Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam keras keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Dalam pernyataan sikapnya, YLBHI menilai langkah ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap reformasi, demokrasi, serta nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang diperjuangkan bangsa.
Menurut YLBHI, keputusan tersebut bukan hanya sarat benturan kepentingan (conflict of interest), tetapi juga melukai para korban pelanggaran HAM yang terjadi selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru. “Gelar pahlawan hanya layak diberikan kepada mereka yang berjuang untuk kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, bukan kepada pemimpin represif yang selama masa jabatannya begitu otoriter dan sarat pelanggaran HAM kepada rakyatnya,” tegas YLBHI.
Pelanggaran Hukum dan HAM
Dalam pernyataan itu, YLBHI menegaskan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bertentangan secara hukum dan hak asasi manusia dengan sejumlah regulasi dan putusan hukum. Antara lain Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 yang mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat di berbagai peristiwa, seperti: Peristiwa 1965–1966, Penembakan Misterius (Petrus) 1982–1985, Tragedi Talangsari (Lampung, 1989), Kekerasan di Aceh (Rumoh Geudong dan Pos Sattis, 1989), Penghilangan Orang Secara Paksa (1997–1998), Kerusuhan Mei 1998, dan Peristiwa Trisakti dan Semanggi I (1998).
Selain itu, YLBHI mengutip TAP MPR X/1998 yang menyebut masa Orde Baru penuh penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan, serta TAP MPR XI/1998 yang menegaskan pemerintahan Soeharto sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mahkamah Agung juga telah memutus, melalui putusan No. 140 PK/Pdt/2015, bahwa Yayasan Supersemar dan Soeharto melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar lebih dari Rp 4,4 triliun (berdasarkan kurs saat itu) kepada pemerintah.
Luka Sosial dan Ketimpangan Ekonomi
YLBHI juga menyoroti dampak struktural dari kebijakan dan yayasan-yayasan milik Soeharto. Mulai dari monopoli pangan oleh Yayasan Harapan Kita dan Dharma Putra Kostrad, yang menurunkan kualitas gizi masyarakat, hingga perampasan lahan lewat konsesi hutan, perkebunan, dan peternakan. Salah satu yayasan, Yayasan Seroja, disebut terlibat dalam penculikan anak-anak yatim piatu asal Timor Leste dan menghapus identitas mereka—sebuah tindakan yang disebut YLBHI sebagai bagian dari kejahatan kemanusiaan.
“Pemberian gelar pahlawan ini semakin menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo telah mengkhianati UUD 1945 dan rakyatnya sendiri,” tegas YLBHI.
Suara Penolakan dari Publik
Penolakan terhadap gelar pahlawan bagi Soeharto juga datang dari berbagai kalangan. Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, menilai langkah ini bertentangan dengan TAP MPR XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN.
“Kalau ini diteruskan, maka kita sedang menuju pada penghapusan hasil-hasil reformasi. Itu berbahaya,” ujarnya dalam konferensi pers di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat (4/11/2025).
Romo Magnis Suseno, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, menegaskan hal senada. Menurutnya, Soeharto tidak pantas diberi gelar pahlawan karena telah melakukan korupsi besar-besaran dan kejahatan genosida selama berkuasa. “Dia memperkaya keluarga dan kroninya, sementara rakyat menderita,” ujar Romo Magnis.
Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani juga memberi catatan hati-hati. Ia meminta pemerintah tidak tergesa-gesa dan tetap mencermati rekam jejak tokoh sebelum menetapkannya sebagai pahlawan. “Karena gelar Pahlawan Nasional adalah hal yang penting dan harus dikaji dengan baik,” kata Puan di Gedung DPR RI, Jakarta.
Pernyataan Bersama Tokoh Nasional
Selain itu, sejumlah tokoh lintas profesi juga mengeluarkan “Pernyataan Bersama” menolak keputusan pemerintah tersebut. Di antara mereka ada Andi Arief, Rachland Nashidik, Rocky Gerung, Robertus Robet, Denny Indrayana, Hendardi, Bivitri Susanti, dan puluhan nama lain.
Dalam pernyataan itu mereka menegaskan, kepahlawanan bukanlah alat untuk menutupi kesalahan sejarah. “Menjadikan klaim jasa sebagai dalih untuk menyamarkan kejahatan sejarah sama saja dengan menyuntikkan bius amnesia ke tubuh bangsa,” tulis mereka.
Mereka juga mengingatkan bahwa kepahlawanan adalah kompas moral bangsa, bukan sekadar penghargaan personal. “Jika bangsa ini kehilangan keberanian untuk mengakui sejarahnya sendiri, maka kita bukan sedang membangun masa depan, melainkan memperpanjang bayang-bayang masa lalu,” tegas pernyataan itu.(*)
(Sukir Anggraeni, dari berbagai sumber)

Terkait
Leila S. Chudori dan Upaya Merawat Ingatan yang Disenyapkan
KASBI: Marsinah Layak Jadi Pahlawan, Tapi Jangan Disandingkan dengan Soeharto
Marsinah vs Soeharto