Dulu, pada 13 Juli 1985, Bob Geldof dan Midge Ure menggelar konser rock bertema Live Aid secara kolosal, acara ini diadakan untuk mengumpulkan dana bagi penanggulangan kelaparan di Ethiopia. Live Aid serentak diselenggarakan di stadion Wembley London, stadion JFK Philadelphia Amerika Serikat, juga di kota Sydney dan Moskwa.
Sekarang, pada Rabu malam 17 September 2025, di tempat yang sama Wembley, London, lebih dari 70 penampil menggalang dana dalam konser bertajuk ‘Together for Palestine’ yang mempertemukan musisi Palestina dengan bintang-bintang seperti Neneh Cherry dan Louis Theroux. Konser ini diinisiasi oleh Brian Eno, seorang produser dan komposer, yang telah mempersiapkan konser itu selama 18 bulan.
Seperti tajuknya, dana yang terkumpul dari hasil penjualan tiket maupun donasi terbuka di website https://donate.togetherforpalestine.org akan diperuntukkan bagi warga sipil yang saat ini sedang mengalami kengerian perang dan genosida di Gaza. Juga di alokasikan untuk pekerja medis di Palestina, serta organisasi atau badan amal.
Together for Palestine dihadiri 12.500 penonton secara langsung, konser berlangsung selama 4 jam menampilkan pertunjukan musik, pidato, pembacaan puisi, juga seni visual. Mengutip Media Indonesia, pada akhir acara diumumkan dana yang telah terkumpul mencapai 1,5 juta poundsterling (Rp. 33,8 miliar lebih).
Suara Perempuan Menggema di Konser Together for Palestine
Di tengah sorak-sorai dan air mata ribuan penonton, suara perempuan tampil menjadi ruh penting dalam konser solidaritas ini. Melalui musik, puisi, dan pidato, mereka menghadirkan kisah tentang kehilangan, harapan, dan keberanian untuk bersuara.
Nai Barghouti, penyanyi Palestina, membawakan lagu baru dengan lirik dari puisi “If I Must Die” karya Refaat Alareer, penyair Gaza yang gugur pada 2023. Dengan vokalnya yang kuat, ia menghadirkan kesedihan yang mendalam, sekaligus pesan abadi bahwa kehidupan dan perlawanan bisa lahir dari puisi.
Paloma Faith menyanyikan lagu baru yang lahir dari pengalamannya mengikuti aksi solidaritas bersama anaknya. Sebelum bernyanyi, ia menegaskan, “Diam di hadapan penderitaan seperti ini bukanlah netralitas, tetapi harus terlibat.”
Annie Lennox menampilkan versi khusus dari lagunya, “Why? – For Gaza”. Ia menambahkan bait baru yang menyinggung suara drone, dentuman senjata, dan tubuh yang berjatuhan, menjadikan lagu klasik itu sebagai jeritan kemanusiaan untuk Gaza.
Cat Burns dan Rachel Chinouriri hadir dengan harmoni intim lewat lagu “Even”. Penampilan sederhana namun emosional ini menegaskan kekuatan solidaritas lintas generasi.

Selain musik, puisi juga hadir dibacakan penuh kedalaman emosional. Ruth Negga, aktris berdarah Ethiopia–Irlandia, membacakan karya Mahmoud Darwish, ‘On This Land There Are Reasons to Live’:
“Di negeri ini, ada sesuatu yang layak untuk hidup: aroma roti pada fajar, doa seorang perempuan, bayangan menyatu dengan sinar matahari, dan hak seorang perempuan untuk menangis dengan bebas.”
Puisi ini bergema sebagai pengingat bahwa Palestina bukan hanya kisah konflik, tetapi juga tanah dengan kehidupan, budaya, dan hak yang layak untuk dijaga.
Tak ketinggalan, sejumlah perempuan berbicara lantang melalui pidato yang mengguncang panggung. Florence Pugh, aktris Inggris, menyerukan agar dunia tidak lagi diam:
“Netral atau diam bukan pilihan. Berikan suara Anda untuk Palestina. Dan ketika suara Anda mulai serak, kibarkan bendera, kenakan keffiyeh Anda.”
Nicola Coughlan, bintang serial Bridgerton, menyindir artis-artis besar yang memilih bungkam:
“Ada banyak artis yang aku suka, yang aku tahu kamu juga suka, punya ratusan ribu pengikut, dan mereka diam tidak mengatakan apa-apa mengenai situasi di Gaza.”
Laura Whitmore, presenter asal Irlandia, berbicara sebagai seorang ibu:
“Saya tidak bisa membayangkan anak-anak saya kelaparan, tanpa perlindungan. Kita semua, sebagai orang tua dan manusia, punya tanggung jawab untuk membela mereka.”
PinkPantheress, penyanyi muda Inggris, menegaskan:
“Kita punya tanggung jawab untuk menggunakan platform kita. Netral atau diam bukanlah pilihan.”
Seni sebagai Suara Kemanusiaan
Lewat lagu, puisi, dan pidato, para perempuan di Together for Palestine menjadikan seni sebagai bahasa untuk kemanusiaan. Mereka mengingatkan dunia bahwa solidaritas bukan sekadar simbol, melainkan tindakan nyata: bersuara, berjejaring, dan terus menggaungkan pembelaan untuk Palestina.
Suara perempuan bukan hanya menghibur, tapi juga menggetarkan, sebuah seruan bahwa Palestina layak untuk diperjuangkan, didengar, dan dicintai. Dan konser Together for Palestine kembali menegaskan, bahwa seni tidak diam dihadapan penderitaan.(*)
(Sukir Anggraeni, dari berbagai sumber)
Terkait
25 Ribu Petani Tuntut Pemerintah Tuntaskan Reforma Agraria
Giliran Genzi Filipina Turun Aksi, Tuntut Hentikan Korupsi Proyek Banjir
Perempuan Ojol yang Memimpin Perlawanan, Kisah Lily Pujiati dan Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI)