat.
Dokter Indonesia pada masa itu, berani melawan kolonialisme, feodalisme dan praktik-praktik buruk intervensi militer. Mereka berani membangun narasi dan aspirasi di tengah lingkungan kolonial. Para dokter begitu tajam menganalisis situasi sosial yang berkaitan dengan penyakit pada masa itu. Tetapi juga membangun jaringan yang kuat dalam perkumpulan dokter Hindia Belanda, aktif menjadi jurnalis, penulis dan editor.
Nama dokter W.K Tehupeiory sangat popular pada masa itu, ia mengatakan, “Apakah ada ilmu pengetahuan yang lebih bermoral daripada ilmu kedokteran? Begitu banyak kebajikan diberikan melalui pendidikan kedokteran karena setiap pertemuan medis adalah pencarian kebenaran. Hasrat mencari kebenaran, amal kasih, dan perilaku sosial penuh keteladanan dikembangkan.”
Bagi Dokter Tehupeiory, pendidikan kedokteran justru memberi pelajar pribumi sebuah kompas moral yang superior. Pelajar yang lebih tua memberikan dukungan dan arahan moral kepada pelajar yang lebih muda. Dokter Tehupeiory terkenal berani membahas berbagai diskriminasi terselubung pada kelompok dokter Hindia Belanda saat itu.
Keberanian dan idealisme para dokter di masa itu, mestinya diwarisi oleh dokter masa kini. Belajar dari sejarah, mereka adalah dokter yang anti penindasan dan berani melawan penindasan. Satu-satunya yang dimiliki para dokter itu, selain pengetahuan adalah idealisme. Idealisme yang anti terhadap beragam jenis penindasan. Idealisme yang tidak mau dikangkangi oleh diskriminasi, apalagi dikuasai perilaku bullying dan atau perundungan oleh senior. Sejarah dokter Indonesia adalah sejarah pergerakan. Bukan saja melawan penyakit dimasa itu, tapi melawan kultur toxic, melawan feodalisme hinga kolonialisme.
Pentingnya Membangun Gerakan Alternatif
Dalam merespon banyak kasus, tenaga medis perlu memiliki asosisasi atau serikat independent. Organisasi independen yang akan fokus pada pemberantasan praktik-praktik feodalisme, senioritas yang toxic, praktik perbudakan modern, dan pungli. Organisasi ini dapat berfungsi sebagai wadah advokasi, pendampingan hukum, dan pengawasan terhadap kebijakan serta praktik yang merugikan. Lewat organisasi ini juga, tenaga medis dapat mengkampanyekan kesadaran yang luas. Melakukan kampanye untuk meningkatkan kesadaran di kalangan tenaga medis dan masyarakat luas tentang isu-isu feodalisme, perbudakan modern, dan kekerasan psikis.
Kampanye ini dapat dilakukan melalui media sosial, seminar, dan diskusi publik. Cara ini sebagai langkah dalam meningkatkan pemahaman tentang hak-hak tenaga medis, serta cara mengatasi dan melaporkan pelanggaran yang terjadi di tempat kerja, praktik atau institusi pendidikan. Ini termasuk pendidikan mengenai etika profesional, hukum ketenagakerjaan, hingga mekanisme pengaduan. Memang, ada beragam kesulitan dan level kesadaran indvidu yang berbeda, tetapi mendiamkan penindasan, sama dengan menormalisasi penindasan terus terjadi. Langkah-langkah ini perlu diinisiasi bersama atas nama solidaritas terhadap seluruh sejawat yang mengalami perundungan, bullying, eksploitasi hingga pungutan liar dalam lingkungan institusi Pendidikan. (*)
Penulis: Ns. Fentia Budiman, S. Kep
(Perawat, Koord. Jaringan Nakes Indonesia & Anggota Dokter Tanpa Stigma)
Terkait
Cerita Perempuan Batulawang, Memperjuangkan Hak Atas Tanah
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan