27 September 2025

Seruan Perlawanan Kolektif dari Women’s March Jakarta 2025

0Shares

Women’s March Jakarta (WMJ) 2025 kembali hadir sebagai ruang perlawanan kolektif perempuan dan kelompok rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan struktural. Seruan aksi sekaligus konferensi pers berlangsung pada Jumat (26/9/2025) di Komnas Perempuan Jakarta, dengan tema besar “Tubuh Bukan Milik Negara”. Tema ini menjadi momentum refleksi sekaligus seruan perubahan atas kondisi sosial yang mengekang tubuh, identitas, dan ruang hidup perempuan serta rakyat kecil.

Tema tersebut dipilih sebagai respons atas maraknya kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS) yang semakin mengkhawatirkan di Indonesia. Sejumlah aktivis dan perwakilan organisasi masyarakat sipil menyampaikan kesaksian serta analisis kritis terhadap kebijakan negara yang dianggap belum berpihak pada perempuan, komunitas adat, pekerja rumah tangga (PRT), penyintas kekerasan, disabilitas, dan kelompok ragam gender serta seksualitas.

“Ketika kita mengangkat tema Tubuh Bukan Milik Negara, yang kita maksud bukan hanya tubuh perempuan, tapi juga tubuh ibu pertiwi beserta seisinya, yang kini mengalami kekerasan masif berupa eksploitasi, kriminalisasi, dan privatisasi,” — Riska Carolina, Co-Koordinator WMJ 2025.

Selain itu, isu hukum menjadi salah satu sorotan utama. Peserta aksi menyoroti lambannya pengesahan RUU Perlindungan PRT, revisi KUHP yang belum berpihak pada prinsip HAM dan gender, serta minimnya perlindungan hukum bagi korban KBGS.

Jumisih dari JALA PRT menegaskan bahwa negara terus menutup mata terhadap eksploitasi pekerja domestik.

“Jasa mereka tidak dihargai. Upah minim, kerja rentan dieksploitasi, bahkan mengalami kekerasan. Tapi negara tutup mata,” ujar Jumisih.

Data dari Jakarta Feminist menunjukkan, sepanjang tahun 2024 terjadi 209 kasus femisida—rata-rata satu perempuan dibunuh setiap dua hari, dengan 43% kasus bermula dari KDRT.
“Fakta yang miris dan menyayat hati, padahal femisida seharusnya bisa dicegah,” jelas Anindya Restuviani, Direktur Jakarta Feminist.

Isu diskriminasi juga mencuat, terutama terhadap penyintas HIV/AIDS dan pekerja seks. Raham dari Komunikasi Transman Indonesia menyoroti minimnya akses layanan kesehatan reproduksi serta ketiadaan psikolog yang memahami keragaman identitas gender dan orientasi seksual.

“Kerangka hukum di Indonesia masih jauh dari menjamin keadilan substansial bagi kelompok rentan,” tegas Raham.

Ia juga menambahkan bahwa banyak alat bantu disabilitas dan obat-obatan tidak ditanggung BPJS maupun asuransi swasta, menandakan masih banyak pekerjaan rumah negara dalam menjawab isu disabilitas.

Sementara itu, Nissi dari Feminis Themis menyoroti penghapusan pendidikan seksual dan sejarah perempuan dalam kurikulum. Draft revisi sejarah oleh Kemendikbud dianggap mengabaikan catatan pelanggaran HAM berat terhadap perempuan, terutama pada masa Orde Baru hingga Reformasi.

Dalam pernyataannya, Women’s March Jakarta 2025 menyerukan agar negara segera mengesahkan RUU Perlindungan PRT dan revisi KUHP yang berpihak pada HAM, lalu menjamin pendidikan seksual komprehensif bagi semua kalangan, juga membangun sistem hukum yang berpihak pada korban KBGS. Selain itu negara juga harus menyediakan layanan kesehatan dan psikologis inklusif, serta menghentikan eksploitasi dan kriminalisasi terhadap perempuan serta komunitas adat.

Women’s March Jakarta 2025 menegaskan bahwa tubuh perempuan, komunitas adat, penyintas, hingga tubuh ibu pertiwi bukan milik negara untuk dieksploitasi, melainkan harus dihormati, dilindungi, dan dijamin hak-haknya.(*)

Sumber: Konferensi Pers Women’s March Jakarta 2025

0Shares