Oleh: Mansurni Abadi
Untuk pertama kalinya, Indonesia memiliki kementerian tersendiri yang bertugas melindungi pekerja migran. Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) dibentuk di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebagai bentuk komitmen terhadap perlindungan tenaga kerja migran, terutama yang berasal dari Indonesia.
Langkah ini membuat Indonesia menyusul Bangladesh dan Filipina yang lebih dahulu mendirikan kementerian sejenis guna menangani diaspora pekerjanya di luar negeri. Sebelum adanya kementerian ini, tugas tersebut dijalankan oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2PMI), yang dibentuk sejak tahun 2016 menggantikan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Transformasi menjadi kementerian ini mengacu pada Undang-Undang No. 18 Tahun 2017.
Langkah pembentukan kementerian ini dinilai sebagai terobosan politik yang positif, memberikan harapan bagi para pekerja migran, khususnya mereka yang berada di sektor informal. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan pada Agustus 2023 menunjukkan bahwa 62% dari total pekerja migran resmi Indonesia adalah perempuan. Namun, di sisi lain, muncul pula pandangan kritis yang mempertanyakan efektivitas kementerian ini dalam jangka panjang.
Potret Dinamika Pekerja Migran Perempuan
Menjadi perempuan dan memutuskan untuk merantau ke luar negeri bukanlah pilihan yang mudah. Di banyak negara, termasuk Indonesia, norma sosial masih menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak setara dengan laki-laki. Ketimpangan ini melahirkan berbagai ketidakadilan, salah satunya adalah beban ganda.
Sebagian besar pekerja migran perempuan bekerja di sektor domestik seperti rumah tangga, meskipun ada juga yang bekerja di industri layanan, pabrik, hingga perhotelan. Mereka berasal dari beragam kelompok usia, dari sangat muda hingga lanjut usia. Di negara seperti Malaysia, tempat penulis berdomisili, keberadaan mereka sangat terlihat, baik yang resmi maupun tidak.
Motivasi perempuan menjadi pekerja migran pun beragam, mulai dari faktor ekonomi, keinginan mencari pengalaman, hingga kebutuhan untuk keluar dari permasalahan pribadi. Dalam banyak penelitian, kontribusi mereka terbukti signifikan, mulai dari penguatan ekonomi keluarga, pemberdayaan masyarakat melalui wirausaha, hingga sumbangsih dalam bentuk devisa negara.
Namun sisi gelap kehidupan pekerja migran perempuan juga nyata. Kasus kekerasan, eksploitasi, pemerkosaan, hingga hukuman mati yang tanpa pemberitahuan kepada keluarga atau negara asal kerap mencuat. Kasus tragis yang menimpa empat TKW di Arab Saudi—Ruyati, Siti Zaenab, Karni, dan Yanti Irianti—menjadi potret kelam dari sistem perlindungan yang lemah.
Kiprah yang Dinantikan dari Kementerian P2MI
Keberadaan Kementerian P2MI menjadi harapan baru bagi pekerja migran, terutama perempuan. Diharapkan kementerian ini mampu menjadi pembeda dan bekerja lebih efektif dibandingkan pendahulunya. Namun, hal itu hanya akan terwujud jika dibarengi dengan langkah konkret dan kebijakan menyeluruh.
Pengawasan ketat terhadap agen penyalur tenaga kerja menjadi hal yang mendesak. Mekanisme perekrutan harus adil, tidak diskriminatif, dan tidak membebani secara biaya maupun birokrasi. Pemerintah juga perlu membangun kerja sama lintas negara, termasuk dengan NGO dan CSO, serta mendukung organisasi pekerja migran di dalam dan luar negeri.
Akses layanan seperti hotline juga harus ditingkatkan kualitasnya agar benar-benar menjadi saluran penyelamat ketika terjadi masalah. Selain itu, pelatihan dan pendidikan pra-penempatan menjadi kunci untuk meningkatkan kapasitas dan kepercayaan diri para calon pekerja migran.
Sosialisasi di daerah-daerah asal pekerja migran harus ditingkatkan untuk memperkuat kesadaran dan kesiapan masyarakat. Pada akhirnya, jika kementerian ini ingin berperan strategis dan relevan, kolaborasi lintas sektor serta keterbukaan terhadap kritik harus menjadi nilai utama dalam pelaksanaannya.
Tentang Penulis
Mansurni Abadi adalah mahasiswa Jurusan Filsafat di Universitas Avondale, Coranborg, Malaysia. Ia dapat dihubungi di abadimansur25@gmail.com
Terkait
Penulisan Ulang Sejarah Berpotensi Mereduksi Peran Perempuan dalam Sejarah
Indonesia Gelap: Potret Ketidakadilan Struktural
Literasi Keuangan: Bijak Meminjam, Waspada Jerat Pinjol Ilegal