Konferensi Nasional Perempuan Indonesia resmi dibuka hari ini, Jumat (12/12). Konferensi yang mengambil tema, “Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian dengan Menunjang Tinggi Kesetaraan antara Laki-laki dan Perempuan” ini berlangsung selama tiga hari, 12-14 Desember 2014 di Wisma PKBI, Kebayoran Baru, Jakarta.
Konferensi dihadiri oleh perempuan dari 16 provinsi dan 32 kota/kabupaten se-Indonesia. Mereka antusias datang untuk membahas persoalan perempuan. Pembahasan persoalan-persoalan perempuan tersebut diharapkan dapat dirumuskan solusinya pada konferensi ini.
Konferensi ini juga mengundang berbagai organisasi sosial, antara lain Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Yuniati Chuzaifah, dan Ketua Komisi IX DPR RI, dr. Ribka Tjiptaning, hadir dan membuka konferensi.
Ketua panitia, Ulfa Ilyas, mengatakan bahwa perempuan Indonesia pernah menunjukkan dirinya sebagai kekuatan politik yang signifikan, berada di barisan terdepan perubahan. Namun, kekuatan ini mulai tercerai berai dan akhirnya menempatkan perempuan pada fungsi yang dinarasikan patriarki.
“Tidak ada kebebasan nasional tanpa kebebasan perempuan,” ungkapnya saat membuka acara.
Persoalan yang menimpa perempuan, dulu dan kini, belum juga ada perubahan yang signifikan. Mulai dari poligami, perkosaan, hingga diskriminasi peran dalam tata aturan hingga kehidupan sosial. Persoalan-persoalan yang menimpa perempuan ini kebanyakan memang tidak dialami laki-laki.
Siti Rubaidah, ketua panitia pengarah, mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia belum benar-benar bisa dinikmati semua warga negara. Sebabnya, masih ada perempuan yang belum bebas mengungkapkan pendapat. Kebijakan pemerintah tentang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) juga berimbas pada mereka.
“Kenaikan BBM berimbas pada perempuan karena semua harga jadi naik. Bahan pangan naik, listrik naik,” ujar Siti.
Konferensi akan membahas situasi objektif masyarakat, kondisi subjektif perempuan di Indonesia, dan peran yang akan diambil dalam situasi politik negara saat ini. Jalan menuju perjuangan tersebut sebenarnya sudah mulai terbuka dengan hasil pilpres 2014 yang memberi wajah baru dengan penempatan delapan menteri perempuan dalam Kabinet Kerja.
Yuniati Chuzaifah, Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, mengatakan bahwa saat ini hak-hak perempuan masih dibatasi. Walaupun perjuangan kaum wanita dimulai sejak masa Kartini, saat ini masih banyak perempuan yang haknya masih dibatasi.
Namun, hasil yang dinikmati saat ini adalah hasil dari perjuangan para pejuang dan pegiat yang memperjuangkan hak wanita di Indonesia. Karena itulah, saat ini perempuan Indonesia harus memanfaatkannya sebaik mungkin.
“Perempuan punya hak berpendapat dan berorganisasi. Karena hak berorganisasi merupakan hak semua rakyat,” ujar Yuniati.
Hak perempuan berorganisasi dibahas oleh Agus Priyono, Ketua PRD. Menurut Priyo, perjuangan wanita saat ini bukan hanya menuntut kesetaraan semata, tetapi juga harus mengubah sistem yang tidak menyejahterakan perempuan. Priyo juga mengatakan bahwa harus ada revolusi mental dalam setiap pergerakan, baik itu kaum wanita ataupun sebagai sebuah bangsa.
“Setelah merdeka, harus ada revolusi mental agar tidak lagi menjadi penyembah negara lain, tetapi kita mencoba untuk bisa sejajar dengan mereka,” ungkap Priyo.
Ia juga berpesan kepada kaum wanita untuk bisa mengoordinasi diri sendiri dan berkumpul bersama, salah satunya dengan berorganisasi. Dengan begitu, perempuan bisa saling memahami semua persoalan. Perjuangan sekarang, menurutnya, bukan lagi soal kepentingan pribadi lagi, tetapi juga menyangkut kepentingan bersama.
Saat ini penilaian perempuan hanya berdasarkan apa yang terlihat saja. Ribka mengatakan, saat ini perempuan pejabat selalu diidentikkan dengan sepatu hak tinggi dan tatanan rambutnya. Padahal, menurut Ketua Komisi IX DPR RI yang berambut pendek ini, hal itu tidaklah benar. Ribka yang berpenampilan biasa, malah pernah tidak dianggap sebagai ketua komisi.
“Penilaian perempuan pejabat dilihat dari sasak dan sepatu tinggi. Padahal, sasak dan rambut tinggi tidak bisa menyelesaikan masalah,” ujarnya saat berpidato di pembukaan konferensi.
Kesenjangan sosial juga terjadi di rumah sakit. Menurutnya, masih banyak perawat dan dokter rumah sakit yang diskriminatif dalam hal memberi senyum. Senyum yang diberikan mereka hanyalah untuk pasien kelas atas.
“Saat ini masih ada diskriminasi senyum dari perawat dan dokter di setiap rumah sakit,” ungkap Tjiptaning.
Berdasarkan hal tersebut, Tjiptaning melontarkan harapan keberadaan rumah sakit tanpa kelas. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada lagi kesenjangan sosial dan diskriminasi senyum di rumah sakit.
Konferensi ini bersifat suka rela. Menurut ketua pelaksana, peserta hadir atas biaya sendiri. Hal tersebut merupakan bukti tumbuhnya kesadaran kaum wanita untuk berjuang membela hak-haknya. Hasil dari konferensi ini diharapkan memberi kontribusi luas, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk perbaikan kehidupan perempuan.
Sumber: http://citizendaily.net/konferensi-nasional-perempuan-indonesia-resmi-dibuka-di-jakarta/
Terkait
79 Tahun Merdeka: Puan, Stop Sandera RUU PPRT
Tepatilah Janji, Film sebagai Media Sosialisasi Pilkada 2024
Ultah ke-30, AJI Tetap Melawan di Tengah Disrupsi Media dan Menguatnya Otoritarianisme