17 November 2025

Leila S. Chudori dan Upaya Merawat Ingatan yang Disenyapkan

Kredit foto: The Jakarta Post

0Shares

Ada bagian-bagian dari sejarah Indonesia yang sengaja disamarkan, disunyikan, bahkan dihapuskan dari ingatan kolektif. Cerita-cerita getir itu hanya beredar lewat bisik-bisik, lewat warisan lisan yang berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di ruang sunyi inilah Leila S. Chudori bekerja—bukan sebagai sejarawan, melainkan sebagai penulis yang memberi tubuh bagi mereka yang tak tercatat dalam arsip resmi negara.

Sebagai perempuan penulis, Leila memosisikan dirinya bukan sekadar perangkai fiksi, tetapi pencatat celah-celah kosong dalam sejarah. Ia menolak menyebut karya-karyanya sebagai historical fiction. Menurutnya, para akademisi lebih tepat menyebutnya in the wake of history—berdiri di jejak sejarah, menghidupkan mereka yang hidupnya disingkirkan.

“Saya menulis tokoh-tokoh yang tidak tercantum dalam sejarah resmi. Mereka korban yang hidupnya sunyi, yang hanya muncul dalam sejarah lisan,” kata Leila dalam diskusi Par les mots di IFI Jakarta, Kamis (13/11/2025).

Leila Chudori (dua dari kiri) dalam sesi penulis perempuan Par les mots – Lewat Kata-kata di IFI Thamrin, Jakarta, Kamis (13/11/2025).
Foto: KOMPAS

Lewat novel Pulang, Laut Bercerita, dan Namaku Alam, Leila membuktikan bagaimana sastra dapat menjadi ruang merawat ingatan.

Pulang—yang telah diterjemahkan ke lima bahasa—mengajak pembaca memasuki dunia para eksil 1965.

Laut Bercerita, yang telah menembus lebih dari 108 cetakan, membuka kembali ruang gelap hilangnya aktivis 1998.

Sementara Namaku Alam menggarisbawahi bahwa trauma tidak berhenti pada satu generasi.

“Ini sudah menyentuh tiga generasi,” ujarnya. “Mereka yang di Pulau Buru tanpa pengadilan, lalu anak-anaknya, lalu cucunya. Ada yang menyebutnya ‘dosa turunan’. Itu tidak adil, tapi itu kenyataan yang terjadi.”

Pada titik ini, Leila berbicara bukan hanya sebagai penulis, tetapi juga sebagai saksi atas ketidakadilan yang diwariskan. Ia mengingat masa Orde Baru, ketika kebijakan “bersih diri bersih lingkungan” membuat banyak keluarga penyintas hidup dalam pembatasan: tidak boleh menjadi PNS, tidak boleh menjadi guru, bahkan menjalankan bisnis pun dipersulit. “Ada yang bekerja dengan nama samaran hanya untuk bertahan,” ucapnya.

Leila juga melihat perubahan menarik dalam cara generasi muda membaca sejarah. Ketika negara gagal memberikan penjelasan yang jujur, sastra justru hadir sebagai penunjuk jalan. Sampul Laut Bercerita—warna-warni dengan gambaran laut yang indah namun menyimpan kaki yang dirantai—menjadi metafora dari kenyataan itu.

“Kita negara yang indah,” kata Leila, “tapi keindahan itu berdampingan dengan sejarah yang belum dituntaskan.”

Profil Leila S. Chudori

Leila S. Chudori lahir pada 12 Desember 1962. Ia dikenal sebagai jurnalis senior, editor, dan salah satu penulis penting Indonesia yang banyak mengeksplorasi tema sejarah, ingatan, dan trauma kolektif. Leila memulai kariernya sebagai jurnalis di Tempo sejak usia sangat muda dan terus aktif hingga kini. Sebagai penulis, karya-karyanya—seperti 9 dari Nadira, Pulang, Laut Bercerita, dan Namaku Alam—menempatkannya sebagai suara penting dalam sastra Indonesia kontemporer, terutama dalam mengangkat kisah mereka yang disenyapkan negara.

(Ditulis ulang dari Kompas)

0Shares