27 September 2025

Perdagangan Orang di Era Digital: Negara Harus Hadir Melindungi Korban

0Shares

Peringatan Hari Internasional Melawan Perdagangan Orang 2025

Memperingati Hari Internasional Melawan Perdagangan Orang, Komnas Perempuan kembali menyerukan pentingnya penguatan langkah-langkah pencegahan, penanganan, dan pemulihan terhadap korban perdagangan manusia, khususnya di tengah semakin kompleksnya modus operandi di era digital.

Perdagangan orang tidak lagi berlangsung secara konvensional. Saat ini, jaringan pelaku semakin canggih memanfaatkan teknologi digital. Dari rekrutmen lewat media sosial, penipuan kerja online, hingga eksploitasi dalam bentuk kerja paksa, perdagangan seks, penjualan organ tubuh, dan pengantin pesanan—semuanya menunjukkan pola yang kian sulit dikenali. Bahkan, perempuan juga dipaksa menjadi operator judi daring dan penipu digital lintas negara.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan periode 2020–2024 mengungkapkan bahwa ada sedikitnya 267 kasus TPPO yang melibatkan perempuan sebagai korban, dengan spektrum eksploitasi yang sangat luas.

“Di balik wajah digital yang terlihat modern, eksploitasi justru semakin tersembunyi dan rumit. Negara tak boleh lalai. Pendekatannya harus berubah—adaptif dan berpihak pada korban,” kata Komisioner Yuni Asriyanti.

Komnas Perempuan juga menyoroti fakta bahwa masih banyak korban justru dikriminalisasi. Mereka yang mengalami eksploitasi kerap menghadapi deportasi, pelabelan sebagai pelaku, atau diproses hukum karena dokumen yang tidak lengkap.

Padahal, prinsip internasional menekankan bahwa korban perdagangan orang harus dilindungi, bukan dihukum. Prinsip Non-Pemidanaan, sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi HAM internasional dan regional seperti Konvensi ASEAN, menuntut negara menjamin perlindungan dan pemulihan korban.

“Pemidanaan terhadap korban adalah bentuk kekerasan lanjutan. Perlindungan seharusnya menjadi tanggung jawab negara, bukan menambah penderitaan mereka,” ujar Komisioner Devi Rahayu.

Komnas Perempuan juga mengingatkan bahwa Perdagangan Orang harus dilihat dari lensa keadilan gender. Ketimpangan kuasa, diskriminasi terhadap perempuan, dan kemiskinan struktural adalah akar masalah yang harus disasar secara sistemik.

Negara diminta mengambil pendekatan menyeluruh: memperkuat regulasi pasar tenaga kerja, sistem perlindungan sosial, pendidikan, literasi digital, dan layanan pemulihan yang manusiawi, tanpa diskriminasi terhadap korban, termasuk mereka yang tidak memiliki dokumen resmi.

Komisioner Irwan Setiawan, Ketua Gugus Kerja Perempuan Pekerja, juga menegaskan pentingnya pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 agar lebih responsif terhadap dinamika eksploitasi modern.

“Sudah waktunya negara beralih dari pendekatan yang hanya fokus pada penindakan pelaku, menuju kebijakan yang menekankan pencegahan, perlindungan, dan pemulihan korban secara menyeluruh,” tutup Irwan. (*)

Kredit foto: Tujuh pekerja migran perempuan ilegal asal Nusa Tenggara Barat berhasil diselamatkan dari dugaan upaya perdagangan manusia dalam operasi yang digelar pada 29 Maret. (Arsip Polda Nusa Tenggara Barat)

Sumber: Siaran Pers Komnas Perempuan Memperingati Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia 2025

0Shares