Puluhan massa perempuan turun kejalan memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret. Puluhan massa Api Kartini melakukan aksi massa dengan titik kumpul di lapangan Adam Malik, Kota Siantar, Selasa, 08/03/2016.
Massa mulai bergerak sejak pukul 10.00.Wib menuju kantor walikota Pematangsiantar. Bertindak sebagai koordinator aksi Minaria yang juga menjabat sebagai ketua umum DPP Api Kartini. Dalam orasi politiknya, Minaria menyampaikan “penindasan perempuan tidak hanya dari pelecehan seksual dan eksploitasi tubuh tetapi perempuan juga merasakan penindasan Imperialisme.”
“Negara seharusnya bertanggung jawab dengan ketidakmandirian dan ketidakberdaulatannya bangsa Indonesia, yang berakibat pada kemiskinan massal dalam bangsa itu sendiri, dan perempuan Indonesia adalah mayoritas rakyat Indonesia yang merasakan akibatnya” sebutnya.
Dalam pernyataan sikapnya, Api kartini menyinggung juga sejarah kemenangan kaum perempuan yang jatuh pada tanggal 8 Maret. Hari perempuan internasional atau sering biasa disebut “Women’s Day” merupakan peringatan atas keberhasilan perempuan dalam bidang politik, ekonomi dan sosial. Awal mula lahirnya hari perempuan internasional yakni ketika terjadi gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja. Puncaknya, pada 8 Maret 1857 tepatnya di New York City, kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil mengadakan protes. Hal ini dilakukan karena mereka merasa mengalami kondisi kerja yang sangat buruk dengan gaji yang rendah.
Dalam orasinya, Ketua umum API-Kartini Minaria Christyn Natalia Simarmata SH menegaskan bahwa saat ini perempuan masih banyak yang mengalami tindak kekerasan. Hal itu dibuktikan sesuai data Komnas HAM yang menyatakan, di tahun 2014 jumlah tindak kekerasan terhadap perempuan berjumlah 293.220 kasus. Mengalami peningkatan dari tahun 2013, yakni 279.688 kasus. Bahkan, jenis kasus tersebut lebih dominan kekerasan seksual dan dalam ranah privasi. “Ini sangat menyedihkan. Apalagi, saat ini dengan kehadiran MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), perempuan semakin terjepit dan tersingkirkan. Bukan hanya kekerasan seks atau eksploitasi perempuan, tetapi perempuan saat ini tersingkirkan oleh kaum-kaum neo liberalis,” tegasnya.
Minaria menuturkan, Indonesia sudah merdeka dalam kurun waktu 70 tahun, namun kolonialisme sudah merubah bentuk penindasan menjadi bentuk baru, yakni neo kolonialisme atau neo liberalisme. Banyak perempuan yang masuk dalam bidang politik, baik di pemerintahan maupun di parlemen, justru terbawa arus menjadi pelayan setia dari setiap kebijakan birokrat yang menyengsarakan rakyat. Banyak perempuan yang hidup miskin dililit utang untuk menutupi kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Hal ini karena harga-harga semakin melambung tinggi, biaya kesehatan dan pendidikan yang sangat mahal serta menyempitnya lahan pertanian dan perumahan.
“Kondisi ini semakin membuat perempuan pada situasi kemiskinan dan terpinggirkan. Parahnya, karena tuntutan ekonomi, perempuan banyak yang memutuskan bekerja sebagai buruh pabrik dan menjadi tenaga kerja wanita (TKW) ke negeri asing,” tutur alumni Universitas Simalungun ini.
Berdasarkan fenomena itu, dia meminta kepada Pemko Siantar dan DPRD agar menghentikan kekerasan perempuan dan anak di bawah umur. Negara harus hadir dalam perlindungan perempuan dan menekan aksi kekerasan.
“Kami meminta agar DPRD Siantar membuat perda untuk melindungi dan mencegah terjadinya kekerasan perempuan. Dan, kami meminta DPRD harus responsif dan super aktif dalam menampung aspirasi masyarakat terkait kekerasan perempuan,” tegasnya Minaria.
Nurlina Sikumbang, salah seorang anggota DPRD dari perempuan menyambut baik aksi itu. “Kami siap membantu dan memudahkan apabila ada masyarakat, terkhusus perempuan, yang mengalami tindakan kekerasan sesuai tupoksi DPRD. Ini sangat baik. Ini menjadi semangat bagi kami,” ujar Nurlina.
Sementara, Ketua DPRD Siantar Eliakim Simanjuntak SE menjelaskan, sesuai peraturan perundang-undangan, tidak ada kesenjangan gender. Namun, pada prakteknya masih banyak terjadi kesenjangan. Karenanya, Eliakim mengatakan siap memperjuangkan hak-hak perempuan. “Tetapi, kami juga membutuhkan informasi apabila ada kekerasan terhadap perempuan. Hal itu untuk mempermudah kinerja kami,” katanya.
Eliakim menilai, momen itu sangat tepat dan diharapkan hal itu bisa menjadi tugas untuk anggota dewan perempuan di DPRD Siantar. Apabila dibutuhkan perda, DPRD siap mendukung untuk membantu dan menguatkan keberadaan hak-hak perempuan. “Kita siap memperjuangkan ini. Kalau sudah ada aturannya, kita siap menampung anggarannya,” janji Eliakim.
“DPRD Pematangsiantar siap bekerja sama dengan Api-Kartini khususnya komisi pemberdayaan perempuan untuk menerima program-program yang disampaikan Api Kartini ketika audiensi nantinya” sebut Eliakim.
Terkait
Posisi Perempuan dalam Pilkada 2024
Morowali Dibawah Tekanan Industri Ekstraktif dan Ancaman Kemiskinan
Hari Tani Nasional 2024, Mimpi Besar Kesejahteraan