Saya membaca tulisan di Project Multatuli soal “Darurat Aktivisme Borjuis.” Tulisan itu membuat saya berulangkali mempertanyakan dimana letak borjuasinya, siapa yang borjuis? dan apa yang salah? Tentu ini jadi pertanyaan kunci banyak orang dan mengapa penulis menuliskan hal itu.
Bagi saya, narasi aktivisme borjuis tidak relevan dan tidak tepat dipakai dalam situasi ‘genting’ #PeringatanDarurat yang telah membuat semua orang memproyeksikan pandangan ‘kita semua akan celaka’ jika RUU Pilkada disahkan.
Penulis menurutku gagal mempraksiskan ‘pandangan’ obyektif terhadap situasi gerakan. Penulis gagal melihat gerakan dari masa ke masa di Indonesia, bahwa gerakan itu telah mengalami transformasi.
Kenapa saya mengatakan demikian? Karena situasi dan lapisan masyarakat tahun 1945, tahun 1965, tahun 1998 hingga tahun 2024 itu era yang berbeda-beda. Struktur masyarakat juga berbeda, dan suprasturuktur dalam masyarakat (ideologi, politik, hukum) itu berbeda-beda di setiap masa.
Gerakan menolak RUU Pilkada merupakan hasil dari kondisi material dan hubungan kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Superioritas, kelaliman yang direspon serentak tanpa ‘menunggu ada kepemimpinan yang solid dan maju.’ Itu level praksis yang harus diakui sebagai gerakan yang terpimpin atas kesadaran ‘situasional.’ Bukan sekedar ‘merengek’ terhadap pemerintah.
Bagi saya tulisan “Darurat Aktivisme Borjuis” yang dimuat dalam Project Multatuli tersebut, bukan saja gagal paham, tapi sedang mengeliminasi nilai-nilai gerakan yang sebenarnya bertransformasi dari masa ke masa.
Belajar Membaca Transformasi Gerakan
Dalam beberapa poin, ada hal yang saya sepakat, yakni bagaimana membangun gerakan radikal tumbuh menjadi sebuah blok politik rakyat yang besar. Tetapi, penulis juga harus belajar menemukenali bagaimana dialektika bahkan basis materiil membangun gerakan dari pemberangusan PKI dan Gerwani di tahun 1965.
Bagi saya tulisan yang ditampilkan semacam ini tidak sedang melihat lapisan kesadaran struktural gerakan rakyat yang mulai terbangun dengan level kelas yang beda-beda. Kegagalan penulis melihat gerakan ini saya sebut ahistoris karena gagal memproyeksikan dialektika, basis riil gerakan dari tahun ke tahun, hingga tumbuh beragam perlawanan dari berbagai lapisan kelas.
Penulis gagal melihat perubahan sosial sebagai hasil dari proses yang dialektis. Pun, perjuangan akar rumput hingga para ‘individu’ mengidentifikasi diri borjuis mulai bertransformasi secara kesadaran dan pengetahuan soal lalimnya pemerintahan itu, kini kian terbangun
Pentingnya Menghargai Inklusivitas Gerakan
Bagi saya, gerakan itu perlu berinterseksionalisasi satu sama lain. Kalau berharap revolusi hanya dipimpin oleh yang katanya ‘solid dan maju’ itu utopis dan ‘kaku’. Menginterpretasikan bahwa ada potensi-potensi kesadaran ‘lain’ yang menguat di tengah-tengah gempuran oligarki.
Tentu saja, ini bukan saja kelompok rakyat miskin yang dirugikan tapi semua kelompok marjinal hingga lapisan kelas. Kesadaran politik Reza Rahardian, belum tentu bisa diproyeksikan sebagai sesuatu yang cair semata. Bisa jadi, suara Reza Rahadian, Bintang Emon, Ernest, dan lainnya menjadi perpanjangan bagi semua orang yang mengidolakannya untuk membangun pikiran kritis. Berguna? Tentu berguna.
Jika kita tarik mundur, pasca Kejatuhan PKI dan ormas Gerwani, apakah ada organisasi perempuan yang mampu mengorganisir jutaan perempuan dengan agenda progresifnya sampai saat ini? Ada! Tapi, gerakan perempuan masa kini yang maju dan progresif tapi ekspansif seperti Gerwani itu membutuhkan waktu yang cukup panjang.
Di sektor perjuangan perempuan, UU TPKS pun memakan waktu yang lama untuk disahkan. Kita harus demo berkali-kali, rapat dengan DPR berkali-kali, baru ada pengesahan. Bahkan RUU PPRT yang bertahun-tahun tidak pernah disahkan sampai saat ini.Bandingkan dengan RUU Pilkada yang sekejap hampir disahkan. Kebayang kan level stressnya.
Jadi kalau sekedar nyinyir dan membangun sinisme terhadap gerakan, mending jangan membuang narasi yang hanya menjadikan kita ‘ber-onani intelektual’ tapi lupa bahwa ada kesadaran kritis yang perlu dibangun berpuluh-puluh tahun karena gerakan kiri di Indonesia mengalami pemberangusan.
Itu peristiwa traumatis yang tidak bisa hilang dalam sekejap. Bahkan kita dibelenggu oleh negara yang oligarkis dan memiliki kekuatan lebih dalam menguasai sumberdaya. Apakah berarti saya pesimis? Tidak!
Saya menginginkan sebuah perubahan revolusioner yang besar menuju masyarakat yang adil dan egaliter, tapi memproyeksikan dengan rupa yang hanya mengandung ‘sinisme’ dan pola-pola nyinyir justru sama sekali tidak berguna dan sia sia
Kita perlu merawat kesadaran kritis, membangun gerakan yang berinterseksionalitas satu sama lain, dan mengakui adanya mereka yang mau bersolidaritas dengan kaum lemah dan tertindas sebagai bagian dari inklusivitas bergerakan.
Pun, saya meyakini bahwa ada kebutuhan membangun gerakan yang semakin luas dan besar secara berkepanjangan. Tapi merespon sekilas dengan menganggap mereka itu massa yang hanya ‘menuntut’ ‘merengek’ bahkan menginginkan jangan ada massa sporadik itu terlalu konvensional dan ahistoris.
Fen Budiman
Sekretaris Jendral Suluh Perempuan
Terkait
Cerita Perempuan Batulawang, Memperjuangkan Hak Atas Tanah
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan